NASEHAT GAMBLANG
BAHWASANYA MENGHUKUMI SESEORANG SEBAGAI MUBTADI', TIDAKLAH GAMPANG
DITULIS OLEH:
ABU JA'FAR AL-MINANGKABAWY
AL-HARITS BIN DASRIL AL-INDUNISY
HAFIZHOHULLOHU TA'ALA
DIPERIKSA DAN DIREKOMENDASIKAN PENYEBARANNYA OLEH:
SYAIKH ABU 'AMR 'ABDUL KARIM AL-HAJURY
HAFIZHOHULLOHU TA'ALA
DARUL HADITS
DAMMAJ-YAMAN
Judul Asli:
النصح البين
بأن التبديع ليس بهين
AN-NUSHUL BAYYIN
BIANNAT TABDI' LAISA BI HAYYIN
Judul terjemahan:
NASEHAT GAMBLANG
BAHWASANYA MENGHUKUMI SESEORANG SEBAGAI MUBTADI', TIDAKLAH GAMPANG
Penulis:
ABU JA'FAR AL-HARITS BIN DASRIL AL-MINANGKABAWY AL-INDUNISY
Diperiksa oleh:
SYAIKH ABU 'AMR 'ABDUL KARIM AL-HAJURY
Penerjemah:
¯ ‘Abdul Mu'min Riau ¯ 'Abdulloh Riau ¯ Muhammad Riau ¯
¯Ma'mar Riau ¯ Abu Hanifah Riau ¯ Salman Riau ¯ Muslim Lamongan ¯
Editor:
¯ Abu Fairuz ¯ Abu Ja’far ¯
بسم الله الرحمن الرحيم
PENDAHULUAN
Alloh Ta'ala berfirman:
﴿مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ﴾[1]
Tidaklah ada suatu ucapanpun yang terucapkan, melainkan didekatnya terdapat malaikat pengawas yang selalu hadir
Imam Al Bukhory meriwayatkan didalam shohihnya dari Abu Hurairoh Rodhiyallohu 'anhu, bahwasanya dia mendengar Rosululloh mengatakan:
إن العبد ليتكلم بالكلمة ما يتبين فيها يزل بها في النار أبعد مما بين المشرق
Sesungguhnya seorang hamba berbicara tentang sesuatu perkataan yang dia tidak memiliki kejelasan padanya, maka dia akan tergelincir di neraka lebih jauh dari apa-apa yang diantara timur.
Di dalam Sunan Abu Daud dari 'Abdulloh bin 'Umar, bahwasanya Rosululloh mengatakan:
وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ اللَّهُ رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ
Barangsiapa yang berkata tentang seorang mukmin yang tidak ada padanya, maka Alloh akan menempatkannya di keringat penduduk neraka, sampai dia keluar dari apa yang dikatakannya. Syaikh Al-Albany menshohihkan hadits ini. Dan juga terdapat dalam Ash-Shohihil Musnad karya Imam Al-Wadi'i.
Maka dalam rangka melindungi diri dari ancaman yang sangat ini, atas orang yang terjatuh dalam perbuatan ini, kuarahkan risalah ini bagi diriku terlebih dahulu, kemudian yang kedua bagi saudara-saudaraku fillah, terkhusus yang berada di negara Indonesia. Hal ini dikarenakan, aku melihat sebagian orang tergesa-gesa dalam menghizbikan saudara-saudara mereka, sementara aku mengetahui pada sebagian mereka tidak ada pengetahuan sedikitpun tentang hal tersebut.
Aku berterima kasih kepada Syaikhuna Al-Fadhil Abu 'Amr 'Abdul Karim Al-Hajury Hafizhohullohu ta'ala, atas kerendahan hati beliau untuk memeriksa risalah ini. Aku memohon kepada Alloh untuk membantuku dalam menyelesaikan tulisan ini, serta memberikan manfaat bagiku dan kalian dan menjadikan amal ini ikhlas demi wajah-Nya yang mulia.
SYARAT-SYARAT PEN-JARH YANG PERKATAANNYA DIPERHITUNGKAN
Berkata Al-Hafidh Ibnu Hajar a menukilkan perkataan Ibnu Daqiqil ‘Ied a sebagaimana dalam kitab Lisaanul Miizaan (1/16): "Kehormatan manusia adalah jurang dari jurang-jurang neraka yang berada di tepinya dua kelompok, para hakim dan Muhaddits (ahlul Hadits)" Selesai penukilan
Maka timbangan di dalam menghukumi seseorang dengan bid’ah menuntut adanya sifat-sifat yang mulia dan karuania yang tinggi. Maka orang yang berhak berbicara dalam perkara ini adalah orang-orang yang terpenuhi padanya syarat-syarat yang jeli, dengan memiliki keahlian dengan tuntutannya dalam jabatan yang mulia ini.
Berkata Al-Imam Adz-Dzahabiy a di dalam kitab Al-Mauqidhah fii ‘ilmi Musthalah Al-Hadits (19): ”Membicarakan (jarh) para rowi itu membutuhkan wara’ yang sempurna dan selamat dari hawa nafsu dan kecondongannya serta memiliki pengetahuan yang sempurna dalam ilmu Al-hadits , ‘ilal-ilalnya dan rawi-rawinya'Selesai penukilan
Para ulama yang telah menyebutkan syarat-syarat tersebut di dalam kitab-kitab mereka dan syarat-syarat itu adalah:
· Waro’, taqwa, dan kejujuran.
Berkata Al-Imam Adz-Dzahabiy a dalam biografi Abu Bakr Ash-Shiddiq t di dalam kitabnya Tadzkiratul Huffadh (1/10): “Kewajiban bagi Muhaddits (ahlul hadits) untuk berhati-berhati dalam perkara yang ia tunaikan dan agar bertanya kepada ahlul ilmi dan waro’ untuk membantunya dalam menjelaskan riwayat-riwayatnya. Dan tidak ada jalan untuk seorang yang arif yang memberikan tazkiyyah (pujian) dan memberikan jarh (kritikan) kecuali dengan terus-menerus menuntut ilmu dan penelitian dalam perkara ini dan banyaknya mudzakaroh (saling mengingatkan), terjaga hati-hati dan pemahaman bersama taqwa, dan agama yang kuat, keadilan, selalu mendatangi majlis para ulama, berhati-hati, memilih mana yang lebih pantas serta kekuatan ilmu. Jika kamu tidak mengerjakannya:
فدع عنك الكتابة لست منها ولو سودت وجهك بالمداد
Walaupun kamu hitami wajahmu dangan tinta.
Alloh ta’ala berfirman:
{فَاسْأَلوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ} [النحل: 43]
Bertanyalah kalian kepada orang yang mengetahui apabila kalian tidak mengetahui
Jika kamu melihat pada dari dirimu pemahaman, kejujuran, agama dan waro’ silahkan bicara, kalau tidak maka janganlah kamu menyusahkan dirimu. Jika kamu terkalahkan oleh hawa nafsu, fanatik kepada suatu pendapat atau madzhab maka demi Alloh janganlah kamu melelahkan dirimu dan jika kamu mengetahui bahwa engkau seorang yang kacau, serampangan dan menelantarkan batasan-batasan Alloh maka tenangkan kami darimu maka sebentar lagi akan tersingkaplah kebatilan dan tertimpa kedustaan, dan makar yang jelek tidak akan menimpa kecuali orang-orang yang merencanakannya.
· Manjauhi hawa nafsu, fanatik, dan tujuan jelek.
Berkata Ibnu Hajar a di dalam kitab Nuzhatunnadhar fii tawdhiih Nukhbatil Fikar fii Mushtalah Ahlil Atsar (178): "Hendaknya orang-orang yang berbicara dalam perkara ini hati-hati dari bermudah-mudahan dalam jarh dan ta’dil karena jika ia memuji (ta’dil) tanpa bukti maka itu adalah seperti menetapkan hukum yang tidak tetap, maka dikhawatirkan akan masuk dalam golongan orang yang meriwayatkan hadits yang diduga bahwa itu adalah dusta, demikian jika ia menjarh tanpa berhati-hati maka ia telah maju untuk mencela seorang muslim yang bersih dari hal itu dan mensifatinya dengan sifat yang jelek maka tetaplah kejelekan padanya selamanya. Dan terkadang kerusakan masuk dalam perkara ini dengan sebab hawa dan tujuan jelek. Dan perkataan orang-orang terdahulu umumnya selamat dari hal ini dan terkadang di sebabkan perselisihan dalam aqidah, dan inilah yang banyak dari sejak dahulu dan sekarang dan tidak layak mengumumkan jarh dengan hal itu". Selesai penukilan
Dan berkata di dalam a Lisanul Mizan (1/16): "Membicarakan keadaan rawi butuh kepada waro’ yang sempurna dan selamat dari hawa nafsu". Selesai penukilan
· Kematangan dalam hukum-hukum syar’i dan pengetahuan tentang sebab-sebab jarh dan dengan keadaan jarh dan ta’dil.
Karena tidak semua orang yang waro’ dan bertaqwa boleh untuk berbicara tentang rawi-rawi baik jarh maupun ta’dil bahkan wajib disamping keadilannya waro’nya dan taqwanya harus waspada teguh tidak mencampurkan antara hukum-hukumnya dan perkara-perkara tadi tidak kacau disisinya.
Berkata Al-Imam Al-Dzahabiy a di dalam kitab Miizanul I’tidal (8/4): ”Orang yang maju untuk mengkritik harus kuat (memiliki keahlian)".
Berkata Al-Haafidh a di dalam kitab Nuzhatun Nadhar (177): ”Tidak semua jarhnya orang yang mengeluarkan jarh diterima. Dan sepantasnya tidak diterima jarh dan ta’dil kecuali dari orang yang adil, waspada, dan tidak diterima dari orang-orang berlebihan". Selesai penukilan
Al-Qori Al-Harawiy a berkata di dalam Syarh Nukhbatul Fikar (734): ” yaitu dari orang yang cepat menghadirkan dalil yang memiliki kewaspadaan yang membawanya untuk berhati-hati". Selesai penukilan
Berkata As-Subkiy a di dalam kitab Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro (2/18): ”Diantara yang selayaknya untuk dicari ketika ada jarh adalah keadaan pen-jarh. Dimana dia itu benar-benar memiliki pengalaman pengetahuan dengan perkara yang ditunjukkan oleh lafadh-lafadh. Berapa banyak kamu lihat seorang mendengar satu lafadh kemudian ia memahaminya bukan pada tempatnya. Dan mesti memiliki pengetahuan dengan makna-makna lafadh-lafadh lebih-lebih lafadh-lafadh secara urf (kebiasaan) berbeda dengan berbedanya kebiasaan manusia terkadang pada sebagian waktu termasuk pujian dan pada sebagian yang lain sebagai cercaan adalah perkara yang sulit yang tidak mengetahuinya kecuali orang yang berteman dengan ilmu, dan di antara yang layak untuk di cari juga keadaannya dengan ilmu mengenai hukum-hukum syar’I, karena orang jahil (bodoh) akan menyangka yang halal adalah haram”. Selesai penukilan
Dan akan datang tambahan penjelesan poin ini dalam pasal berikutnya insya Alloh.
BAGAIMANA DENGAN ORANG YANG HILANG DARINYA SALAH SATU DARI SYARAT-SYARAT INI?
Berkata Al-Hafidh Ibnu Hajar a di dalam syarah Nukhbahnya: ”Jika jarh datang dari orang yang tidak tahu tentang sebab-sebabnya maka tidak dianggap”. Selesai penukilan
Dan a berkata juga: ”Diterima tazkiyyah (penilaian baik) dari orang yang mengetahui sebab-sebabnya bukan dari orang yang tidak mengetahuinya dan selayaknya tidak diterima jarh kecuali dari orang yang adil dan waspada”. Selesai penukilan
Berkata As-Sakhawiy a di dalam kitab Fathul Mughits (1/308): ”Sebagian ulama mutaakhiriin (belakangan) mengkaitkan diterima jarh mufassar pada orang-orang yang menta’dil (pemberian pujian) juga jika tidak ada penunjukan yang akal menyaksikan bahwa seperti itu adalah dibawa kepada cercaan yang disebabkan fanatik madzhab atau perdebatan masalah dunia". Selesai penukilan
Berkata Taqiyuddin As-Subkiy a di dalam kitab Thabaqat Asy-Syafi’iyyah Al-Kubro (2/12): Bahwa orang yang mengeluarkan jarh tidak diterima darinya jarh walaupun mufassar terhadap orang yang keta’atannya lebih banyak dari kemaksiataannya, yang memuji lebih banyak dari yang mencelanya, dan yang memberikan tazkiyah lebih banyak dari yang memberikan jarh kepadanya, jika didapati disana qarinah (penunjukan) yang akal menyaksikan bahwa yang seperti ini membawa kepada celaan kepada orang-orang yang ia jarh disebabkan fanatik madzhab atau persaingan dunia sebagaimana terjadi dari yang sepadan atau yang lainnya. Maka kita katakan sebagai contoh tidak perlu menganggap perkataan Ibnu Abi Dzi’b terhadap Al-Imam Malik dan Ibnu Ma’in terhadap Al-Imam Asy-Syafi’iy dan Nasaaiy terhadap Ahmad bin Shalih, karena mereka adalah para Imam yang masyhur" Selesai penukilan
Berkata Al-Imam Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqiy a di dalam Ar-Raddul Waafir bab Thabaqatun Nuqqad (14): ”Membicarakan para rawi dan kritikan kepada menuntut beberapa perkara dalam memberikan ta’dil (pujian) kepada mereka dan membantah mereka, diantaranya adalah seorang yang berbicara harus mengetahui tingkatan-tingkatan rawi dan keadaan mereka dalam penyimpangan dan kelurusan dan tingkatan-tingkatan mereka dalam perkataan dan perbuatan dan termasuk dari ahlul waro’, taqwa dan menjauhi fanatik dan hawa nafsu, selamat dari sikap remeh dan kosong dari tujuan pribadi dengan serangan yang berlebihan, bersama adanya keadilan pada dirinya, kekuatan ilmu dan pengetahuan dengan sebab-sebab dengannya seseorang berhak dijarh. Jika tidak terhadap tidak diterima perkataannya terhadap orang yang ia bicarakan, dan dia termasuk orang menggujing dan berbicara dengan perkara yang haram" selesai penukilan. …..