• If this is your first visit, be sure to check out the FAQ by clicking the link above. You may have to register before you can post: click the register link above to proceed. To start viewing messages, select the forum that you want to visit from the selection below.

إعـــــــلان

تقليص
لا يوجد إعلان حتى الآن.

Membongkar 31 sybhat hizbiyah mar'iyyah

تقليص
هذا موضوع مثبت
X
X
 
  • تصفية - فلترة
  • الوقت
  • عرض
إلغاء تحديد الكل
مشاركات جديدة

  • Membongkar 31 sybhat hizbiyah mar'iyyah

    Membongkar
    31 Syubhat Hizbiyyah


    “Risalah ini adalah salah satu diantara
    risalah terbaik yang saya lihat,
    yang berisi dialog yang padat,
    bagus, tenang dan ‘ilmiyah.”
    (Al-‘Allamah Yahya Al-Hajuri s)


    Penulis:
    Abu ‘Amr Yaslam bin Sholih bin Syaikh Al-Yafi’I Al-Abyani
    Telah dibaca dan diijinkan penyebarannya Oleh:
    Al-‘Allamah Al-Muhaddits Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri s






    Judul Asli:
    كشف شبهات حزبيّة ابني مرعي الجديدة
    Kasyfusy Syubhat Hizbiyyah Ibnai Mar’i Al-Jadidah
    Judul terjemahan:
    Membongkar 31 Syubhat Hizbiyyah
    Penulis:
    Abu ‘Amr Yaslam bin Sholih bin Syaikh Al-Yafi’I Al-Abyani s
    Diijinkan penyebarannya:
    Asy-Syaikh Al-‘Allamah Al-Muhaddits Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri s
    Penerjemah:
    Abu Zakariya Irham Al-Jawy s
    Abu Ja’far Al-Harits s










    Daftar isi:
    Daftar isi: 3
    Pengantar Penerjemah 5
    Muqoddimah 7
    Syubhat Pertama: 9
    Syubhat Kedua: 16
    Syubhat Ketiga: 17
    Syubhat Keempat: 18
    Syubhat Kelima: 21
    Syubhat Keenam: 21
    Syubhat Ketujuh: 24
    Syubhat Kedelapan: 26
    Syubhat Kesembilan: 26
    Syubhat Kesepuluh: 28
    Syubhat Kesebelas: 28
    Syubhat Kedua Belas: 31
    Syubhat Ketiga Belas: 32
    Syubhat Keempat Belas: 33
    Syubhat Kelima Belas 36
    Syubhat Keenam Belas 37
    Syubhat Ketujuh Belas 40
    Syubhat Kedelapan Belas 41
    Syubhat Kesembilan Belas: 43
    Syubhat Kedua Puluh: 45
    Syubhat Kedua Puluh Satu 46
    Syubhat Kedua Puluh Dua 47
    Syubhat Kedua Puluh Tiga: 52
    Syubhat Kedua Puluh Empat 53
    Syubhat Kedua Puluh Lima 54
    Syubhat Kedua Puluh Enam 55
    Syubhat Kedua Puluh Tujuh 56
    Syubhat Kedua Puluh Delapan 57
    Syubhat Kedua Puluh Sembilan 58
    Syubhat Ketiga Puluh 59
    Syubhat Ketiga Puluh Satu 62

















    
    Pengantar Penerjemah
    الحمد لله الذي أظهر الحق وأبانه وأيده، وجعله أهله ظاهرين إلى قيام الساعة، لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم، والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، وعلى آله وأصحابه، ومن واله، أمَّا بعد
    Hizbiyyah adalah salah satu fitnah terbesar yang Alloh uji salafiyyin dengannya. Betapa banyak perpecahan yang terjadi karenanya betapa banyak orang-orang yang dulunya disebut ‘Ulama terseret dan jatuh ke dalamnya. Tidaklah ada yang bisa selamat kecuali orang-orang yang Alloh selamatkan dan berikan hidayah kepadanya. Alloh q berfirman:
                 
    “Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh, Maka Dialah yang mendapat petunjuk; dan Barangsiapa yang disesatkan-Nya, Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” [QS. Al-Kahfi:17]
    Diantara hizbiyyah yang muncul saat ini dan telah memecah belah salafiyyin, baik di negeri munculnya hizbiyyah tersebut, Yaman, maupun di negeri kita dan negeri kaum muslimin lainnya adalah hizbiyyah yang dipimpin oleh ‘Abdurrohman Al-‘Adani. Sebuah hizbiyyah yang tersembunyi sehingga menjadikan banyak orang terkecoh dan tertipu olehnya. Walaupun pada hakikatnya hizbiyyah ini sudah sangat jelas bagi orang-orang yang Alloh q tunjukkan kepada mereka Al-Haq. Sebab Alloh q telah menjelaskan dan menegakkan hujjahnya melalui seorang ‘Ulama yang terlatih dalam mengarungi medan ini dan telah terbongkar melalui perantaranya hizbiyyah-hizbiyyah yang terdahulu, dialah Al-‘Allamah Yahya bin ‘Ali Al-Hajuri s yang bersama para muridnya telah berusaha untuk menjelaskan pada umat kehizbiyahan ‘Abdurrohman Al-‘Adani dan komplotannya berdasarkan dalil-dalil serta bukti-bukti yang tidak bisa diingkari oleh setiap pencari kebenaran.
    Namun sebagaimana kebiasaan ahlul bathil baik yang terdahulu maupun sekarang, ketika tidak bisa menghadapi kuatnya dalil dan tajamnya bukti-bukti yang menyerang mereka, mereka pun berusaha sekuat tenaga untuk merancang syubhat-syubhat dan menyebarkannya di kalangan manusia. Sehingga banyaklah orang-orang yang tidak memiliki pijakan kokoh menjadi limbung dan jatuh terjerembab dalam perangkap-perangkap tersebut.
    •                        •            
    “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Alloh. dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Robb kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”(QS. Ali ‘Imron : 7)
    Ibnul Qoyyim t mengatakan: “Syubuhat adalah sesuatu yang masuk ke dalam hati sehingga menghalangi terbukanya Al-Haq pada seseorang. Kapan saja hati tersebut mendapatkan ‘ilmu yang hakiki maka syubhat tersebut tidak akan berpengaruh kepadanya. Bahkan akan semakin kuat ‘ilmu dan keyakinannya dengan membantah syubhat-syubhat itu serta mengetahui kebathilannya. Akan tetapi jika hakekat ilmu tentang Al-Haq itu tidak menyentuh hatinya maka dilemparkanlah keragu-raguan ke dalam hatinya pada awal kali menerima syubhat tersebut. Jika Alloh q selamatkan dia maka dia akan bisa mengatasinya. Namun jika tidak demikian, maka syubhat di hatinya itu akan semakin bertambah sehingga jadilah dia orang yang ragu dan goncang.” [Miftah Daris Sa’adah (1/442)]
    Karena bahayanya syubhat ini serta pentingnya mengetahui ‘ilmu yang hakiki dalam setiap fitnah maka kami terjemahkan untuk ikhwah safalafiyyin sebuah risalah yang membahas syubhat-syubhat yang digunakan ‘Abdurrohman Al-‘Adani dan pengikutnya beserta bantahannya secara ilmiyah dan meyakinkan. Sebuah risalah yang Syaikh Yahya s telah berkata tentangnya:
    “Risalah ini adalah salah satu diantara risalah terbaik yang saya lihat, yang berisi dialog yang padat, bagus, tenang dan ‘ilmiyah.”
    Semoga risalah ini bisa bermanfaat bagi ikhwah salafiyyin yang masih rancu dalam menyikapi fitnah ‘Abdurrohman Al-‘Adani ini serta semakin mengokohkan ikhwah yang telah mengetahui kehizbiyahan mereka sehingga semakin kokoh di atas Al hak dan keistiqomahan.
    اللهم أرنا الحق حقا وارزقنا اتباعه وأرنا الباطل باطلا وارزقنا اجتنابه
    سبحانك اللهم وبحمدك، أشهد أن لا إله إلا أنت استغفرك وأتوب إليك
    Ditulis oleh:
    Abu Zakariya Irham s.
    Darul Hadits Dammaj, 12 Sya’ban 1431
    Muqoddimah
    الحمد لله الهادي إلى سبيل الرشاد والصلاة والسلام على رسوله الداعي إلى سبيل الرشاد وعلى آله وصحبه ومن سار على سبيل الرشاد.
    أمّا بعد:
    Rosululloh ` bersabda :
    « أوثق عرى الإيمان الحبّ في الله والبغض في الله"»
    “Sekuat-kuat tali iman adalah cinta kepada Alloh dan benci karena Alloh.”( )
    Beliau ` juga bersabda:
    » من أحبّ لله وأبغض لله وأعطى لله ومنع لله فقد استكمل الإيمان »
    “Barang siapa yang mencintai karena Alloh dan membenci karena Alloh, memberi dan tidak memberi Karena Alloh maka sesungguhnya dia telah menyempurnakan Imannya.”( )
    Hadits-hadits ini menjelaskan kepada kita bahwa sebesar-besar ibadah qolbiyah (ibadah yang dilakukan hati) adalah cinta karena Alloh dan benci karena-Nya yang terlahir darinya sikap wala’ dan baro’. Oleh karena itu, apabila pendorong wala’ dan baro’ ini bukan kecintaan kepada Alloh q dengan kecintaan yang benar maka jadilah orang tersebut dalam sehina-hinanya kecelakaan. Terlebih lagi jika dia menganggap wala’ dan baro’ yang dia kibarkan tersebut sebagai bentuk pendekatan diri kepada Alloh q dan dia yakini sebagai agamanya. Alloh q berfirman:
             •                       •                   •     
    “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Alloh dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, Sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka Itulah orang-orang yang Alloh telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. dan dimasukan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Alloh ridho terhadap mereka, dan merekapun ridho terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka Itulah golongan Alloh. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” [QS. Al-Mujadilah:22]
    Ayat ini menjelaskan bahwa ikatan yang kuat dan tanda yang jelas bagi hizbulloh, yang mereka itu adalah kaum mukminin dan kelompok yang selamat dan tertolong adalah wala’ dan al-baro’, saling mencintai diantara sesama mereka. Barangsiapa memusuhi mereka atau sebagiannya maka dia bukanlah termasuk golongan mereka walaupun orang-orang yang memusuhi mereka itu ikhlash karena Alloh q dan memurnikan ittiba’ kepada Rosululloh ` dalam seluruh perkataan dan perbuatan serta aqidahnya.
    Ketika banyak kaum muslimin yang tidak tahu tentang pentingnya al-wala’ dan al-baro’ serta kedudukannya yang tinggi dalam iman mudahlah bagi syaithon untuk mengelabui kebanyakan mereka dan menjatuhkan mereka dalam bid’ah tanpa mereka sadari. Hal ini terjadi bersamaan dengan sangat kehati-hatian mereka dari bid’ah dan pelaku bid’ah. Bid’ah yang syaithon menjatuhkan mereka ke dalamnya tanpa mereka sadari ini adalah peribadatan kepada Alloh q dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan membenci orang-orang yang tidak pantas dibenci dan mencintai orang-orang yang tidak layak dicintai.
    Setelah melihat bahayanya bid’ah ini, karena hal ini membutakan hati dan menjadikan telinga tuli (dari Al-Haq), sampai-sampai orang yang terjatuh ke dalamnya tidak tahu Al-Haq sama sekali. Demikian pula sebagai upaya untuk menggugurkan tanggung jawab di sisi Alloh q dan sebagai nasehat bagi orang-orang yang berhak mendapatkannya dariku, maka akan saya sebutkan -dengan idzin Alloh q- keadaaan suatu kelompok yang muncul pada masa ini, yang menentang orang-orang yang diketahui kebaikan dan kemurnian salafiyyah-nya disebabkan karena bid’ah ini. Bid’ah yang lebih tersembunyi dari seekor semut hitam (di kegelapan malam), kecuali bagi orang-orang yang Alloh q rahmati, sehingga bisa mengenali bid’ah tersebut. Oleh karena itulah orang-orang yang tertipu itupun melindungi, menolong, dan memberikan wala’ kepadanya serta memusuhi kaum yang lain karenanya. Sehingga jadilah kelompok ini suatu hizbiyyah yang menyusup ke dalam sunnah dan masuk ke tubuh Ahlus Sunnah, yang hampir-hampir kebid’ahan mereka ini tidak diketahui kecuali oleh segelintir orang saja.
    Pada tulisan ini saya mengkhususkan untuk memaparkan syubhat-syubhat yang tersebar dan laris beredar di kalangan manusia yang digunakan untuk membela mereka dan kehizbiyahan mereka yang tersembunyi. Kemudian saya sertakan sebagian bantahan syubhat-syubhat tersebut sehingga orang-orang yang menerima nasehat berhati-hati agar tidak tertipu olehnya atau tersamarkan darinya Al-Haq disebabkan perkataan-perkataan semacam itu.
    Syubhat-syubhat yang akan disebutkan ini kami dengar sendiri dari orang-orang yang terfitnah oleh Ibnai Mar’I dan ta’ashshub kepadanya di atas kejahilan. Sebagian lainnya kami dengar dari orang-orang di tempat kami, Abyan, yang tidak ta’ashshub kepadanya tetapi belum nampak bagi mereka kehizbiyahan Al-‘Adani dan saudaranya serta orang-orang yang mengekor mereka dalam fitnah ini. Kami memohon taufiq kepada Alloh q dan memohon kebenaran dalam tulisan ini.
    Syubhat Pertama:
    Syubhat pertama ini mungkin adalah syubhat terkuat yang mereka pegang dan syubhat terbesar yang mereka sebarluaskan di kalangan orang-orang yang telah jelas bagi mereka keadaan hizbiyyah itu dan Alloh q telah berikan bashiroh tentangnya, sehingga orang-orang itupun menjadi lemah. Syubhat tersebut adalah perkataan mereka:
    Syaikh Al-Hajuri telah menjarh ‘Abdurrohman beserta pengikutnya dan telas menjelaskan sebab-sebab tersebut kepada Masyayikh. Beliau juga telah menyebutkan dan merinci di hadapan para Masyayikh perkara-perkara yang beliau ketahui dan tidak diketahui para Masyayikh menurut anggapan beliau tentang keadaan hizbiyyah itu. Walaupun demikian Masyayikh tidak menganggap tuduhan-tuduhan Al-Hajuri cukup untuk menghukumi Syaikh ‘Abdurrohman sebagai hizbi.”
    Jawaban Syubhat pertama:
    Saya katakan -dengan memohon pertolongan kepada Alloh q: “Apakah Masyayikh yang dimaksud dalam perkara ini kedudukannya sebagai pihak tersendiri ataukah sebagai hakim pemutus perkara??”
    Jawab: Permasalahan ini butuh perincian, jawaban secara umum dan jawaban secara khusus.
    Adapun jawaban secara umum, kami katakan bahwa ‘Ulama حفظهم الله adalah pewaris para Nabi `, maka dari sisi ini mereka termasuk sebagai hakim yang memutuskan perkara. Alloh q telah menjadikan bagi manusia pada setiap awal 100 tahun orang yang memperbaharui agama mereka, Alloh q berfirman:
                         
    “Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka segera menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil Amri (ulama dan umaro’) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan ulil Amri).” [QS. An-Nisa:83]
    Akan tetapi, bersamaan dengan kedudukan mereka sebagai hakim, tidak boleh bagi mereka untuk menentukan hukum kecuali dengan hukum Alloh q yang mereka berdalil dengannya untuk menyelesaikan perselisihan di antara manusia dan memecahkan problematika yang ada.
    Adapun jawaban secara khusus; Masyayikh yang dimaksud dalam fitnah ini, mereka bukanlah hakim yang memutuskan perkara. Kenapa?
    Jawabnya: Sebab permasalahan ini adalah permasalahan yang terjadi perselisihan padanya, dan perkara apa saja yang diperselisihkan ‘Ulama, maka tidaklah bisa salah satu kelompok menjadi hakim atas kelompok yang lain. Sebab tidaklah boleh seseorang menghukumi orang yang lain kecuali dengan dalil syar’i. Dalam keadaaan seperti ini maka hukumnya kembali kepada Alloh q yang telah berfirman:
           
    “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Alloh.” [QS. Asy-Syuro:10]
    Sehingga setiap orang dituntut untuk menunjukkan hujjah dan bukti-buktinya.
    Saya telah bertanya kepada Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Buro’i s: “Apakah perkataan para Masyayikh itu merupakan sesuatu yang harus diambil setiap orang, sehingga siapa saja yang mengambilnya maka dialah yang benar dan siapa saja meninggalkannya maka dia telah salah? Beliau menjawab: “Sesungguhnya kami hanya menasehatkan saja!” Kalau Syaikh ‘Abdul ‘Aziz tahu bahwa dirinya dan Masyayikh lainnya sebagai hakim dalam perkara ini, sehingga keta’atan kepada mereka merupakan keta’atan kepada Alloh q dan kemaksiatan kepada mereka merupakan kemaksiatan kepada Alloh q, tentu beliau akan menerangkan yang demikian ini kepadaku.
    Jika Masyayikh sendiri saja tidak meyakini bahwa diri mereka adalah hakim dalam permasalahan ini dan tidak meyakini pula bahwa perkataan mereka itulah yang wajib diambil, maka bagaimana mungkin orang-orang selain mereka mewajibkan manusia untuk mengambil perkataan Masyayikh dan meninggalkan perkataan Syaikh Al-Hajuri dengan alasan bahwa Alloh q memerintahkan agar permasalahan khilaf dikembalikan urusannya kepada ‘Ulama, sehingga merekalah yang memutuskan permasalahan tersebut, dan melupakan bahwa Syaikh Al-Hajuri s juga termasuk dalam deretan ‘Ulama yang telah dipersaksikan keutamaan dan kebaikan serta ke’ilmuannya.
    Oleh karena itu, menurut kaidah ‘Ulama Ahlul Hadits dalam jarh wat ta’dil, sesungguhnya perkataan Syaikh Al-Hajuri-lah yang dikedepankan. Sebab beliaulah yang dekat dan benar-benar mengetahui fitnah Al-‘Adani dan pengikutnya, bukan Masyayikh lain yang menyelisihi beliau. Hal ini dikarenakan Masyayikh tidaklah dekat dengan ‘Adani, mereka hanya mendengar tentangnya bahwa dia itu orang yang baik, sholih dan berada di atas keistiqomahan.
    Al-‘Allamah Al-‘Utsaimin t berkata: “Pokoknya, jika terjadi khilaf di antara huffadzul hadits dalam jarh wat ta’dil terhadap seseorang, dan salah satu pihak lebih dekat dan mengetahui keadaan orang yang diperselisihkan tersebut dari pada pihak yang lain, maka sesungguhnya kita mengambil perkataan orang yang lebih dekat kepadanya dan lebih mengetahui keadaannya.” [Syarh Al-Baiquniyyah (hal.25)]
    Pemilik syubhat ini mungkin akan berkata: “Kalian sampai sekarang belum memberikan jawaban yang memuaskan! Perkara ini telah dipaparkan Masyayikh! Walaupun demikian mereka tidaklah mengatakan sebagaimana yang kalian katakan ini padahal mereka lebih ber’ilmu tentang kaidah-kaidah jarh wat ta’dil yang kalian sebutkan tersebut!!!”
    Saya katakan sebagai jawaban pernyataan ini berdasarkan kedudukan Masyayikh jika seandainya mereka itu adalah hakim dalam perkara ini: “Petunjuk yang datang dari salaf dalam menyikap khilaf adalah tidak menghukumi salah satu pihak yang sedang berselisih dengan tanpa melihat hujjah pihak yang lain, terlebih lagi dalam perkara yang berbahaya seperti ini. Jika keadaannya demikian maka setiap pihak harus mengemukakan alasan masing-masing. Dalam kondisi seperti ini orang yang dikemukakan padanya khilaf tidak boleh berfatwa dan menentukan suatu hukum kecuali dengan hal-hal yang nampak padanya, terlebih lagi jika orang tersebut telah memiliki pengetahuan sebelumnya tentang kesholihan dan kebaikan dua belah pihak yang sedang berselisih. Hal ini sebagaimana perkataan ‘Umar z:
    «من أظهر لنا خيرا أمنّاه وقرّبناه وصدّقناه ومن أظهر لنا غير ذلك لم نصدّقه ولم نأمنه وإن قال إنّ سريرتي حسنة»
    “Siapa saja yang menunjukkan kepada kami kebaikan kami percayai dan kami dekati serta kami benarkan (perkataannya). Siapa saja yang menunjukkan selain yang demikian itu kami tidaklah akan membenarkannya tidak pula mempercayainya walaupun dia mengatakan: sesungguhnya hatiku ini baik.”
    Seseorang terkadang menyembunyikan kebaikan dan nampak darinya sebagian kejelekan sebagaimana yang terjadi pada Malik bin Dhuksyun.( ) Terkadang pula seseorang menunjukkan kebaikan akan tetapi menyembunyikan kejelekan sebagaimana keadaan orang-orang munafiq. Oleh karena itu ketika wahyu sepeninggal Rosululloh ` terputus, kembalilah manusia dalam menghukumi seseorang berdasarkan pada sesuatu yang nampak darinya sebagaimana perkataan ‘Umar z yang telah lalu.
    ‘Ulama dalam perkara ini memutuskan hukum dan berfatwa bahwa Al-‘Adani bebas dari tuduhan hizbiyyah berdasarkan kebaikan dan kesungguhannya dalam dakwah yang nampak darinya, sebagaimana akan datang penjelasannya.
    Berikut ini sebagian dalil bahwa seorang hakim memutuskan hukum berdasarkan perkara-perkara yang nampak padanya dan terkadang hukum yang diputuskan tersebut jauh dari kebenaran. Alloh q berfirman:
               •   
    “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.” [QS. Al-Anbiya:78]
    Nabi Dawud p memutuskan hukum berdasarkan hal-hal yang nampak padanya padahal beliau seorang yang mumpuni dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan manusia. Beliau juga seorang yang memiliki ketaqwaan, kehati-hatian dan sifat waro’ serta kebijaksanaan yang tinggi yang Alloh q anugerahkan kepada beliau. Namun dengan itu semua, beliau dalam keputusannya berdasarkan hal-hal yang nampak. Hal ini disebabkan oleh usaha masing-masing pihak yang berselisih untuk menetapkan perkataan masing-masing dan mematahkan perkataan lawan. Apakah dengan ini dikatakan bahwa Nabi Dawud p kurang memahami permasalahan (yang diajukan kepadanya?!) atau dikatakan bahwa beliau terburu-buru dalam memutuskan hukum?!! Ma’adzalloh.
    Contoh yang lain adalah hadits yang ada di Shohihain dari shohabat Zaid bin ‘Arqom z, beliau z berkata: “Pada suatu peperangan aku mendengar ‘Abdulloh bin ‘Ubay (gembong munafiqin) berkata: “Janganlah kalian berinfaq kepada orang-orang yang ada di sisi Rosululloh ` sampai mereka mereka pergi dari sekitarnya! Dan jika kita kembali ke Madinah, sungguh orang-orang yang mulia akan megeluarkan orang-orang rendahan itu dari Madinah.” Saya pun laporkan perkataan Ubay itu kepada pamanku atau kepada ‘Umar, sehingga dia melaporkannya kepada Nabi `, maka Nabi ` memanggilku dan aku katakan kepada beliau apa-apa yang aku dengar. Rosululloh ` mengutus kepada ‘Abdulloh bin Ubay dan para pengikutnya (untuk memastikan perkara tersebut). Namun mereka bersumpah bahwa mereka tidak mengatakannya, sehingga Rosululloh ` mendustakan laporanku dan membenarkan ‘Abdulloh bin Ubay. Karenanya aku ditimpa kesedihan yang belum pernah menimpaku hal seperti itu sebelumnya. Aku pun berdiam di rumah dan pamanku berkata kepadaku: “Kamu ini tidak ingin kecuali agar Rosululloh ` mendustakan dan membencimu!” Akhirnya Alloh q menurunkan:
      
    “Apabila orang-orang munafiq datang kepadamu,”
    Maka Nabi ` segera mengutus seseorang kepadaku dan membacakan ayat tersebut serta berkata: “Sesungguhnya Alloh telah membenarkanmu wahai Zaid”
    Nabi ` dalam peristiwa tersebut memutuskan hukum berdasarkan perkara yang nampak pada beliau, dan hukum beliau benar serta sesuai dengan kaidah-kaidah syar’i dalam menghukumi suatu perkara berdasarkan suatu yang nampak dan menyerahkan perkara-perkara yang tersembunyi di baliknya kepada Alloh q. Setelah turun wahyu terbongkarlah kedok orang-orang munafiq itu, bahwa sebenarnya mereka menunjukkan kepada Nabi ` kebaikan dari sisi luarnya dan menyembunyikan di hati-hati mereka keburukan. Dengan wahyu itu pula diketahui bahwa Zaid bin Arqom-lah yang memegang Al-Haq dan dialah yang benar dalam peristiwa ini.
    Contoh lain lagi adalah sabda beliau ` sebagaimana dalam hadits Ummu Salamah x:
    «إنّما أنا بشر وإنّه يأتيني الخصم، فلعلّ بعضكم أن يكون أبلغ من بعض فأحسب أنّه صدق فأقضي له بذلك...إلخ»
    “Sesungguhnya aku ini manusia biasa, datang kepadaku orang yang berselisih, kemungkinan sebagian kalian lebih pandai dalam bersilat lidah sehingga aku menyangka bahwa dia itu benar, maka aku pun memutuskan perkara untuknya...”
    Dengan ini apakah sudah jelas orang-orang yang terfitnah dengan ‘Adani bahwa seorang ‘Alim itu memutuskan hukum berdasarkan apa-apa yang nampak padanya??! Hukum yang ditetapkan itu terkadang benar, terkadang salah. Terlebih lagi pada zaman kita saat ini, tidak ada wahyu yang turun pada kita yang dengannya kita bisa mengetahui hakikat keadaan seseorang. Jadi perkaranya adalah seperti yang dikatakan ‘Umar z:
    «من أظهر لنا خيرا أمنّاه وقرّبناه وصدّقناه ومن أظهر لنا غير ذلك لم نصدّقه ولم نأمنه وإن قال إنّ سريرتي حسنة»
    “Siapa saja yang menunjukkan kepada kami kebaikan kami percayai dan kami dekati serta kami benarkan (perkataannya). Siapa saja yang menunjukkan selain yang demikian itu, kami tidaklah akan membenarkannya tidak pula mempercayainya walaupun dia mengatakan: Sesungguhnya hatiku ini baik.”
    Seorang ‘Alim terkadang juga terkecoh dengan perkataan pihak yang bersalah dan dzolim karena bagus dan indahnya keadaan dzohir serta sumpah-sumpah palsu mereka, sehingga sang ‘Alim ini pun menghukumi dengan hal-hal yang nampak tersebut.
    Perkataanku ini tidaklah termasuk celaan bagi ‘Ulama sebagaimana yang mungkin akan dikatakan seseorang -bahkan telah dikatakan yang demikian itu- dari sisi bahwa ‘Ulama kadang-kadang terkecohkan dengan seorang yang di atas kebathilan, sehingga mereka memberikan tazkiyah kepadanya. Hal ini sebagaimana terjadi pada kasus ‘Adani. Sebab ‘Adani ini tidaklah menampakkan pada Masyayikh kecuali kebaikan dan keistiqomahan. Akan tetapi, dia menampakkan pada selain mereka kejelekan dan penyimpangan. Alloh q telah berfirman:
     ••                
    “Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Alloh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras.” [QS. Al-Baqoroh:204]
    Apakah ayat ini merupakan celaan pada Rosululloh `, karena beliau terpesona dengan kata-kata ahlul bathil?? Tentu jawabnya adalah tidak. Demikian pula firmanNya:
               •  • 
    “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar.” [QS. Al-Munafiqun:4]
    Kesimpulannya bahwa ‘Ulama kita حفظهم الله, sudah seharusnya bagi setiap salafi untuk berkeyakinan bahwa mereka itu manusia, bisa benar dan bisa salah, dan terkadang pula hukum yang mereka putuskan berseberangan dengan kebenaran. (Inilah keyakinan seorang salafi) tidak seperti orang-orang shufi ekstrim yang mengangkat seorang wali dan menempatkannya di atas kedudukan Nabi dan Rosul yang tidaklah tersembunyi baginya perkara-perkara kebaikan dan kejelekan sedikitpun.
    Sekedar untuk mengingatkan, bahwa ‘Adani itu tidaklah divonis hizbi kecuali karena permusuhannya yang sangat keras terhadap Syaikh Yahya s dan markiz Dammaj حرسها الله. Tuduhan yang merupakan poros permasalahan ini, si ‘Adani telah menyatakan di depan masyasyikh bahwa dirinya berlepas diri dari hal tersebut. Pernyataan ini terjadi di Ijtima’ Ma’bar ketika dia berlepas diri dari orang-orang yang mencela Syaikh Yahya s.
    Adapun kita, sungguh kita telah melihat dukungannnya kepada orang-orang yang memusuhi Syaikh Yahya s dan markaz Dammaj حرسها الله. Masyayikh pun sebenarnya telah melihat seperti yang kita lihat. Diantara perkara yang dinampakkan ‘Adani di hadapan Masyayikh حفظهم الله adalah berlepas dirinya dari orang-orang majhul yang mencerca Syaikh Yahya s yang diantara mereka adalah Barmaki. Syaikh Al-Fadhil ‘Abdul ‘Azizi Al-Buro’i telah mengabarkan kepada kami bahwa ‘Adani ini telah bersumpah di hadapan Masyayikh حفظهم الله bahwa dia tidak kenal Barmaki. Hal ini terjadi pada kunjungan terakhir beliau ke Abyan. Padahal Barmaki ini di kalangan pengikut ‘Adani adalah seorang kritikus yang handal. Bahkan Syaikh ‘Ubaid telah memuji tulisan-tulisannya yang menyerang Syaikh Yahya s dan markaz Dammaj حرسها الله. Barmaki adalah tangan kanan ‘Adani. Adapun sumpahnya di hadapan Masyayikh atas nama Alloh q bahwa dia berlepas diri dari Barmaki sangatlah mirip dengan perbuatan orang-orang munafiq yang bersumpah di hadapan Rosululloh ` agar sikap dan alasan mereka diterima. Sumpah itu kemungkinannya adalah bohong belaka atau sebagai usaha untuk menipu Masyayikh حفظهم الله sehingga mereka menganggap bahwa dirinya tidaklah ridho dengan perbuatan Barmaki. Akhirnya diapun bersumpah dengan sumpah tersebut untuk menunjukkan bahwa dirinya berlepas diri dari Barmaki.
    Berdasarkan dengan penjelasan yang telah lalu, kita ketahui kebenaran penerapan kaidah ’seorang yang mengetahui adalah hujjah atas orang-orang yang tidak tahu’ pada keadaan Syaikh Yahya s bersama dengan apa-apa yang beliau ketahui tentang ‘Adani dan keadaan Masyayikh lainnya yang keadaan ‘Adani belumlah jelas bagi mereka.
    Sungguh -dengan idzin Alloh q- telah kusebutkan pada pembahasan yang lewat hal-hal yang meruntuhkan syubhat terkuat yang dipegang oleh orang-orang yang terfitnah dengan ‘Adani dan orang-orang yang tawaqquf dalam fitnah ini. Oleh karena itu, saya menyeru kepada orang-orang yang menyelisihiku dalam perkara ini untuk menjelaskan pendapatnya berdasarkan dalil-dalil syar’i dan bukti-bukti yang kuat. Adapun taqlid buta, maka tidaklah kami terima.
    Seorang salafi, ketika terjadi fitnah wajib baginya untuk membuka kedua matanya demikian pula akal dan kedua telinganya, kemudian mencari jalan keluar dan tempat berlari serta tempat berlindung yang dengannya dia berlindung dari fitnah-fitnah dan para pembawanya. Adapun jika dia memejamkan mata, akal, dan hatinya serta duduk diam di tempat dengan alasan waro’ dan lari dari fitnah, maka sesungguhnya orang yang seperti ini dikhawatirkan akan terseret fitnah tanpa disadarinya. Sesungguhnya fitnah itu seperti air bah. Barangsiapa membuka kedua mata dan telinganya maka dia akan melihatnya dan lari darinya, kecuali jika dia dihalangi oleh sesuatu atau memang dia lumpuh atau sakit. Jadilah orang yang seperti ini korban sembelihan fitnah yang ada. Siapa saja yang tuli telinganya dan memejamkan matanya, maka tidaklah akan tahu kecuali disaat air bah itu melingkupinya dari segala penjuru, maka celakalah dia bersama orang-orang yang celaka.
    Syubhat Kedua:
    “Jika Al-Hajuri telah jelas padanya perkara fitnah ini, dia adalah seorang ‘Alim mujtahid. Adapun kalian, bagaimana bisa nampak perkara ini padahal kalian hanyalah penuntut ‘ilmu pemula, bukan ‘Ulama yang berhak berijtihad.
    Jawaban syubhat ini dengan menyebutkan dua contoh.

    C0ntoh pertama: Imam Syafi’I dan Imam Ahmad d telah berselisih dalam suatu masalah dan ternyata pendapat Imam Ahmad-lah yang benar. Maka kita tholabul ‘ilmi pemula mengambil pendapat Imam Ahmad t yang benar itu dan kita tinggalkan pendapat Imam Syafi’i t yang keliru dalam permasalahan tersebut. Lalu apakah boleh dikatakan: bagaimana kalian menyelisihi Syafi’I padahal kalian ini pemula dan Syafi’I adalah Syafi’i?? Bagaimana mungkin jelas bagi kalian permasalahan tersebut dan tersembunyi bagi Syafi’i?? Tentunya tidak akan ada seorang pun yang melontarkan pertanyaan seperti ini. Bahkan tidak akan ada yang seorang pun yang mengingkari sikap tersebut kecuali para pengikut madzhab yang ta’ashshub.
    Contoh kedua: Al-‘Allamah Ibnu Baz t dulu berfatwa bahwa IM dan Jama’ah Tabligh serta kelompok-kelompok lainnya termasuk Firqotun Najiyah, penamaan yang berbeda tidaklah bermadhorot jika aqidah dan manhajnya satu. Padahal waktu itu sebagian ‘Ulama yang lain sudah meneriakkan peringatan dari firqoh-firqoh celaka tersebut. Oleh karena itu sebagian penuntut ‘ilmu mengambil pendapat ‘Ulama yang menyelisih Imam Ibnu Baz t dan meninggalkan pendapat beliau yang mentazkiyah kelompok-kelompok yang terfitnah tersebut. Apakah dengan ini boleh dikatakan: “Bagaiamana para penunutut ‘ilmu itu tahu sesuatu yang tersembunyi bagi Syaikh Ibnu Baz t?? Mereka tidaklah boleh mengambil perkataan ‘Ulama yang menghizbikan firqoh-firqoh itu sampai mendapat persetujuan dari Syaikh Ibnu Baz t!” Tentu jawabannya tidak.
    Sesungguhnya orang-orang yang melemparkan syubhat ini telah salah dan wajib bagi mereka untuk tidak mengingkari kami sampai mereka tahu alasan-alasan kami. Sebab-sebab tersembunyinya keadaan firqoh-firqoh itu bagi Syaikh Bin Baz t adalah sebab-sebab yang karenanya hizbiyyah Ibnai Mar’i tersembunyi bagi sebagian ‘Ulama yang mulia, baik itu kurang atau lebih. Kita sangat mengharapkan agar sebagian ‘Ulama tersebut rujuk dalam perkara Al-‘Adani ini sebagaimana rujuknya Syaikh Bin Baz t dari tazkiyah beliau terhadap Tabligh dan IM serta kelompok-kelompok bid’ah lainnya.
    Syubhat Ketiga:
    “Tidak ada seorang ‘Ulama pun yang bersama Syaikh Yahya.”
    Jawaban untuk syubhat ini ada dua point:
    Pertama: Kaidah ‘orang yang mengetahui adalah hujjah atas orang yang tidak tahu’. Kaidah ini telah lalu penjelasannya pada jawaban syubhat pertama.
    Kedua: Syaikh Yahya s tidaklah sendirian bahkan beliau bersama banyak Masyayikh, baik yang ada di markaz Darul Hadits sendiri atau yang di luar markaz. Saya telah mendengar sendiri Syaikh ‘Abdul ‘Aziz Al-Buro’i mengatakan: “‘Ulama bukanlah suatu barang yang berhenti kemunculannya.” Berapa lama telah lewat, semenjak meningalnya Imam Al-Wadi’I t?? Bukankah jangka waktu tersebut cukup untuk menghasilkan ‘Ulama yang terhormat, khususnya di Darul Hadits Dammaj dan lebih khusus lagi orang-orang yang dulu termasuk murid-murid senior Imam Al-Wadi’i t?
    Bukanlah syarat seorang disebut ‘Alim keluarnya tanduk darinya sehingga kita tahu bahwa dia ‘Alim. Akan tetapi hal tersebut diketahui dari dakwah dan karangannya serta tazkiyah ‘Ulama kepadanya. Merupakan hal yang diketahui bersama adanya beberapa Masyayikh di Darul Hadits Dammaj. Apakah mereka semua tidak dianggap keberadaannya?? Baik dari sisi keutamaan atau keilmuan mereka?? Dengan alasan apa kalian mengingkari keilmuan mereka yang menyamai keilmuan Masyayikh yang tidak sependapat dengan perkataan Syaikh Yahya??!!!
    Seorang penyair jahiliyyah mengatakan:
    "ينادونني في السلم يا ابن زبيبة وعند اصطدام الخيل يا ابن الأطايب"
    “Mereka memanggilku wahai Ibnu Zabibah dalam keadaan damai. Namun ketika kuda-kuda beradu mereka memanggilku wahai Ibnu Athoyib.”
    Yang diinginkan dari sya’ir ini adalah adanya perubahan dan penggantian karena adanya perubahan keadaan.
    Mereka itu adalah Masyayikh ketika suasana damai. Namun sekarang (ketika terjadi fitnah) mereka itu tidak dianggap sama sekali!! La haula wala’ Quwwata illa billah. Ya Alloh kami memohon kepadamu untuk bisa mengucapkan kalimat yang haq baik ketika marah maupun ketika ridho. Seorang penyair berkata:
    "إنّما يعرف الفضل لأهل الفضل ذووه"
    “Hanya orang-orang yang mempunyai keutamaan yang mengetahui keutamaaan orang-orang yang memilikinya.”
    Syubhat Keempat:
    “Yang terjadi antara ‘Adani dan Al-Hajuri bukanlah bukan permasalahan hizbiyyah dan bid’ah, tetapi hanyalah permasalahan pribadi belaka.”
    Jawaban:
    Saya katakan: “Sebenarnya apa itu hizbiyyah dan apa asas-asasnya sehingga kita bisa menghukumi bahwa seseorang itu hizbi atau bukan?? Sebab, sebagaimana dikatakan; hukum terhadap sesuatu adalah bagian dari pendiskripsian-nya. Jadi, pertama kali yang wajib adalah mengetahui apa itu hizbiyyah dan apa itu asasnya. Kemudian mengetahui keadaan orang yang terpenuhi padanya syarat-syarat hizbiyyah dan tidak adanya hal-hal yang menghalangi untuk dihukumi sebagai hizbi.”
    Hizbiyyah adalah wala’ dan al-baro’ yang melebihi batas syar’i sehingga menjadi al-wala’ dan al-baro’ yang bid’ah. Adapun wala’ dan baro’ syar’i adalah kecintaan dan kebencian yang berdasarkan pada ketaatan dan kemaksiatan kepada Alloh q, sedangkan al-wala’ dan al-baro’ yang bid’ah tidaklah ada yang bisa menghitung sebab-sebabnya kecuali Alloh q, yaitu semua hal yang menyelisihi wala’ dan baro’ syar’i.
    Asas hizbiyah adalah perpecahan. Barangsiapa yang memecahkan diri (dari jama’ah Al-Haq) berarti dia telah masuk dalam hizbiyyah. Dalil permasalahan ini adalah firman Alloh q:
    •    •        
    “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan lurus itu, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya.” [QS. Al-An’am :153]
                
    “Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.” [QS. Ar-Rum:32]
    •         
    “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi berkelompok-kelompok, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka.” [QS. Al-An’am:159]
    Inilah yang namanya hizbiyyah, dan inilah asasnya. Barangsiapa yang menyelisihinya maka sungguh dia jauh dari sasaran dan definisi yang dia berikan tentang hizbiyyah hanyalah berdasarkan cabang dari sekian cabang hizbiyyah.
    Jika orang yang mendekatkan diri kepada Alloh q dengan sesuatu yang datang dari dirinya sendiri saja disebut mubtadi’ dhol (ahlul bid’ah yang sesat), maka bagaimana dengan orang yang mendekatkan diri kepada Alloh q dengan sesuatu yang Alloh q haromkan, seperti hasad, kebencian, dendam, mengikuti hawa nafsu, minum khomr atau pencurian? Tidaklah ragu bahwa kejahatannya lebih besar. Bagaimana pula dengan orang yang mendekatkan diri kepada Alloh q dengan melepas ikatan iman yang terkuat, yaitu cinta karena Alloh q dan benci karenanya?? Tidaklah ragu lagi bahwa dosanya lebih besar dan lebih parah. Rosululloh ` bersabda:
    « أوثق عرى الإيمان الحبّ في الله والبغض في الله»
    “Sekuat-kuat tali iman adalah cinta kepada Alloh dan benci karena Alloh.”( )
    Merupakan perkara yang sudah diketahui bersama bahwa suatu kemungkaran akan menyeret kepada kemungkaran yang lainnya, berdasar besar dan parahnya kemungkaran tersebut pada seorang hamba. Oleh karena itu, ketika melepas tali Iman yang terkuat merupakan salah satu kemungkaran yang terbesar, maka tergabunglah padanya kemungkaran-kemungkaran dan bid’ah yang banyak.
    Jika demikian halnya, maka kemungkaran yang merupakan cabang dan timbul mengikuti kemungkaran sebelumnya tidaklah bisa dijadikan sebagai asas bagi kemungkaran yang pertama. Apabila nampak sifat-sifat buruk dan bid’ah-bid’ah yang jelas pada hizbiyyun, kita tidaklah menjadikan semua itu sebagai asas hizbiyyah. Kalau kita lakukan hal ini, tentu asas-asas hizbiyyah itu akan mencapai ratusan bahkan ribuan, sehingga berakibat tidak diketahuinya batasan hizbiyyah yang benar menurut syar’i.
    Sebagai contoh; dusta. Jika nampak pada hizbiyyun sifat ini, apakah dengannya kita menjadikan sifat tersebut sebagai asas hizbiyyah?? Tentu jawabnya tidak!! Sesungguhnya hizbiyyah itu adalah al-wala’ dan al-baro’ yang bid’ah. Sama saja apakah wala’ baro’ tersebut ditujukan kepada seseorang atau pencetus suatu pergerakan atau pemikiran, madzhab bid’ah, maksiat atau hal-hal lainnya yang menyelisihi syari’at. Yang penting hizbiyyah itu adalah wala’ dan baro’ yang sempit. Alloh q berfirman:
             •  
    “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Alloh dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya,”
    Sampai perkataanNya di akhir ayat:
      
    “Mereka itulah golongan Alloh. [QS. Al-Mujadilah:22]
    Alloh menjelaskan pada ayat ini bahwa asas dari hizbulloh adalah kecintaan sesama mukmin yang benar menurut syar’i. barangsiapa yang melepas kecintaan tersebut, sungguh dia telah menyelisihi hizbulloh yang selamat itu. Dia juga telah menyelishi hadits yang telah lalu.
    « أوثق عرى الإيمان الحبّ في الله والبغض في الله"»
    “Sekuat-kuat tali iman adalah cinta kepada Alloh dan benci karena Alloh.”
    Berdasarkan penjelasan ini, sebagai jawaban atas syubhat keempat saya katakan: “Sesungguhnya Al-‘Adani mempunyai wala’ dan al-baro’ yang sempit. Dia jugalah yang telah menimbulkan perpecahan yang semua itu merupakan asas hizbiyyah. Sungguh dia telah memecah belah dakwah salafiyyah, lebih parah daripada yang dilakukan Abul Hasan. Semua itu dilakukan Al-‘Adani dan pengikutnya tanpa ada sebab-sebab syar’i yang shohih yang bisa dijadikan dalil untuk membenarkannya.”
    Kami katakan kepada orang yang ingin melihat bid’ah secara jelas bahwa Alloh q telah berfirman:
         •      
    “Atau apakah orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya mengira bahwa Alloh tidak akan menampakkan kedengkian mereka ?” [QS. Muhammad:29]
    Suatu penyakit yang tersembunyi dalam hati terkadang Alloh q nampakkan pada salah seorang yang Dia pilih dari hamba-hambaNya yang beriman dengan dimunculkannya tanda-tanda yang menunjukkan tentang adanya penyakit tersebut. Setelah itu akan nampaklah penyakit-penyakit tersembunyi itu, sampai-sampai seluruh manusia melihatnya. Hal ini sebagaimana firmanNya q:
          •   
    “Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenali mereka dengan tanda-tanda yang ada pada mereka. Dan kamu benar-benar akan mengenali mereka dari makna-makna perkataan mereka.” [QS. Muhammad:30]
    Seorang penyair berkata:
    "ستبدي لك الأيّام ما كنت جاهلا ويأتيك بالأخبار من لو تزود"
    “Hari-hari akan menampakkan kepadamu apa-apa yang dulu belum kamu ketahui, dan akan datang kepadamu berita-berita yang kamu belum memilikinya.”
    Syubhat Kelima:
    Perkataan sebagian mereka: “Masing-masing dari kedua belah pihak memiliki wala’ dan baro’ yang sempit.”
    Saya katakan: Syubhat ini tidaklah mungkin diterima oleh seorang yang berakal sehat. Sebab para pengikut ‘Abdurrohman telah melepaskan wala’ mereka dari sebagian mukminin tanpa ada sebab syar’i yang shohih. Mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bentuk pendekatan diri kepada Alloh q yang diperintahkan agama ini. Dengan ini berarti mereka adalah mubtadi’. Sesuatu yang wajib bagi setiap sunni ketika menyikapi mubtadi’ adalah dengan membencinya dan memperingatkan manusia darinya. Amalan inilah yang dilaksanakan oleh pihak kedua (pihak Syaikh Yahya s).
    Maka bagaimana mungkin bisa disamakan antara kelompok pertama yang mereka mubtadi’ dan kelompok kedua yang mereka itu membenci mubtadi’??!! Hal ini tidaklah mungkin kecuali bagi orang-orang yang telah rancu padanya timbangan-timbangan syari’at sehingga tidak bisa lagi membedakan antara benci karena Alloh q dan benci karena selainNya.
    Syubhat Keenam:
    “Adani dan pengikutnya tidak melepas wala’ mereka dari seluruh salafiyyin. Disamping itu, mereka juga tidak mendirikan suatu hizbiyyah baru yang memusuhi dakwah salafiyah.”
    Saya katakan: barangsiapa melepas wala’nya dari seorang mukmin dan memusuhinya, walaupun dia mencintai seluruh kaum mukminin selainnya, maka perbuatannya ini yang tidak dibangun di atas sebab syar’i yang shohih dan anggapannya bahwa melepaskan wala’ dari si mukmin tadi serta berlepas diri darinya merupakan bentuk pendekatan diri kepada Alloh q yang dianjurkan agama, maka sungguh dia telah mendatangkan dalam agama ini sesuatu yang tidak Alloh q turunkan keterangannya. Sehingga dengan ini berarti dia telah membenci keridhoan Alloh q, yang karena kelancangan bid’ahnya tersebut dikhawatirkan amalannya akan terhapus tanpa dia sadari. Alloh q berfirman:
      •        
    “Yang demikian itu adalah karena Sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Alloh dan karena mereka membenci keridhaan-Nya, sebab itu Alloh menghapus (pahala) amal-amal mereka.” [QS. Muhammad:28]
    Mencintai mukmin termasuk keridhoan Alloh q dan membenci mukmin berarti membenci sesuatu yang Alloh q ridhoi. Sebab, orang yang melepas wala’nya dari seorang mukmin tidak tahu bahwa Alloh q membenci mukmin tersebut sehingga dia membencinya tanpa ada sebab-sebab syar’i yang mengharuskan untuk membencinya.
    Membenci orang yang dicintai Alloh q berarti dia telah mengobarkan peperangan kepadaNya. Alloh q telah berfirman dalam hadits Qudsi:
    «من عادى لي وليّا فقد آذنته بالحرب»
    “Barangsiapa memusuhi waliku sungguh aku telah mengumumkan peperangan kepadanya.”
    Memusuhi satu orang mukmin cukup sebagai bentuk penentangan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Bagaimanakah jika yang dimusuhi itu ribuan orang-orang beriman yang giat beribadah dan penghafal Al-Qur’an??!!
    Adapun pengakuan mereka, bahwa mereka tidaklah membentuk sebuah hizbiyyah baru, kami katakan: “Tidaklah seseorang disyaratkan untuk tidak divonis sebagai hizbi sampai dia memusuhi seluruh kaum mukminin. Alloh q telah mengkafirkan seorang yang memusuhi satu malaikat saja, dan seseorang yang mengolok-ngolok Rosululloh ` walaupun tidak melakukannya pada Rosul-Rosul yang lain p. Demikian juga dengan orang yang berolok-olok dengan sebagian shohabat g. Alloh q berfirman:
                  
    Katakanlah: “Apakah dengan Alloh, ayat-ayat-Nya dan Rosul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” [QS. At-Taubah:95-96]
    Alloh q juga telah mengancam orang yang memusuhi satu orang walinya dengan peperangan, maka bagaimana dengan permusuhan terhadap Ahlus Sunnah yang dikobarkan oleh ‘Adani dan hizbinya??!!
    Kami katakan kepada pemilik syubhat ini: “Jika mereka itu tidak mendirikan hizbiyyah baru yang memusuhimu, sesungguhnya mereka telah mendirikannya untuk memusuhi selainmu!! Dalam hadits dikatakan:
    "المؤمن للمؤمن كالبنيان يشدّ بعضه بعضا"
    “Mukmin yang satu dengan lainnya ibarat satu bangunan yang menguatkan satu sama lainnya.”
    Dalam hadits yang lain juga dikatakan:
    "كمثل الجسد الواحد إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر والحمى"
    “(Seorang mukmin yang satu dengan lainnya) seperti tubuh yang satu, jika salah satu anggota tubuh sakit maka seluruh tubuhnya ikut merasakannya karena tidak bisa tidur dan demam.”
    Lihatlah firqoh-firqoh yang tersebar saat ini, apakah mereka melepaskan wala’ dari salafiyyin secara keseluruhan, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal??!! Tentu jawabnya tidak!! Apakah mereka melepas wala’ dan memusuhi Imam Ahmad t, Syafi’i t, Al-Auza’i t atau Sufyan Ats-Tsauri t atau Imam-imam salaf lainnya?? Jawabnya adalah mayoritasnya tidak.
    Lalu apakah kita akan menghukumi bahwa mereka tetap dalam kesalafiyahan selama mereka memberikan wala’ kepada ‘Ulama salaf itu dan kita katakan bahwa mereka tidak membentuk hizbiyyah baru?? Tentu tidak!!
    Hal ini juga berlaku kepada Ikhwanul Muslimin, Abul Hasan dan Jam’iyyah-jam’iyyah yang ada. Mereka ini telah menimbulkan perpecahan dalam tubuh Ahlus Sunnah. Merekapun tidaklah memusuhi kecuali Ahlus Sunnah. Walaupun demikian ‘Ulama telah bersepakat tentang kehizbiyyahan mereka. Jadi, perkaranya sebenarnya sama saja (=kelompok-kelompok tersebut dan kelompok ‘Adani semuanya hizbi) jika kita memandangnya dengan kacamata yang bersih dari hawa nafsu.
    Saya tidaklah mengira bahwa pemilik syubhat ini akan membedakan antara yang hidup dan mati. Maksudnya, bahwa yang memusuhi satu orang saja dari orang-orang yang telah meninggal maka dia akan memusuhinya. Adapun jika yang dimusuhi adalah orang yang masih hidup maka permusuhan itu tidaklah dianggap, sehingga orang-orang yang memusuhi itu tetap sebagai orang yang berhak untuk dicintai dan kecintaan padanya merupakan bentuk pendekatan diri kepada Alloh q.
    Saya juga tidak menyangka bahwa pemilik syubhat ini akan menghizbikan seseorang sebatas karena adanya bid’ah padanya tanpa ada wala’ dan baro’’. Seandainya saja pada zaman kita ini ada seorang yang mengaku sunni tetapi mencela salah seorang imam Ahlus Sunnah terdahulu dan mengumumkan baro’nya dari Imam tersebut tanpa ada sebab-sebab syar’i yang shohih serta menuduh sang Imam dengan kedustaan dan kejahatan sebagaimana yag dilakukan orang-orang yang terfitnah itu kepada Syaikh Yahya s, -terlepas dari perbedaan yang ada antara mutaqoddimin dan mutaakhirin dari sisi keutamaannya- Kemudian orang itu juga bersumpah dengan sumpah yang berat tentang celaannya kepada Imam tersebut. Apakah dengan ini kita akan menghukumi orang itu sebagai orang yang sesat dan menyimpang?? Kemudian kita baro’ terhadapnya karena dia telah melepas wala’nya dari Imam-imam salaf dan memusuhi mereka ?? tentu jawabannya: Ya!
    Jadi, apa perbedaan seorang ‘alim yang telah meninggal dan yang masih hidup, selama ‘alim yang masih hidup ini, yang mereka melepas wala’ darinya tanpa sebab syar’i menunjukkan kepada kita kebaikan yang banyak serta keistiqomahannya di atas Al-Kitab dan As-Sunnah??!!
    Tidak usah kita pergi terlalu jauh, kelompok IM sebagian mereka dulu ada yang memuji Syaikh Bin Baz dan Syaikh ‘Utsaimin d. Mereka mengunjungi kedua ‘Ulama tersebut serta mengaku-ngaku bahwa mereka memiliki hubungan dengan keduanya. Padahal di balik itu mereka memiliki permusuhan dengan Imam-Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah selain kedua Imam tadi. Apakah pantas bagi kedua Imam tersebut untuk mengatakan bahwa orang ini salafi dan dia tidaklah membentuk hizbiyyah baru dikarenakan dia menunjukkan wala’ dan kecintaan kepada keduanya?!!
    Suatu yang haq untuk dikatakan tentang ‘Adani dan pengikutnya adalah: “Siapa saja yang diam tidak membicarakan mereka, mereka akan diam darinya. Dan siapa saja yang mentahdzir mereka, mereka akan mentahdzir dan mencaci makinya. Sungguh mereka telah tertimpa kaidah Al-Banna: “Tolong menolong dalam perkara yang disepakati –yaitu memusuhi Dammaj dan Syaikh Yahya- serta saling member udzur dan mendiamkan satu sama lain dalam perkara yang mereka berselisih padanya.”
    Barangsiapa yang mendukung mereka, mereka angkat dan besar-besarkan. Adapun kesalahan-kesalahan yang ada padanya mereka diamkan. Akan tetapi siapa saja yang menentang mereka, mereka akan berusaha mencari hal-hal yang bisa untuk digunakan dalam usaha menjatuhkannya.
    Syubhat Ketujuh:
    Perkataan sebagian mereka: “Adani dan para pengikutnya tidaklah bergabung dengan hizbiyyah yang ada sebelumnya.”
    Saya katakan: “Syubhat ini tidak butuh tenaga untuk membantahnya. Cukup kita katakan kepada mereka bahwa Rosululloh ` telah menyebutkan tentang terjadinya perpecahan umat sepeninggal beliau menjadi 73 golongan. Beliau tidak mengatakan bahwa golongan-golongan ini sebagiannya bergabung dengan sebagian yang lain. Seandainya mereka itu bergabung satu sama lain tentu akan menjadi satu kelompok saja dan jadilah kelompok itu ‘firqoh gabungan’ . Alloh q berfirman:
                
    “Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak menginginkan kekuasaan (dengan cara batil), menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi.” [QS. Al-Qoshosh:83]
    Siapa saja yang menginginkan ketinggian kekuasaan dan kerusakan tidaklah suka untuk bergabung dengan lainnya, bahkan dia bercita-cita untuk menjadi satu-satunya pemimpin yang diikuti. ‘Adani dan hizbinya sungguh telah membuat kerusakan yang besar di bumi ini, mereka telah berupaya untuk mencapai ambisi mereka di muka bumi dengan markaz Fuyusy impian mereka. Oleh karena itulah, pertama kali yang mereka usahakan adalah untuk menjatuhkan orang-orang yang akan menyaingi mereka, menurut pemahaman mereka yang tidak sehat itu. Usaha tersebut dengan mencela markaz Dammaj dan orang-orang yang ada di dalamnya.
    Pemilik syubhat ini hendaknya tahu bahwa ‘Adani dan hizbiyyahnya mengetahui seyakin-yakinnya kalau mereka bergabung dengan hizbiyyah-hizbyyah yang ada sebelum membentuk hizbiyyah tersendiri tentu akan terbongkar dengan cepat. Karena itulah mereka menyembunyikan persatuan mereka dengan pendahulu-pendahulu hizbiyyah tersebut, sebagaimana firman Alloh q:
    •        •         
    “Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak dari kamu sedikitpun dari siksaan Alloh. Sesungguhnya orang-orang yang zholim itu sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain, dan Alloh adalah pelindung orang-orang yang bertaqwa.” [QS. Al-Jatsiyah:19]
    Sebab, wala’ yang mereka pancangkan tersebut akan segera nampak baik sekarang atau besok, karena firman Alloh q itu haq dan tidak berubah-ubah. Hal ini kusebutkan agar orang-orang jahil tidak menyangka bahwa saya telah mengugurkan awal bantahan saya terhadap syubhat ini dengan akhirnya. Sebab, di sana ada perbedaan antara penggabungan suatu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga menjadi satu kelompok dengan tetapnya hizbi-hizbi itu dalam kelompok-kelompok yang berbeda tetapi terdapat wala’ di antara mereka. Adanya wala’ satu dengan yang lain tidaklah bertolak belakang dengan usaha masing-masing mereka untuk mencapai ambisi dan kekuasaan serta kepemimpinan. Alloh q telah menyebutkan bahwa orang-orang Yahudi dan Nashoro saling memberikan wala’ satu sama lainnya tetapi bersamaan dengan itu Alloh q mengatakan:
        
    “Kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah.” [QS. Al-Hasyr:14]
    Syubhat Kedelapan:
    Sebagian mereka mengatakan: “Kedua belah pihak sama-sama tsiqoh. Bagaimana kita bisa membenarkan yang satu atas yang lain??”
    Saya katakan: “Orang yang menginginkan Al-Haq hendaknya melihat sebab-sebab fitnah ini dan melihat bagaimana permulaannya!!”
    Permulaan fitnah ini adalah kejadian pendaftaran di markaz Fuyusy yang mereka cita-citakan itu sehingga menimbulkan keributan di Darul Hadits Dammaj. Masyayikh kita -semoga Alloh menjaga dan memberikan taufiq kepada mereka- telah menasehati ‘Adani dan pengikutnya untuk menhentikan pendaftran di Fuyusy tersebut. Namun mereka tidak mau meninggalkannya kerena mereka berprasangka bahwa Syaikh Yahya s tidaklah menasehati untuk menghentikan pendaftaran tersebut kecuali karena hasad. Sangkaan ini semakin menambah buruk keadaan mereka. Kemudian sebagian Masyayikh bersama ‘Adani berkumpul di Ma’bar dan mereka juga menasehatinya untuk bertaubat dan berlepas diri dari orang-orang yang mencela Syaikh Yahya s dan Markaz Dammaj. ‘Adani pun menyetujuinya dan menunjukkan baro’ahnya serta menulis pernyataan tersebut dengan tangannya. Namun sayang, semua itu hanyalah tinta di atas kertas belaka, tidak ada hakekatnya dalam kenyataan sama sekali.
    Oleh karena itu saya katakan kepada pemilik syubhat ini: “Siapakah pihak yang tsiqoh menurutmu?? Permasalahan ini terhampar di depanmu dan telah mengetahuinya orang-orang yang dekat maupun jauh. Sesungguhnya inilah poros permasalahan itu. Seandainya saja ‘Adani itu jujur dalam berlepas diri dari orang-orang yang terfitnah itu dan dari kepemimpinannnya, tentu fitnah ini akan segera selesai dan akan berhenti pula usaha para provokator itu. Akan tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Tidaklah ‘Adani ini bertambah kecuali semakin cinta pada orang-orang yang mencela Syaikh Yahya s dan baro’ terhadap Syaikh Yahya s bersama orang-orang yang membelanya.
    Syubhat Kesembilan:
    ‘Abdurrohman adalah orang yang mendapatkan tazkiyah dari ‘Ulama Afadhil.
    Saya katakan: Alloh q telah berfirman:
                      
    “Barangsiapa yang Alloh menghendaki kesesatannya, maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) dari Alloh. Mereka itu adalah orang-orang yang Alloh tidak ingin mensucikan hati mereka.” [QS. Al-Maidah:41]
    Alloh q juga berfirman:
                 
    “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian Dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu Dia diikuti oleh syaithon (sampai dia tergoda), Maka jadilah Dia Termasuk orang-orang yang sesat.” [QS. Al-A’rof:175]
            •    
    “Dan barangsiapa yang menukar nikmat Alloh setelah datang nikmat itu kepadanya, maka sesungguhnya Alloh sangat keras siksa-Nya.” [QS. Al-Baqoroh:211]
    Ayat-ayat tersebut menjelaskan bahwa seorang yang masing hidup tidaklah aman dari fitnah. Bukanlah sesuatu yang sulit terjadi bahwa seseorang itu berubah dari keistiqomahannya menjadi kejelekan, baik itu seorang ‘Ulama atau hamba biasa. Sungguh telah datang dari salaf bahwa mereka mengatakan:
    «لا تسأل عمّن هلك كيف هلك ولكن اسأل عمّن نجا كيف نجا»
    “Jangan engkau bertanya tentang seorang yang celaka bagaimana dia celaka tapi tanyalah tentang orang yang selamat bagaimana dia bisa selamat.”
    Memang ‘Abdurrohman dulunya di atas sunnah sebagaimana apa yang nampak darinya sehingga ‘Ulama pun mentazkiyahnya. Namun tatkala muncul darinya perkara-perkara yang dia lakukan, tahulah sebagian manusia tentang keadaannya. Sehingga mereka pun menghentikan tazkiyah kepadanya. Adapun sebagian yang lainnya mereka tidak tahu keadaan tersebut sehingga mereka tetap memberikan tazkiyyah. Perincian masalah ini telah lewat pada bantahan syubhat pertama.
    Sebagaimana telah diketahui di kalangan salafiyyin bahwa Jarh Mufassar dikedepankan daripada Ta’dil Mujmal walaupun jumlah orang-orang yang mentazkiyah lebih banyak. Jarh Syaikh Yahya terhadap ‘Adani adalah Jarh Mufassar. Adapun ta’dil sebagian Masyayikh kepadanya hanyalah secara global, karena mereka tidaklah melihat sebagaimana yang dilihat orang yang menjarh.
    Syubhat Kesepuluh:
    Hizbiyyun yang terdahulu memberikan wala’ kepada siapa saja, yang penting mereka setuju dengannya. Adapun ‘Adani tidaklah demikian, karena kami tidak melihatnya memberikan wala’ kecuali kepada orang-orang yang ta’at (kepada Alloh).
    Untuk membantah syubhat ini cukup dengan beberapa kalimat saja:
    Khowarij yang Rosululloh ` telah berkata bahwa mereka itu adalah anjing-anjing neraka tidaklah memberikan wala’ kepada setiap orang tanpa pilih pandang. Bahkan permasalahan wala’ bagi mereka sangatlah sempit adapun baro’ bagi mereka sangatlah luas. Mereka tidak memberikan wala’ kepada pelaku dosa besar, bahkan mengkafirkannya. Bersamaan dengan itu kami tidaklah mengetahui bahwa salaf mendiamkan mereka. Bahkan para salaf tersebut menerangkan kepada manusia bahwa Khowarij termasuk salah satu firqoh yang celaka.
    Lalu apa yang menghalangi untuk menjadikan bid’ah yang dipelopori ‘Adani dalam wala’ dan baro’ tersebut termasuk dalam jenis ini?? Al-Haq itu hanya satu dan kejelekan itu bermacam-macam.
    Syubhat Kesebelas:
    Perkatan mereka ‘Adani dan pengikutnya menerima nasehat dan bersikap tawadhu’ kepada Masyayikh. Bagaimana mungkin kita bisa menhizbikan mereka.
    Jawaban untuk syubhat ini adalah firman Alloh q:
     ••                          •          •   •        
    “Dan diantara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Alloh (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan keturunan , dan Alloh tidak menyukai kebinasaan.”
    “Dan apabila dikatakan kepadanya: "Bertaqwalah kepada Alloh", bangkitlah kesombongannya yang menyebabkannya berbuat dosa. Maka cukuplah (balasannya) neraka Jahannam, dan sungguh neraka Jahannam itu tempat tinggal yang seburuk-buruknya.” [QS. Al-Baqoroh:204-206]
    Imam As-Sa’di t dalam tafsir ayat ini: “Yaitu jika dia berbicara, perkataannya menjadikan pendengar tertarik. Jika dia berucap, engkau akan menyangka bahwa dia sedang mengucapkan sesuatu yang bermanfaat. Dia juga menguatkan apa-apa yang dikatakan tersebut dengan menyatakan bahwa Alloh q menyaksikan apa-apa yang di hatinya, yaitu dengan mangatakan kepada pendengaran bahwa Alloh mengetahui sesungguhnya apa-apa yang di hatinya itu sesuai dengan yang diucapkannya. Padahal dia itu telah berbohong, karena perbuatannya menyelisihi apa yang dia katakan.”
    Saya katakan: “Seperti inilah keadaan ‘Adani!! Dia menunjukkan sifat waro’, kebaikan, dan menerima nasehat, serta berlepas diri dari orang-orang yang menyalakan fitnah dan mencela Syaikh Yahya s serta markaz Dammaj ketika berkumpul bersama Masyayikh. Namun perbuatannya ternyata menyelisihi perkataannya tersebut. Tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali orang yang sombong terhadap kebenaran. Jika tidak, kenapa dia tidak menerima nasehat yang dikuatkan dalill-dalil dari orang yang menyelisihinya?? Kenapa dia tidak menerima dari ahlul haq yang mnyelisihinya, tetapi menerima selain dari mereka?? Sungguh ini adalah hawa nafsu dan penyimpangan yang sebenarnya!!
    Kemudian Imam As-Sa’di t berkata lagi: “Seandainya dia itu jujur tentu perkataannnya akan sesuai dengan perbuatannya, sebagaimana keadaan seorang mukmin, bukan munafiq. Oleh karena itulah Alloh q mengatakan:
       
    Yaitu ketika engkau berdialog dengannya kamu dapati sifat keras, sulit diajak kompromi, dan ta’ashshub serta sifat-sifat jelek lainnya yang timbul dari hal-hal tersebut. Semua ini bukanlah sifat-sifat orang beriman yang menjadikan kemudahan dan lapang dada sebagai tunggangan mereka dan tunduk melaksanakan Al-Haq sebagai pekerjaan mereka serta sifat pemaaf sebagai ciri-ciri mereka.”
    Saya katakan: “Yang dikatakan Imam As-Sa’di t ini juga sangat pas dengan ‘Adani dan hizbinya. Sungguh telah muncul dari ‘Adani akhlaq yang buruk yang merupakan sifat keji sehingga dia menuduh Syaikh Yahya s dengan kedustaan dan kekejian. Diapun menguatkan tuduhan tersebut dengan sumpah-sumpah palsu yang berat. Demikian pula yang muncul dari pengikutnya yang berupa tuduhan kepada Syaikh Al-Hajuri s dan murid-murid beliau bahwa mereka itu pembohong, penjahat, haddadi, ghuluw... bahkan sebagian mereka menuduh beliau dengan ke-zindik-an dan tidak punya rasa keagamaan serta tuduhan-tuduhan keji lainnya. Semua ini pada hakikatnya adalah pencerminan keadaan mereka sendiri.
    Lalu tuduhan apa lagi setelah sifat-sifat keji tersebut serta jauhnya dari akhlaq dan kelapangan dada orang-orang yang beriman serta sifat-sifat buruk lainnya dan olok-olokan tanpa hujjah dan bukti?? Semua itu mereka lakukan tidak lain karena Syaikh Yahya s menjelaskan kepada manusia kehizbiyahan mereka yang tersembunyi serta makar mereka terhadap dakwah salafiyyah dan para pembawanya.
    As-Sa’di t melanjutkan perkataannnya: “Jika engkau memberikan wala’ pada orang yang perkataannya mempesonakanmu ketika hadir di sisimu maka dia akan berbuat kerusakan di muka bumi ini yaitu dengan bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kemaksiatan yang hal tersebut merupakan kerusakan di muka bumi. Sehingga disebabkan karenanya hancurlah tanaman dan keturunan.”
    Saya katakan: “Kerusakan yang disebabkan ‘Adani dan hizbinya pada dakwah salafiyyah di Yaman sangatlah jelas. Perpecahan yang terjadi, kejelekan serta fitnah yang ada, semua ini dia dan orang-orang yang ta’ashshub kepadanyalah penyebabnya. (inilah kenyataannya!!) tidak ada yang menyangkalnya kecuali orang yang keras kepala.”
    Lalu, apakah perpecahan dakwah salafiyah yang dahsyat ini merupakan perbaikan atau kerusakan?? Jawabnya: Sesungguhnya hal itu termasuk diantara kerusakan terbesar yang terjadi di muka bumi. Janganlah kalian tertipu -wahai sekalian manusia- oleh ‘Adani dan pengikutnya dengan perkataan dan indahnya ucapan-ucapan mereka. Sebab perkataan seseorang tidaklah dianggap sampai perkataan tersebut ditimbang dengan perbuatannya. Alloh q berfirman:
              
    “Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. dan jika mereka berkata kamupun mendengarkan perkataan mereka.” [QS. Al-Munafiqun:4]
    Juga firmanNya q:
            •  
    “Mereka Sesungguhnya bersumpah: "Kami tidak menghendaki selain kebaikan." dan Alloh menjadi saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya).” [QS. At-Taubah:107]
    Sungguh kami berharap kepada pemilik akal sehat agar membuka hati-hati mereka untuk menerima Al-Haq, janganlah sampai mereka ini digiring oleh ‘Adani sehingga sama sekali tidak mau menerima bahwa ‘Adani itu telah berubah kemudian mereka mentakwilkan semua tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya dan membantahnya dengan syubhat-syubhat yang lebih rapuh dari sarang laba-laba. Kami memohon kepada Alloh q agar membukakan hati-hati mereka untuk menerima Al-Haq.
    Syubhat Kedua Belas:
    Perkataan mereka: “Kami sama sekali tidak melihat ‘Adani berdakwah kepada pemilu, Undang-undang atau bai’at-bai’at rahasia.”
    Saya katakan: “Telah lewat di depan bahwa sesuatu itu diketahui hakekatnya berdasarkan asas-asasnya bukan dengan salah satu cabangnya. Pemilu dan bai’at rahasia bukanlah asas hizbiyyah yang seorang itu tidak bisa dihukumi sebagai hizbi sampai dia berdakwah kepadanya. Jadi, beda antara hizbiyyah yang berupa kelompok dengan wala’ dan baro’ sempit, dengan pemilu yang berupa pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak tanpa memandang adanya penyelisihan kaidah-kaidah syar’i. Demikian pula bai’at.
    Hizbiyyah adalah bid’ah, sedangkan pemilu adalah maksiat selama tidak dijadikan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Alloh q yang dianjurkan agama. Dari sini kita ketahui bahwa adanya perpecahan serta wala’ dan baro’ sempit itu sendiri sudah merupakan bid’ah dan hizbiyyah. Tidak usah menunggu munculnya pemilu padanya. Perkara-perkara bid’ah itu banyak! Apakah suatu hizbiyyah disyaratkan ada padanya semua bid’ah atau setengahnya, sepertiganya ataukah minimal ada satu bid’ah padanya, atau bagaimana?? Ataukah sebatas wala’ dan baro’ sempit sudah bisa menjadikan seseorang sebagai hizbi dan tidak disyaratkan bid’ah-bid’ah lainnya???
    Jawaban yang adil dalam permasalahan ini adalah: Dalil-dalil syar’i telah menetapkan bahwa memusuhi seorang mukmimin tanpa sebab syar’i yang shohih adalah suatu kemaksiatan dan kemungkaran. Jika hal ini dijadikan sebagai bentuk pendekatan diri kepada Alloh q yang diajarkan agama, jadilah hal tersbut suatu bid’ah dari sekian bid’ah yang ada. Bahkan lebih besar dari pada sekedar bid’ah biasa, karena dia telah menetapkan suatu bentuk pendekatan diri kepada Alloh q dengan sesuatu yang dilarangNya. Perkara ini persis dengan orang yang beribadah kepada Alloh q dengan minum khomr, zina, riba, atau kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.
    Dari penjelasan yang lalu telah kita ketahui bahwa bid’ah wala’ dan baro’ tidaklah disyaratkan dalam menghukumi pelakunya sebagai hizbi sampai dia memusuhi seluruh kaum muslimin. Bahkan memusuhi satu mukimin saja sudah cukup untuk menjadikannya sebagai musuh Alloh dan Rosul-Nya serta kaum mukminin. Alloh q berkata dalam hadits Qudsi:
    "من عادى لي وليّا فقد آذنته بالحرب"
    “Barangsiapa yanng memusuhi seorang waliku maka sungguh Aku telah mengumumkan peperangan kepadanya.”
    Kesimpulannya bahwa adanya dakwah ‘Adani dan kelompoknya kepada pemilu dan bid’ah serta kemaksiatan lainnya bukanlah syarat untuk bisa dihukumi sebagai hizbi. Bahkan cukup dengan wala’ baro’ sempit serta perpecahan yang mereka lakukan untuk menjadikan mereka sebagai hizbiyyun.
    Syubhat ini pada hakekatnya hanyalah buah dari usaha pengkaburan atau buah dari ketidaktahuan hubungan makna hizbiyyah dan bid’ah. Oleh karena itu pahamilah permasalahan ini, wahai saudaraku muslim, karena jika engkau telah memahaminya Alloh q akan bukakan untukmu pintu-pintu kebaikan yang banyak dan akan mengokokohkanmu di atas sunnah.
    Syubhat Ketiga Belas:
    “Para hizby (pengikut kelompok-kelompok menyimpang dalam Islam) sudah dikenal, sementara ‘Adany bukanlah termasuk dari mereka”
    Saya katakan: “Bantahan untuk syubhat ini, sama seperti bantahan untuk syubhat sebelumnya. Hizbiyyah bukanlah barang dagangan yang dibatasi pasokannya, karena sesungguhnya hizbiyyah itu memiliki metode yang beragam, diantaranya ada yang sudah diketahui sejak seribu empat ratus tahun yang lalu, diantaranya ada yang tidak tampak dan tidak kita ketahui, dan Allohlah yang lebih tahu dengan keadaannya. Alloh q menciptakan kejelekan dengan bentuk yang bermacam-macam sebagai ujian bagi orang-orang yang beriman dan untuk membedakan antara orang yang jujur (dengan agamanya) dan orang yang berdusta. Seandainya metode hizbiyyah itu baku dan tidak berubah-ubah, bisa-bisa seorang pemuda berkembang hanya sebatas apa yang dibiasakan orang tuanya kepadanya tanpa adanya tabashshur (mencermati permasalahan) tentang hakikat suatu maksiat dan penyelisihan. Akhirnya pemuda ini berkembang tanpa memiliki pengetahuan yang benar tentang manhaj salafi yang dengannya dia bisa membedakan antara kebenaran dan kebathilan serta para pengikutnya. Alloh q mengatakan:
     ••     •    
    “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?” [QS. Al-‘Ankabut:2]
    Sebagian orang -yang mengklaim bahwa dirinya salafiy- mendengar bahwa hizbi Fulan dan jama’ah Fulan memiliki penyimpangan-penyimpangan ini dan itu sehingga dengannya mereka memiliki pengetahuan tentang keadaan hizbi-hizbi tersebut. Namun mereka tidak memiliki pemahaman yang benar tentang hakekat manhaj Salafi. Engkau akan menyaksikan orang yang seperti ini keadaannya, kalau datang bentuk fitnah yang baru, maka orang tersebut tidak akan mengenalinya. Dia akan menyangka fitnah tersebut adalah sebuah kebenaran kemudian berpegang teguh dengannya, sementara dia telah sesat bersama para pengikut fitnah tersebut. Karena yang menjadi kunci adalah mengenali kebenaran, bukan sekedar mengenali sebagian metode kebathilan tetapi bodoh dengan hakikat salafiyyah. Alloh q mengatakan:
               •        
    “Katakanlah: Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Alloh dengan hujjah yang nyata, Maha suci Alloh, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” [QS. Yusuf:108]
    Yang dimaksud dengan bashiroh adalah mengetahui kebenaran, beramal dengannya dan bersabar dalam menjalankannya. Para shohabat Rosululloh g tidak mengenal apa itu Quthbiyyah, Sururiyyah, Shufiyyah dan Ikhwanul Muslimin. Akan tetapi kalau mereka hidup dan melihat penyimpangan kelompok-kelompok tersebut tentu mereka (para shohabat) akan mengetahui penyelisihan mereka dari al-haq dan jauhnya para shohabat dari mereka. Hal ini disebabkan kekokohan mereka dalam mengetahui Al-haq.
    Adapun orang-orang yang tidak memiliki kekokohan dalam memahami Al-haq , walaupun dia mengetahui sebagian metode yang menyimpang, apabila datang sebuah perkara bathil yang tidak diketahuinya sebelumnya, dia akan menyangka bahwa perkara itu adalah sebuah kebenaran. Hal itu terjadi, karena dalam sangkaannya kebathilan itu hanya sebatas metode-metode yang diketahuinya. Alloh q mengatakan:
    •    •        
    “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalanKu yang lurus, maka ikutilah jalan lurus itu, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Alloh agar kamu bertaqwa.” [QS. Al-An’am:153]
    Dikatakan: “Kenalilah al-haq, maka engkau akan mengenali orang-orangnya.” Namun orang-orang yang tidak kenal dengan kebenaran tidak akan mengenali para pengikut kebenaran. Dari celah inilah kebanyakan thullabul’ilmi didatangi, sehingga mereka terfitnah dengan ‘Adani dan hizbinya, sampai-sampai mereka menyangka bahwa kejelekan hanya terbatas pada metode-metode pada zaman dahulu, sedangkan metode yang datang setelahnya bukanlah sebuah kejelekan.
    Syubhat Keempat Belas:
    Perkataan mereka: “Sebagian orang yang menyelisihi Asy-Syaikh Yahya adalah orang-orang yang jenggot dan kepalanya telah beruban dalam mengemban dakwah (maksudnya sudah senior dan berpengalaman).”
    Telah terdahulu, peringatan tentang syubhat ini, khususnya pada bantahan terhadap syubhat yang pertama, bahwasanya orang yang mengetahui adalah hujjah bagi orang yang tidak mengetahui. Juga bahwasanya kebenaran itu tidak dilihat dari pengikutnya, melainkan pengikutlah yang diketahui dengan kebenaran. Tidak seorangpun dari kalangan salaf yang mengklaim bahwasanya kebenaran itu mesti bersama orang-orang yang jenggot dan kepalanya telah beruban. Akan tetapi hujjahlah yang menjadi dalil. Orang yang bersama dalil dialah yang benar, baik dia itu orang tua, ataupun masih belia. Alloh q mengatakan:
                 •  
    “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).
    Alloh q mengatakan:
                    
    “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Alloh.” [QS. Asy-Syuro:10]
    Alloh q mengatakan:
                  
    “Kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Alloh (Al-Qur’an) dan Rosul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Alloh dan hari kemudian.” [QS. An-Nisa’:59]
    Pada ayat-ayat tersebut terdapat dalil untuk berpegang dengan kebenaran dan berpedoman kepadanya, bukannya kepada taqlid (mengikuti perkataan seseorang tanpa hujjah) kepada orang yang jenggot dan kepalanya telah beruban. Bagimu Saudaraku, ayat-ayat tentang tercelanya taqlid dan para pelakunya. Alloh q mengatakan tentang orang-orang yang mendustakan para Rosul p:
          •                      •     
    Bahkan mereka berkata: “Sesungguhnya Kami mendapati bapak-bapak Kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya Kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka.”
    Dan Demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak- bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” [QS. Az-Zukhruf:22-23]
    Alloh q mengatakan:
                    • 
    “Maka tatkala Musa datang kepada mereka dengan (membawa) mukjizat- mukjizat Kami yang nyata, mereka berkata: “Ini tidak lain hanyalah sihir yang dibuat-buat dan Kami belum pernah mendengar (seruan yang seperti) ini pada nenek moyang kami dahulu.” [QS. Al-Qoshosh:36]
    Alloh q mengatakan:
                 •                
    “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin yang kafir dari kaumnya: Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan Kami tidak melihat kamu memiliki sesuatu kelebihan apapun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta.” [QS. Hud:27]
    Alasan orang-orang tersebut dalam menolak dakwah para Rosul adalah bahwasanya bapak-bapak mereka yang telah beruban jenggot dan kepalanya, mereka tidak datang dengan apa yang dibawa oleh para Rosul dan mereka tidak mengajarkannya. Kemudian para Rosul pun disakiti dengan perkataan kaum musyrikin tersebut: “Wahai para Rosul, pengikut kalian adalah orang yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang rendah, mereka orang yang tergesa-gesa dalam berpendapat, tidak pelan-pelan dan tidak berpikir.”
    Lihatlah saudaraku seIslam, besarnya syubhat yang mereka jadikan sebagai alasan dalam membantah kebenaran. Ada kemiripan antara kaum musyrik dengan para muqollid (pengekor) di zaman kita sekarang, apabila kamu berkata kepada mereka; “Inilah yang benar, dan ini dalil-dalilnya”. Mereka akan menjawab: “Tidak, sampai orang-orang yang jenggot dan kepalanya telah beruban berbicara. Adapun kalian, hanyalah orang-orang yang tergesa-gesa dalam menghadapi permasalahan.Yang lekas percaya saja.”
    Selamat bagi para muqollid atas penyerupaan mereka dengan kaum musyrikin! Mereka tidaklah akan menolong kebenaran, bahkan sama sekali tidak mengambilnya, sampai orang-orang yang jenggot dan kepalanya telah beruban mengizinkannya. Betapa anehnya, sejak kapan seorang ‘Alim diutus membawa syari’at, sehingga umat tidak bisa beramal sebelum mereka meridhoi dan menetapkannya ??!!!
    Ini adalah sebuah konsep muhdast, yang tidak ada keterangannya dari Alloh q. Alloh q memerintahkan kita untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada ‘Ulama, adalah dengan mengacu kepada keilmuan mereka, bukannya uban yang ada di kepala dan jenggot mereka. Orang-orang yang berilmu adalah orang yang besar, dan besarnya kedudukan tersebut tergantung pada kadar keilmuannya. Di pihak lain, orang-orang yang bodoh adalah orang-orang yang kecil, dan kecilnya kedudukan tersebut tergantung pada tingkat kebodohannya.
    Konsep itu pun memiliki unsur tasyabbuh dengan Yahudi dan Nashoro, dari sisi taqlid mereka kepada rohib dan para pendeta mereka, tanpa adanya usaha keras untuk mengecek acuan kebenaran atau kebathilan perkataan si ‘Alim. Apabila engkau bertanya pada salah seorang muqollid: “Apa yang menjadi acuan kebenaran perkataan si Fulan dan si Fulan, sehingga kamu langsung mengambil perkataannya tanpa perlu dicek dan dipelajari??” Mereka bakal menjawab: “Mereka itu ‘Ulama. Kami ini siapa, sehingga kami bisa menolak perkataan mereka dan menasehati mereka ??. Kemudian mereka tidak memaksa dirinya untuk mencari mana yang benar dengan alasan sikap waro’ untuk tidak ikut campur dalam masalah fitnah.
    Kami berlindung kepada Alloh q dari konsep seperti ini yang disusupkan ke dalam dakwah Salafiyyah yang murni. Dakwah yang mengikat manusia dengan syari’at Alloh q, bukan dengan selainNya, serta mengajak manusia untuk mengikuti Rosululloh q, bukannya malah mengikuti dan taqlid kepada selainnya.
    Wahai Saudaraku, tinggalkanlah taqlid itu, karena dia merupakan sifat orang-orang kafir, ahlul ahwa’ serta orang-orang yang bodoh dengan ilmu syar’i.
    Syubhat Kelima Belas
    Perkataan mereka: “Kami bersama ratusan ikhwah, bahkan ribuan yang ikut bersama ‘Abdurrohman. Orang-orang yang menghizbikan mereka, jumlahnya hanya segelintir”
    Jawabannya: Alloh q mengatakan:
              
    “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Alloh.” [QS. Al-An’am:119]
    Alloh q mengatakan:
      ••    
    “Dan sebahagian besar manusia tidak akan beriman -walaupun kamu sangat menginginkannya-.” [QS. Yusuf:103]
    Alloh q mengatakan:
      ••   
    “Akan tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” [QS. An-Nahl:38]
    Masih banyak lagi ayat-ayat di kitabulloh yang menjelaskan bahwa mayoritas tidak ada nilainya di hadapan argumen syar’i. Rosululloh ` mengatakan, sebagaimana di Shohih Muslim dari hadist Abu Hurairoh z:
    "بدأ الإسلام غريبا وسيعود غريبا فطوبى للغرباء"
    “Agama Islam ini asing pada awal (kedatangan)nya, dan akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka thuba’ bagi Al Ghuroba’ (orang-orang yang asing)”
    Rosululloh ` juga mengatakan bahwasanya pada hari kiamat, akan ada Nabi yang datang dengan sekelompok besar orang, ada yang datang dengan segelintir orang, ada yang datang dengan seorang atau dua orang, bahkan ada yang datang tanpa pengikut sama sekali.
    Maka alasan bahwa mayoritas orang tidak menghizbikan ‘Abdurrohman, bukan berarti bahwa mereka itu bisa menjadi hujjah dan penentu dalam masalah ini. Syubhat ini dari asalnya saja sudah keliru, karena hal tersebut didasari anggapan bahwa setiap orang yang tidak menghizbikan ‘Abdurrohman maka orang itu bersamanya. Ini adalah kesalahan yang gamblang sekaligus perancuan yang tersembunyi.
    Syubhat Keenam Belas
    Perkataan mereka: “Bagaimana kita bisa mengorbankan masing-masing mereka, dan mengeluarkan mereka dari Salafiyyah ??”
    Saya Katakan: Bukan kalian yang memasukkan dan mengeluarkan seseorang dari Salafiyyah, melainkan ketaatan orang tersebutlah yang memasukkan, dan kemaksiatannyalah yang mengeluarkannya. Alloh q mengatakan:
                                  
    “Barangsiapa yang Alloh menghendaki kesesatannya, Maka sekali-kali kamu tidak akan mampu menolak sesuatupun (yang datang) daripada Alloh. mereka itu adalah orang-orang yang Alloh tidak hendak mensucikan hati mereka. mereka beroleh kehinaan di dunia dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.” [QS. Al-Maidah:41]
    Alloh Ta’ala mengatakan:
               
    “Barangsiapa yang Alloh sesatkan, Maka baginya tak ada orang yang akan memberi petunjuk. dan Alloh membiarkan mereka terombang-ambing dalam kesesatan.” [QS. Al-A’ro:186]
    Alloh q mengatakan:
                      
    “Dan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami adalah pekak, bisu dan berada dalam gelap gulita. Barangsiapa yang dikehendaki Alloh (kesesatannya), niscaya disesatkan-Nya. dan Barangsiapa yang dikehendaki Alloh (untuk diberi-Nya petunjuk), niscaya Dia menjadikan-Nya berada di atas jalan yang lurus.” [QS. Al-An’am:39]
    Adapun mengatakan seorang maftun (orang yang terfitnah) tetap dikatakan berada di atas sunnah padahal kejelekan dan kejahatan ada pada dirinya dengan alasan bahwa penghizbiyyannya berat diterima umat, jumlah mereka banyak, atau mereka memiliki massa, maka ini adalah bentuk penetangan terhadap As-Sunnah Al-Ilahiyyah dalam memurnikan kebenaran dan membedakan pengikutnya sehingga jelas mana yang jujur dan mana yang dusta. Alloh q mengatakan:
      ••                       
    “Hai manusia, kalianlahlah yang butuh kepada Alloh; dan Allah Dialah Al-Ghoniy (yang Maha Kaya, tidak memerlukan sesuatu) lagi Al-Hamid (Maha Terpuji). Jika Dia menghendaki, niscaya Dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru (untuk menggantikan kamu). Dan yang demikian itu sekali-kali tidak sulit bagi Alloh.” [QS. Fathir:15-17]
    Alloh q mengatakan:
       •        •   •     
    “Dan Alloh sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Alloh memberi petunjuk kepada mereka sehingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi. Sesungguhnya Alloh itu maha mengetahui segala sesuatu.” [QS. At-Taubah:115]
    ‘Kaum’ pada ayat ini bilangannya tidak dibatasi sedikit dan banyaknya, kecuali oleh Alloh q. Alloh q mengatakan:
       •      
    “Dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain, dan mereka tidak akan seperti kamu ini.” [QS.Muhammad:38]
       ••     •     
    “(yaitu) orang-orang yang kikir dan menyuruh manusia berbuat kikir. dan barangsiapa yang berpaling (dari perintah-perintah Allah) maka sesungguhnya Alloh Dia-lah Al-Ghoniy ( yang Maha Kaya) Al-Hamid ( lagi Maha Terpuji). [QS. Al-Hadid:24]
               •        
    “Dan Robbmu Al-Ghoniy (Maha Kaya) lagi mempunyai rahmat. Jika Dia menghendaki niscaya Dia memusnahkan kamu dan menggantimu dengan siapa yang dikehendaki-Nya setelah kamu (musnah), sebagaimana Dia telah menjadikan kamu dari keturunan orang-orang lain.” [QS. Al-An’am:133]
    Di dalam hadist Qudsi, Rosululloh ` mengatakan, bahwasanya Alloh q berkata:
    قال الله تعالى:«لو أنّ أوّلكم وآخركم وإنسكم وجنّكم كانوا على أفجر قلب رجل واحد ما نقص ذلك من ملكي شيئا».
    “Seandainya orang pertama dari kalian sampai orang terakhir, baik manusia ataupun jin, merada di dalam hati seorang lelaki yang paling fajir, maka hal itu tidak akan mengurangi kekuasaanKu sedikitpun.”( )
    Bukanlah tanggung jawab kita kalau si fulan sesat dan si Fulan sesat. Kita ini hanyalah hamba Alloh yang mesti menunaikankan apa yang diperintahkan Alloh q kepada kita, tanpa ada rasa keberatan atas perbuatanNya baik syar’i maupun qodary. Alloh q mengatakan kepada RosulNya `:
                
    “Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu, apakah Allah akan menerima taubat mereka atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” [QS. Ali ‘Imron:128]
    Tentunya orang selain beliau ` lebih-lebih lagi, tidak bisa mereka campur tangan sedikitpun dalam masalah penyimpangan orang-orang tersebut dari jalur yang benar, atau dalam masalah istiqomahnya orang tersebut. Seorang mukmin tentunya sedih melihat orang-orang yang menyimpang, akan tetapi sikapnya mesti sebagaimana yang dikatakan Alloh q:
                                       •      
    “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Alloh biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Alloh adalah Khobir (Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan).” [QS. An-Nisa:135]
                     
    “Jika engkau berkata maka berkatalah dengan adil, walaupun ia adalah kerabat(mu), dan penuhilah janji Alloh. yang demikian itu diperintahkan Alloh kepadamu agar kamu ingat.” [QS. Al-An’am:152]
    Syubhat Ketujuh Belas
    Perkataan mereka: “Dakwah itu diarahkan oleh para ulama, dan kami bersama mereka”
    Alloh q mengatakan:
      
    “Jika engkau berkata maka (berkatalah) dengan adil.” [QS. Al-An’am:152]
    Diantara bentuk keadilan adalah seseorang tidak menimbulkan kerancuan pada manusia dengan mencampur aduk antara kaidah ini dengan kaidah untuk kembali kepada Al-Haq ketika terjadi perselisihan di kalangan ulama. Kaidah yang mereka bawakan ini, cocoknya dipakai ketika tidak ada perselisihan dan pertentangan. Adapun ketika terjadi perselisihan, maka seorang ‘Alim dan juga yang lain, mesti berhukum dengan syari’at dan tidak menganggap perkataan seseorang dari mereka sebagai hujjah bagi yang lain, kecuali dengan dali syar’i. Perkataan seorang ‘Ulama diambil sebagai penguat pemahaman, bukan sebagai sandaran dan patokan. Alloh q mengatakan:
            
    “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya kepada Alloh.” [QS. Asy-Syuro: 10]
    Dari ayat ini, diketahui bahwasanya ketika terjadi perselisihan di kalangan ‘Ulama, maka pemilik dalillah yang benar, yang mesti diikuti dan diambil pemahamannya terhadap sebuah dalil. Dari dalil ini pun diketahui kebathilan perkataan orang-orang yang mengklaim kesalafiyyan ‘Abdurrohman dengan alasan bahwa kebanyakan ‘Ulama berpendapat demikian. Jadi kaidah ‘Dakwah itu diarahkan oleh para ‘Ulama’ mereka gunakan berdasarkan pemahaman mereka yang sakit.
    Pahamilah wahai Saudaraku Sunni, beda antara ‘Dakwah diarahkan oleh para ‘Ulama’ dengan ‘Rujuk kepada kebenaran dan dalil-dalil ketika terjadi perselisihan di kalangan ‘Ulama tanpa adanya unsur taqlid kepada salah seorang atau kebanyakan dari mereka.’ Maka kita katakan kepada si perancu umat dengan syubhat ini: “Apakah di Dammaj tidak ada ‘Ulama, sehingga kalian tidak menganggap perkataan mereka ?? Apakah mereka tidak bisa menarik hukum dari dalil-dalil yang ada untuk menghadapi permasalahan yang sedang terjadi ??”
    Dammaj itu dijunjung oleh setiap salafi yang jujur, karena dia adalah markaz terbesar di dunia pada zaman ini yang dikenal dengan keistiqomahannya di atas sunnah dan ilmu syar’i. Apakah semua ini berarti bahwa orang yang duduk di sana bukan ‘Ulama ?? Tidak mengetahui dhowabith (standar-acuan) tentang hizbiyyah ?? Dan mereka tidak bisa berfatwa terhadap permasalahan yang sedang terjadi ??
    Dammaj itu tidak menjadi tinggi karena dinding, batu dan pepohonan, melainkan karena ilmu syar’i, banyaknya ‘Ulama dan penuntut ilmu, serta kekokohan mereka di atas Sunnah dan kesungguhan mereka dalam membelanya. Ini adalah perkara yang masyhur pada segenap salafiyyin sebelum datang fitnah ‘Adani bersama hizbinya. Sehingga dia dan orang-orang yang bersamanya mengingkari kenyataan ini.
    Syubhat Kedelapan Belas
    Perkataan mereka: “Mereka itu adalah para ‘Ulama terkemuka, kami tidak mau ikut campur dalam perselisihan mereka.”
    Jawabannya adalah: Alloh q mengatakan:
          
    “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh), dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” [QS. Al-An’am:55]
                   
    “Yaitu agar orang yang binasa itu binasanya dengan keterangan yang nyata dan agar orang yang hidup itu hidupnya dengan keterangan yang nyata (pula). Sesungguhnya Allah Sami’ (Maha mendengar) ‘Alim (lagi Maha mengetahui).” [QS. Al-Anfal:42]
         
    “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [QS. Al-Anbiya’:107]
      •     •
    Katakanlah: “Hai manusia Sesungguhnya aku adalah utusan Alloh kepadamu semua.” [QS. Al-A’rof:158]
          
    “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan.” [QS. Al-Baqoroh:208]
    Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya agama Islam mencakup manusia keseluruhan, tidak dikhususkan pada kelompok tertentu. Barangsiapa yang memeluk Islam, maka wajib bagi orang tersebut untuk berpegang teguh dengan semua aturan yang ada padanya. Alloh q mengatakan:
          
    “Apakah kamu beriman kepada sebagian Al kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebagian yang lain?” [QS. Al-Baqoroh:85]
    Para ‘Ulama itu berselisih hanyalah jika suatu perkara terkait dengan agama. Yang satu mengatakan: “Ini adalah masalah agama”, dan yang lain mengatakan sebaliknya. Maka bagaimana bisa pemilik syubhat ini membolehkan seorang hamba untuk lalai dari perkara agamanya sehingga dengan sikap ini seseorang akan mengikuti perkataan setiap orang yang berteriak?!
    Seandainya para ‘Ulama tersebut berselisih dalam perkara-perkata kedokteran, teknik dan selainnya, maka wajar kita mengatakan “Kami tidak ikut campur dalam perselisihan mereka”, karena kita tidak punya kepentingan dalam masalah tersebut. Adapun perkara agama, maka wajib bagi setiap muslim untuk mencermati dan mengetahui mana yang benar dan mana yang bathil. Jangan lupa pula bahwa dia akan ditanya di kuburnya tentang perkara agamanya ini. Dikatakan kepadanya; “Apa yang kamu ketahui …”
    Alloh q mengatakan:
               •  
    Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata.” [QS. Yusuf:108]
    Orang-orang yang mengikuti Nabi `, memiliki kewajiban untuk berilmu dalam pengikutannya itu. Sementara ‘Ulama, mereka adalah pewaris para Nabi, maka demikian juga, wajib bagi seorang muslim dalam meneladani para ‘Ulama, dia harus diatas ilmu dan dalil-dalil. Terlebih lagi para ‘Ulama itu bukan orang-orang yang ma’shum (terjaga) dari kesalahan.
    Sekarang, setelah semua penjelasan ini, apa masih pantas dikatakan: “Kami tidak ikut campur dalam permasalahan ‘Ulama??!”
    Syubhat Kesembilan Belas:
    Perkataan mereka: “Dengan sikap kalian ini , kalian telah mengembalikan hukum kepada thullabul ‘ilmi dalam menyelesaikan pertikaian di kalangan ‘Ulama”
    Saya katakan: Alloh q mengutus para Nabi dan Rosul dengan membawa Tauhid. Apakah pantas dikatakan: “Sesungguhnya manusia yang didakwahi itu adalah hakim pemutus perkara antara para Nabi dengan kaum mereka ??” Jawabnya: “Tidak, para Nabi hanya mendakwahi manusia untuk mengamalkan kebenaran, dan bahwasanya setiap manusia dituntut untuk menegakkan syari’at Alloh q tanpa memperdulikan orang yang menentang”. Demikian halnya dengan perselisihan di kalangan ‘Ulama, apabila bentuk perselisihan tersebut adalah pendapat yang saling bertolak belakang, maka pastilah salah satu diantara mereka ada yang benar, dan ada yang yang salah dalam permasalahan tersebut. Orang yang salah, apabila dia seorang mujtahid yang sedang melakukan ijtihad syar’i, maka dia diberi pahala atas ijtihadnya dan kesalahannya dimaafkan. Namun apabila dia melakukan ijtihad bukan dengan metode syar’i, maka dia berdosa dan menanggung dosa orang yang mengikutinya.
    Hal ini sebagaimana terjadi di sebagian Imam Salafi, mereka berbuat kesalahan pada permasalahan ‘aqidah. Walaupun demikian mereka tidaklah boleh diikuti dalam kesalahan tersebut. Namun, ketika kesalahan itu muncul setelah mereka melakukan ijtihad dengan metode syar’i, maka mereka tidak dikeluarkan dari lingkup Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Mereka itu seperti An-Nawawi, Ibnu Hajar d dan yang lain رحمهم الله. Sebaliknya, diantara ‘Ulama ada yang berijtihad dan keliru, tetapi ijtihad tersebut tidak ditempuh dengan metode yang syar’i dan mereka tidak memiliki udzur syar’i, maka orang seperti ini keluar dari lingkup Ahlus Sunnah, seperti para pemimpin Khowarij, Qodariyyah, Mu’tazilah dan selain mereka. Lalu apakah bisa seorang tholibul ilmi mempelajari dhobit (standar-acuan) ijtihad syar’i sehingga tidak terjatuh kepada kesalahan??
    Jawabnya: Bisa. Kalau memang demikian, apabila seorang tholibul ilmi dituntut untuk mengetahui suatu permasalahan yang diperselisihkan, kemudian dia menilai bahwa permasalahan tersebut menyelisihi dhobit syar’iyyah dalam berijtihad, apakah dengan ini dia bisa dikatakan sebagai hakim bagi pihak yang memiliki permasalahan yang sedang diperselisihkan itu??
    Jawabnya: Tidak. Sebagai contoh: Seorang tholib dituntut untuk mengetahui keadaan sebagian kelompok sesat seperti Qodariyyah, Mu’tazilah, Shufiyyah, Ikhwanul Muslimin dan selain mereka, sehingga dia memperingatkan umat agar tidak terjatuh ke dalam kesesatan mereka. Apakah kemudian bisa dikatakan bahwa dia adalah hakim pengadil dalam masalah ini, dan perkara itu mesti kembali kepadanya jika ada orang-orang yang menyelisihi perkataannya ??.
    Jawabnya: Tidak. Dia hanya dituntut untuk mengetahui kesesatan mereka agar menjauh dari mereka. Alloh q mengatakan:
          
    “Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa.” [QS. Al-An’am:55]
    Seorang penyair mengatakan:
    عرفت الشرّ لا للشرّ لكن لتوقّيه ومن لا يعرف الخير من الشرّ يقع فيه".
    “Saya mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat kejelekan, namun untuk berlindung darinya.”
    “Barangsiapa yang tidak membedakan kebaikan dengan kejelekan, maka dia akan terperosok ke dalamnya.”
    Demikian pula dengan fitnah ini, kita menyeru manusia dan memperingatkan mereka, mencermati sebab-sebab dan lingkup penyelisihannya terhadap aturan syar’i. Kita bukannya menjadi seorang hakim pengadil diantara pendapat para ‘Ulama. Seorang ‘Ulama yang memiliki keikhlasan, apabila sebuah perkara tersembunyi darinya pada hari ini, bisa saja esok akan diketahuinya -dengan izin Alloh q-. Akan tetapi seorang tholib yang baru belajar, gampang tertipu karena kedangkalan ilmunya dan banyaknya syubhat, sehingga dia pun ikut bersama orang-orang yang tergelincir. Karena itulah para Salaf memperingatkan agar tidak bermajelis dengan ahlul bid’ah dan mendengarkan mereka serta membaca tulisan-tulisan mereka, kecuali bagi seorang alim yang berpengetahuan dan mampu membantah mereka. Semua peringatan tersebut didasari rasa khawatir akan terfitnah oleh mereka.
    Syubhat Kedua Puluh:
    Perkataan mereka: “Berilah ‘Adani udzur, bisa saja dia melakukan takwil (pemalingan makna) yang diperkenankan. Seorang ‘Alim bisa benar dan bisa salah.”
    Jawaban untuk syubhat ini adalah sebagai berikut. Insya Alloh q.
    Alloh q mengatakan:
                       
    “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seidzin Alloh; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” [QS. Al-A’rof:58]
          •        
    “Dan kalau Kami kehendaki, niscaya Kami tunjukkan mereka kepadamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenali mereka dengan tanda-tanda yang ada pada mereka. Dan kamu benar-benar akan mengenali mereka dari makna-makna perkataan mereka dan Alloh mengetahui perbuatan-perbuatan kamu.” [QS. Muhammad:30]
    Seorang yang sholih, bisa dilihat dari dampak perbuatannya yang baik bagi Islam dan kaum muslimin. Orang yang jelek diketahui dengan dampak perbuatannya yang jelek bagi Islam dan kaum muslimin. Sementara yang terlihat dari ‘Adani adalah dampak perbuatannya yang jelek terhadap dakwah salafiyyah di dalam dan di luar Yaman.
    Asy-Syaikh Abu Bilal Al-Hadhromi s mengabarkan kepada kami bahwasanya beliau mendatangi ‘Adani di awal-awal fitnah karena rasa cinta yang besar antara mereka berdua dan meminta ‘Adani untuk menemui Asy-Syaikh Yahya s dalam rangka menjernihkan permasalahan antara mereka berdua. ‘Adani malah berkata: “Aku tidak akan mendatanginya, Aku hanya pasrah kepada Alloh.” Paling tidak mestinya ‘Adani pergi dan memastikan apa alasan Asy-Syaikh Yahya, “Kenapa kamu membenci saya wahai Yahya??”. Tapi yang seperti ini tidak terjadi, perbuatannya ini menunjukkan bahwasanya fitnah adalah perkara yang telah dipersiapkan. Dia tidak mau walau sekedar menemui Asy-Syaikh Al-Hajuri s. Sejak dia keluar dari Dammaj ke ‘Aden, dia terus di atas sikap tersebut tanpa ada usaha untuk mempertautkan hati dan menyatukan kata para salafiyyin.
    Setelah itu tiba-tiba muncul pendorong untuk berbuat kebaikan, hal ini ketika keluar keterangan ‘Ulama di Ma’bar. Namun segera kami ketahui bahwa penandatangan tersebut hanyalah agar posisinya tetap bersama ‘Ulama dan adanya kekhawatiran terhadap efek-efek yang muncul dari perselisihan mereka. Semua itu kami ketahui karena tidaklah bertambah darinya kecuali permusuhan terhadap Darul Hadist Dammaj dan Asy-Syaikh Yahya. Kalian sendiri telah mengetahui apa yang terjadi setelah itu ketika dia melakukan sumpah palsu dengan alasan bahwa dia dizholimi.
    Maka kita katakan kepada pemilik syubhat ini: “Penakwilan apakah yang membolehkan ‘Adani sehingga dia mencabut wala’nya dari Asy-Syaikh Yahya s dan sebagian Thullabnya ?? Apakah terlihat pada Asy-Syaikh Yahya s perkara-perkara yang membuat seseorang bisa berburuk sangka kepadanya ??, sebagaimana sebagian salaf mengatakan: “Barangsiapa yang menempatkan dirinya untuk menjadi tertuduh, maka jangan sekali-kali dia mencela orang yang berprasangka jelek kepadanya.” ( )
    Ataukah si ‘Adani ini tidak tahu hukum melepaskan wala’ dari sebagian kaum mukminin tanpa adanya sebab-sebab syar’i yang shohih ??
    Jawabnya: Semua kemungkinan itu tidaklah ada! Terus apalagi udzur yang bisa kita pertimbangkan bagi ‘Adani dan pengekornya ??
    Adapun kondisi ‘Ulama bisa salah dan bisa benar, sesungguhnya kesalahan itu memiliki batas dan alasan-alasan yang dibenarkan. Maka ketika batas tersebut telah dilewati dan tidak ada alasan-alasan yang bisa dibenarkan, berarti si pelaku telah jatuh derajatnya sampai dia rujuk dari kesalahannya.
    Syubhat Kedua Puluh Satu
    Perkataan mereka: “Kami bersama ‘Ulama dalam pembebasan ‘Adani dari tuduhan, apakah kami dicela karena kami mengambil perkataan ‘Ulama ??
    Jawabnya: Ya, kamu dicela. Sebab kamu mengingkari dan menghina orang yang sependapat dengan Asy-Syaikh Yahya, dan malah menuduhnya sebagai orang yang tergesa-gesa dan congkak di hadapan ‘Ulama. Juga karena kamu mengatakan sesuatu yang kamu sendiri tidak meyakininya secara pasti. Kamu hanya percaya saja kepada para ‘Ulama tersebut karena mereka tidak mungkin merekomendasi ahlul bathil. Akibatnya, syubhat inilah yang kamu percikkan di wajah orang-orang yang telah memiliki gambaran tentang fitnah ini. Semestinya kamu beramal dengan wasiat Nabi `:
    «أمسك عليك لسانك وليسعك بيتك وابكِ على خطيئتك»
    “Tahanlah lidahmu, jadikanlah rumahmu cukup bagimu dan menangislah atas kesalahanmu.”
    (Hal inilah yang seharusnya kau lakukan) daripada kamu capek-capek menjadi tameng bagi ‘Adani dan hizbinya, sementara kamu tidak memiliki pengetahuan dan ilmu tentangnya. Juga lebih baik bagimu untuk berterus terang bahwasanya kamu bodoh dan lemah, tidak memahami sedikitpun dalam fitnah ini, kemudian kamu tawaqquf dengan cara tawaqquf yang benar.
    Orang-orang yang membersihkan ‘Abdurrohman dari kehizbiyyannya, sesungguhnya mereka bukanlah mutawaqqif. Akan tetapi dia berkeyakinan bahwa perkataan Al-Hajuri adalah perkataan yang bathil, tidak mempunyai dasar yang benar. Keyakinan seperti ini, semestinya dilandasi pengetahuan dan ilmu, bukan semata-mata taqlid cukup sebagai hujjah sehingga seorang muslim bisa menjawab jika ditanya pada hari kiamat. Bukan malah dia menjawab:
    «سمعت النّاس يقولون شيئا فقلته»
    “Saya mendengar manusia berkata sesuatu, maka akupun mengatakannya”.
    Maka barangsiapa yang berkata kepadamu: “Wahai pemilik syubhat, telah datang di AlQur’an, As-Sunnah dan kehidupan para salaf bahwasanya tidak mungkin tiga, empat, lima orang atau lebih bersatu untuk melawan seseorang, sementara kebenaran bersama orang tersebut, sehingga menjadi dasar bagimu untuk membangun keyakinan bahwa (kebenaran itu ditentukan) berdasaskan mayoritas semata.” Sesungguhnya esok kamu mesti bersiap-siap, wal ‘iyadzubillah seandainya kebanyakan Masyayikh tersesat , maka kamu termasuk bersama mereka di dalam kesesatan karena mereka mayoritas dan kamu membangun keyakinanmu di atas itu. Saya berdo’a kepada Alloh agar menjaga Masyayikh kita seluruhnya dan mengokohkan mereka di atas As-Sunnah sampai hari perjumpaan denganNya.
    Syubhat Kedua Puluh Dua
    Perkataan mereka: “Tawaqquflah pada perkara-perkara seperti ini karena tawaqquf lebih selamat!!”
    Kita katakan kepada si Pemilik syubhat ini,; “Apa itu tawaqquf ??”, “Apa saja konsekwensinya ??”, “Dan kapan berakhirnya ??”
    Tawaqquf dalam permasalahan khilaf adalah ketidakmampuan seseorang untuk mentarjih (memutuskan mana yang benar) diantara dua perkara sampai jelas baginya hujjah dari salah satu pihak sehingga dia bisa beramal dengannya. Kapan terlihat baginya poin penting yang bisa menguatkankan salah satu pihak maka dia langsung menguatkankan pendapat pihak tersebut. Bagi orang-orang yang masih belum memperoleh kejelasan maka dia terus mutawaqqif sampai perkara tersebut jelas baginya.
    Adapun posisi ‘Adani, bisa jadi dia benar, bisa jadi salah. Bisa jadi dia seorang salafi dan bisa jadi hizbi, tidak ada posisi di tengah-tengah itu.
    Semoga setelah membaca ini, para mutawaqqif dalam fitnah ‘Adani terdesak untuk membuka pembahasan-pembahasan tentang masalah-maslah seperti ini baik di bidang aqidah ataupun manhaji, ini kalau dia betul-betul tawaqquf. Alloh q mengatakan:
            •         
    “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS. Isro’:36]
    Dia takut untuk mengemukakan pendapat sebagaimana pendapat Masyayikh dalam keadaan dia menolak dengan gigih pendapat Asy-Syaikh Yahya s, sementara dia sendiri tidak memiliki hujjah yang membuktikan kesalahan Asy-Syaikh Yahya s. Atau sebaliknya, dia takut untuk mengemukakan pendapat sebagaimana pendapat Asy-Syaikh Yahya s dalam keadaan dia menolak dengan gigih pendapat Masyayikh, sementara dia sendiri tidak memiliki hujjah yang membuktikan kesalahan Masyayikh. Kondisi seorang mutawaqqif tidak terlepas dari dua kemungkinan:
    Yang pertama, apabila dia memiliki kemampuan untuk meneliti dan mencek, maka wajib baginya untuk melakukannya sampai dia mengetahui kebenaran bersamaan pemohonannya kepada Alloh q untuk dibantu dalam masalah tersebut dan tekun melakukan ibadah. Karena tidak pantas bagi seorang muslim untuk bermalas-malasan dan lalai dalam mengetahui kebenaran.
    Yang kedua, apabila dia tergolong orang-orang yang tidak memiliki kemampuan untuk meneliti dan mencek, maka wajib baginya untuk tekun beribadah kepada Alloh q, dan memohon pertolongannya, serta menahan lisannya sebagaimana di hadist:
    «أمسك عليك لسانك وابك على خطيئتك وليسعك بيتك».
    “Tahanlah lidahmu, jadikanlah rumahmu cukup bagimu dan menangislah atas kesalahanmu”.
    Adapun orang yang mengaku-ngaku bahwa dia mutawaqqif, terus melontarkan syubhat semacam ini kepada orang-orang yang ingin mencari kebenaran, maka ini termasuk menghalangi orang dari jalan Alloh q.
    Bagi seorang mutawaqqif wajib untuk mengetahui dua perkara:
    Yang pertama, dia mesti menyadari bahwa sikap tawaqqufnya itu muncul dari kelemahannya dalam mengetahui kebenaran, serta kelemahannya untuk mengenali orang-orang yang benar, sehingga sikap tawaqquf menjadi pilihan yang lebih selamat baginya.
    Yang kedua, dia jangan menduga kalau orang lain sama sepertinya, dari sisi bahwa mereka tidak mungkin mengetahui kebenaran yang tersembunyi baginya. Jika dia menyeru orang dengan syubhat ini berarti dia menyangka orang lain sama seperti dirinya.
    Demikian juga, wajib bagi seorang mutawaqqif untuk mengetahui bahwasanya tawaqquf itu bukanlah sekedar pertikaian fulan dengan fulan, sementara aku tidak ikit-ikut. Ini adalah pemahaman yang keliru, karena seorang hamba tidak mengibadahi Alloh q di atas kejahilan. Namun dia beribadah di atas ilmu dan pengetahuan.
    Terus, jangan pula si Mutawaqqif mengkritik orang yang melihat sesuatu dalam fitnah ini. Karena jika dia mengkritik orang tersebut dan mengajaknya untuk tawaqquf, berarti dia sedang mengajak manusia kepada kebodohan dan kelemahan. Sebab sebagaimana penjelasan terdahulu, tawaqquf muncul dari kondisi kebodohan dan kelemahan dalam memahami suatu perkara dan penyebabnya, atau si mutawaqqif tersebut lemah dan rendah kemampuannanya untuk memahami manhaj salafi.
    Bisa jadi si Mutawaqqif akan berkata: “Setiap pihak mengklaim (mengaku) bahwasanya dia mengetahui sisi ini dan sisi itu, terus apa yang kami lakukan ??” Kita katakan padanya sebagaimana Rosululloh ` mengatakan:
    «أمسك عليك لسانك وليسعك بيتك وابك على خطيئتك».
    “Tahanlah lidahmu, jadikanlah rumahmu cukup bagimu dan menangislah atas kesalahanmu”.
    Jangan sekali-kali kamu berdebat tanpa ilmu, Alloh q mengatakan:
     ••        •  •             
    “Di antara manusia ada orang yang membantah tentang Alloh tanpa ilmu pengetahuan dan mengikuti setiap syaithon yang jahat. Yang telah ditetapkan terhadap syaitan itu, bahwa barangsiapa yang berkawan dengannya tentu ia akan menyesatkannya, dan membawanya ke adzab neraka.” [QS. Al-Hajj:3-4]
    Tawaqquf tersebut tidaklah akan terjadi kecuali pada perkara-perkara yang samar, Alloh q mengatakan:
                          
    “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan ulil Amri).” [QS. An-Nisa’:83]
    Kami akan sebutkan faidah dari ayat ini yang faidah tersebut ibarat petir bagi para muta’ashshib (pendukung fanatik) ‘Adani.
    Khusus pada ayat ini kebanyakan orang berdalil untuk menentang kami bahwasanya kami ini tergesa-gesa dan tidak mengembalikan perkara kepada ‘Ulama sebagaimana diperintahkan di dalam ayat tersebut.
    Maka saya katakan: Pada ayat ini terdapat penjelasan di mana dan kapan diperbolehkannya tawaqquf, kapan berakhirnya dan dengan hukum siapa tawaqquf itu terhenti.
    Adapun di mana diperbolehkan, diambil dari perkataan Alloh q:
             
    “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan..” yaitu di permasalahan-permasalahan yang memiliki kerancuan.
    Adapun kapan diperbolehkan, dipetik dari perkataan Alloh q:
             
    “..Mereka lalu menyiarkannya. Kalau saja mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil Amri di antara mereka
    Kata-kata "فأذاعوا به" adalah larangan untuk menyebarkannya -yakni menyebarkan tawaqquf-, Alloh q mengatakan:
          
    “.. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rosul dan ulil Amri di antara mereka..” Demikian juga tawaqquf, selama masalah itu masih rancu, maka penyelesaiannya berada di tangan ‘Ulama.
    Adapun sampai kapan boleh tawaqquf, dipahami dari perkataan Alloh q:
        
    “..Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan ulil Amri).”
    Apabila orang-orang yang memiliki kemampuan untuk mengambil hukum telah mengetahui hakikat perkara tersebut, maka berhentilah tawaqquf, dan wajib untuk berpendapat dengan hukum syar’i.
    Adapun dengan hukum siapa tawaqquf terhenti, didapat dari perkataan Alloh q:
      
    “..Orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan ulil Amri).”
    Alloh q tidak mengatakan mereka semua akan mengetahui, sementara Alloh q menyebutkan bahwa pengembalian masalah (kepada ulil amri) ditujukan kepada semua orang. Kemampuan untuk memetik hukum hanya untuk sebagian orang, apabila hakikat permasalahan secara syar’i telah diketahui walaupun oleh satu orang, maka wajib untuk mengambilnya tanpa memperdulikan orang-orang yang masih belum bisa memetik hukum syar’i. Alloh q tidak menyuruh kita untuk menunggu ijma’ (kesepakatan) ulil Amri, akan tetapi memerintahkan kita untuk mengambil hukum yang dipetik.
    Terus bagaimana bisa sebagian ikhwan datang dan mengharuskan kita untuk tawaqquf sampai semua ulil ‘Amri bisa menarik hukum dari permasalahan tersebut, dan menuduh kita mendahului ulama atau kita telah menjarh ulama tanpa kita sadari ??!!!
    Subhanalloh, semua tuduhan dan syubhat ini dilatarbelakangi oleh kebodohan terhadap hukum syar’i. Alloh q mengatakan:
        
    “..Tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rosul dan ulil Amri).”
    Sementara mereka malah mengatakan: “Tidak, sampai semuanya telah menarik hukum !!”
    Demi Alloh, ini adalah perkara yang berbahaya, bagaimana bisa mereka berpaling dari dalil-dalil sehingga tidak menerapkan hukum syar’i terhadap si Fulan ?? Pahamilah saudaraku seIslam, semoga Alloh memberikan taufiqNya kepadamu, ketika masalah ini lewat, jangan biarkan dia lewat begitu saja seperti berlalunya awan di musim panas.
    Syubhat Kedua Puluh Tiga:
    Perkataan mereka: “’Adani tidak membantah Al-Hajuri, dan itu ia lakukan karena sikap waro’nya.”
    Syubhat ini kami dengar sendiri di muhadhoroh ‘Adani ketika dia memuji pembicara sebelumnya bahwasanya dia adalah seorang da’i ilalloh di atas pengetahuan. Diantara yang disampaikan oleh pembicara tersebut adalah: “Sesungguhnya ‘Ulama kita tidak membantah orang-orang yang kurang ajar kepada mereka, sikap itu buah dari kewaro’an mereka, bukan karena mereka pengecut, takut ataupun lemah”. kejadian ini berlangsung di muhadoroh utama ‘Adani yang terakhir.
    Perkataan itu hampir-hampir membuatku tertawa ketika aku mengingatnya. Perkataan yang cuma bisa memikat orang-orang yang lalai. Dakwah Salafiyyah yang besar ini menjadi saling memusuhi gara-gara dia kemudian (dengan seenaknya) mengklaim sikap waro’. Mungkin saja si ’Adani ini seorang yang lengah, tidak tahu kapan diam dan kapan harus berbicara. Namun ini adalah kemungkinan yang jauuh…. Sebab dulu dia termasuk orang yang diacungkan jempol (dipuji) dari sisi keilmuan. Atau bisa saja dengan sikap diamnya itu, dia ingin merangkak untuk menggoncang dakwah salafiyyah dan mengumpulkan manusia di sekelilingnya, karena kalau dia berbicara akan terlihat kejelekannya sebagaimana terlihat kejelekan opera pendahulunya.
    Walaupun ‘Adani bicaranya sedikit, tapi kondisi ini telah menunjukkan apa sebenarnya yang mendorong kedendaman ‘Adani terhadap para da’i salafi. Dia telah bersumpah demi Alloh bahwasanya sejak awal menuntut ilmu, dia tidak pernah melihat orang yang paling pendosa dan besar tipu dayanya selain Al-Hajuri. Dan berbagai cacian lainnya dari ‘Adani yang tidak memiliki landasan syar’i. Seandainya yang dimaksud ‘Adani adalah bahwa setiap ahlul bid’ah yang mengaku sebagai pelaku perbaikan, maka Al-Hajuri itu lebih pendosa dan lebih besar muslihatnya dari mereka, tentu ini adalah kebohongan besar!! Bahkan bisa jadi ‘Adani sendiri tidak yakin tentang perkara tersebut. Sebab di luar sana masih ada Al-Qordhowi, Az-Zindani, ‘Amr Kholid dan yang lainnya dari gembong-gembong kesesatan. Apabila yang dia maksud adalah dari kalangan Ahlus Sunnah, maka ini adalah fitnah (tuduhan palsu) yang besar terhadap para da’i salafi, karena dia telah menyifati mereka sebagai para pendosa dan pembuat tipu daya. Perkataan dia: “Paling pendosa dan besar tipu dayanya”, mengandung konsekuensi bahwa selain Al-Hajuri berposisi sebagai para pendosa walaupun tingkatannya masih di bawah Al-Hajury. Inilah dua konsekuensi perkataannya yang semuanya pahit untuk dia terima.
    Ucapan tersebut adalah salah satu dari ucapan ‘Adani yang keluar dari mulutnya tanpa dipikir terlebih dahulu( ).
    Contoh lainnya adalah pengakuan ‘Adani bahwa telah terjadi pada dirinya sesuatu yang belum pernah ada dia ketahui sebelumnya, menurut sangkaannya. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pada ‘Adani memang ada perubahan. Sebagian salaf mengatakan -yang bermakna-:
    أنّ الرجل إن أخفى بدعته ظهرت في ولده أو صديقه أو فلتات لسانه
    “Apabila seseorang menyembunyikan bid’ahnya, maka bid’ah tersebut akan terlihat pada anaknya, temannya atau keceplosan bicaranya”.
    Lihatlah orang-orangnya ‘Adani! Yang keluar dari mulut-mulut mereka hanyalah kedustaan, kemaksiatan dan kata-kata yang menyakitkan ‘Ulama, serta bentuk lainnya dari sifat-sifat tercela. walaupun ‘Adani mengaku bahwa dia telah baro’ dari perbuatan mereka, tapi kenyataannya rasa loyalitas terhadap mereka malah semakin bertambah. Hal ini terjadi tidak lain karena:
    الأرواح جند مجنّدة ما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف.
    “Ruh-ruh itu seperti tentara-tentara yang berbaris, apabila mereka saling mengenal maka akan bersatu. Jika tidak, maka mereka akan berselisih.”
    Syubhat Kedua Puluh Empat
    Perkataan mereka: “Kami tidak terima kata-kata: “Saya dikabari fulan …”, atau “Si fulan mengatakan …”. Jika datang kaset atau malzamah dari pembicara langsung, baru kami bisa percaya. Kalau tidak, afwan saja”
    Kita katakan kepada pemilik syubhat ini, simaklah apa yang telah dikatakan para pendahulu kalian, Alloh q mengatakan:
                   
    “Kaum 'Ad berkata: Hai Huud, kamu tidak mendatangkan kepada kami suatu bukti yang nyata, dan kami sekali-kali tidak akan meninggalkan sembahan-sembahan kami karena perkataanmu, dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kamu.” [QS. Hud:53]
                     
    “Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. Kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah kitab yang kami baca.” [QS. Al-Isro’:93]
    Adapun orang yang menyelisihi kalian, Alloh q mengatakan:
           •          
    “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS. Al-Hujurot:6]
    Ahli tafsir mengatakan, dari ayat ini dipahami bahwasanya apabila kabar datang dari seorang tsiqoh (bisa dipercaya), maka kabarnya bisa langsung diterima tanpa mesti tatsabbut (mencari kepastian kebenarannya) dulu. Seorang salafi yang jujur, merasa puas jika diberi dalil, tanpa perlu bersilat lidah dan keras kepala.
    Syubhat Kedua Puluh Lima
    Perkataan mereka: “Orang-orang yang menukil-nukil perkataan Asy-Syaikh Yahya adalah para penyusup. Merekalah yang mengobarkan fitnah antara kedua Syaikh ini.”
    Saya katakan:
    Pertama, Asy-Syaikh Yahya s, termasuk ‘Ulama hadist secara teori maupun prakteknya. Tentunya kita sadari, bahwa orang yang memiliki sifat seperti ini sangat menjaga kejujuran perkataannya dan benar-benar mencek pembawa berita. Adapun terkadang terjadi kekeliruan seseorang dalam menukilkan sebuah berita, maka tidak menyebabkan penukilan-penukilannya yang lain menjadi tercela. Siapa sih yang tidak pernah berbuat salah ?? Tolong sebutkan kepada kami, siapa dari kalangan salaf yang tidak pernah keliru sedikitpun dalam penukilannya, ini sesuatu yang mustahil.
    Selanjutnya saya katakan, apakah semua perkataan yang dinukil Asy-Syaikh Yahya s itu tidak benar ?? Apakah beliau s mengeluarkan seseorang dari kesalafiyyan tanpa tatsabbut terlebih dahulu ?? Hal ini tidaklah benar. Apabila terdapat dalam penukilan itu sesuatu yang diklaim kekeliruannya, bukan berarti kita bisa mencela sisa penukilan-penukilan lainnya yang memang nyata adanya.
    Kedua, Asy-Syaikh Yahya s dalam fitnah ini, tidak sekedar menukil berita. Beliau menyaksikan dan mendengar langsung. Fitnah ini muncul di “rumah”beliau sendiri, maka bagaimana bisa beliau tidak mengetahui dan mendengarnya ?! Kemudian beliau pun melaksanaan kewajibannya untuk menasehati, maka ketika melihat nasehat sudah nggak mempan pada sebagian orang yang beroperasi di fitnah ini, dan melihat orang-orang tersebut bakal membuka pintu kejelekan terhadap dakwah, maka beliau pun berkata dengan sesuatu yang beliau yakini sebagai amalan yang bisa mendekatkan dirinya kepada Alloh q.
    Beliaulah orang pertama yang bertanggung jawab atas ma’had ini, dan beliau berhak untuk mengambil tindakan yang dipandang sesuai bagi kemaslahatan ma’had dan dakwah salafiyyah dalam mengusir dan menjauhkan gembong-gembong fitnah tersebut. Dan ini terbukti, permasalahan mereda di ma’had dan kondisi berjalan dengan baik setelah pengusiran mereka tersebut.
    Namun komplotan tersebut, ketika merasa bahwa pemberontakan mereka tidak bisa diwujudkan dari dalam, merekapun beralih untuk membuat keributan dan fitnah dari luar, sehingga tertipulah orang-orang yang bisa ditipu. Seandainya saja setelah diusir mereka memilih untuk menfokuskan diri dalam beribadah kepada Alloh q dan kembali kepadaNya, serta memperbaiki apa-apa yang mereka pandang sebagai penyebab terusirnya mereka, tentu tidak akan terjadi apa yang menimpa dakwah salafiyyah di Yaman saat ini. Akan tetapi komplotan ini setelah keluar dari Dammaj, malah mereka melanglang buana kesana-sini untuk menghimpun orang-orang di sekitarnya dan memprovokasi mereka untuk menentang Darul Hadist Dammaj dan Syaikhnya, Yahya s. Akhirnya mereka pun berhasil membuat fitnah yang besar, yang sampai sekarang kita masih meneguk kepahitannya, Wallohul Musta’an.
    Syubhat Kedua Puluh Enam
    Perkataan mereka: “Jangan kalian ta’ashshub sama Syaikh Yahya”
    Kita tidak mendapatkan contoh yang cocok dengan syubhat ini, kecuali perkataan Alloh q:
         
    “Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat): “Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba.” [QS. Al-Baqoroh:275]
    Maka ketika rasa cinta terhadap riba telah mengental di hati-hati mereka, mereka pun menyamakan jual beli dengannya. Padahal jika memang mereka tidak boleh tidak harus menentang, tentu penyamaan riba dengan jual beli lebih pas (daripada jual beli yang disamakan dengan riba).
    Demikian pula dengan pemilik syubhat ini, mereka menjadikan Asy-Syaikh Yahya s seorang sumber kesalahan, dari sisi bahwasanya orang-orang yang mengambil pendapatnya, mereka hukumi sebagai seorang muta’ashshib dan barangsiapa yang mengambil pendapat orang-orang yang menyelisihi beliau dalam kasus penghizbian ‘Adani, maka dia adalah orang yang adil dan pertengahan. Lalu apakah hujjah mereka ?? Kami tidak melihat satu hujjah pun, yang ada hanyalah pendapat dengan mayoritas, seolah-olah perkara ini ibarat PEMILU dan persidangan sebagaimana yang dilakukan para pecinta dunia dalam menjalankan politik mereka.
    Kita tidak mengambil pendapat Asy-Syaikh Yahya s karena taqlid semata. Namun kita mengambilnya karena merasa yakin dan puas, tidak ada sedikitpun kerancuan pada perkataan beliau dan penghizbiyyan beliau terhadap mereka. Saya mendengar sendiri di awal-awal fitnah, ketika itu saya di Dammaj, Asy-Syaikh Yahya s mengatakan bahwa fitnah Abul Hasan dan hizbinya muncul dengan corak yang jelas dan langkah-langkah yang cepat, adapun hizbi (jadid) ini muncul dengan corak yang suram dan pergerakan yang lamban. Ketika Asy-Syaikh Yahya s mengatakan hal tersebut, beliau memberi isyarat tangan, dengan cara menggabungkan jempol dan jari tengah, kemudian mengangkat jari telunjuk dengan posisi miring, dan merapatkan dua jari yang lain. Kemudian beliau mengarahkan tangannya ke arah kami maju mundur dengan gerakan yang lamban, seakan-akan saat ini saya melihat apa yang beliau contohkan ketika itu karena baliau mengatakan pergerakan yang lamban.
    Sungguh engkau sebagai sosok yang menakjubkan, Wahai Yahya bin ‘Ali, demi Alloh bergembiralah dengan apa yang telah Alloh anugerahkan kepadamu berupa kecermatan tentang kondisi para hizbiyyin dan tidak ada rasa takut terhadap celaan para pencela dalam menempuh jalan Alloh q. Inilah sangkaan kami terhadapmu dan Allohlah yang lebih tahu. Kami memohon kepada Alloh agar menjagamu demi Islam dan Muslimin.
    Syubhat Kedua Puluh Tujuh
    Perkataan mereka: “Syaikh Yahya mencela ‘Ulama yang menyelisihinya, tidak menghargai posisi mereka (Al-‘Adani, Al-Wushobi dan Al-Jabiri)
    Kami katakan: Adapun Al-‘Adani, telah kami sebutkan alasan kenapa Asy-Syaikh Yahya s berkomentar tentangnya, dan bahwasanya fitnahnya adalah Hizbi Jadid. dan ini merupakan keyakinan beliau dan keyakinan kita. Maka barangsiapa yang ingin membela ‘Adani, wajib baginya untuk membela dengan hujjah dan penjelasan-penjelasan dalam lingkup dhowabith (standar-acuan) syar’i. Ketika hal yang demikian itu tidak bisa dipenuhi oleh Al-Wushobi dan Al-Jabiri, Asy-Syaikh Yahya s pun mengomentari mereka dikarenakan usaha mereka yang terus menerus dalam menolong dan menyokong ‘Adani. Sebenarnya yang lebih baik bagi mereka adalah merasa cukup sebagaimana sikap Asy-Syaikh Robi’, Al-Imam, Al-Buro’i, Adz-Dzammari, Ash-Shoumali dan yang lain حفظهم الله agar ‘Adani jangan sampai menjadi sebab perpecahan antara Masyayikh, dia memiliki lidah dan pena yang dengannya dia bisa membela dirinya sendiri.
    Bagi pemilik syubhat ini jangan membatasi pandangan kepada perkataan Asy-Syaikh Yahya saja, tapi lihat juga cacian-cacian mereka dan seberapa jauh kecocokan perkataan mereka dengan dalil-dalil syar’i, dan pantas nggak cacian mereka itu ditujukan pada Asy-Syaikh Yahya s. Adapun jika seseorang hanya melihat kepada perkataan Asy-Syaikh Yahya s terhadap Fulan, Fulan dan Fulan, terus mencela beliau tanpa melihat sebab komentarnya terhadap Fulan, Fulan dan Fulan maka ini bukanlah manhaj Salaf. terlebih lagi para salaf jika melihat jarh mufassar, mereka melihatnya dengan pandangan penerimaan, dan barangsiapa yang menyodorkan dirinya kepada tuduhan, janganlah mencela orang yang berburuk sangka kepadanya.
    Syubhat Kedua Puluh Delapan
    Perkataan mereka: “Asy-Syaikh Yahya mendidik muridnya untuk menyelisihi jalan para salaf karena dia mendorong mereka untuk mengkritik para ‘Ulama.”
    Kami katakan kepada pemilik syubhat ini:
    “Datangkan dalil dari Al Qur’an, As-Sunnah dan Ijma’ Shohabat g, bahwasanya seorang ‘Ulama kalau salah hanya boleh dikritik dan dinasehati oleh ‘Ulama semisalnya, dan barangsiapa yang berani mengkritiknya berarti dia telah menyelisihi kebenaran. Tidak ada seorang salafi jujur yang mampu mengatakan dan menyetujuinya. Paling-paling yang bisa diperbuat oleh pemilik syubhat ini hanyalah berkata: “Saya tidak bermaksud demikian! Akan tetapi ini hanya masalah pemuliaan, penghormatan dan penghargaan terhadap ‘Ulama”.
    Kita katakan kepadanya: “Sesungguhnya sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan kepada seorang ‘Ulama adalah mengingatkannya jika salah atau tergelincir!” Dalam hadist, Rosululloh ` mengatakan:
    "المؤمن مرآة أخيه المؤمن"
    “Seorang mukmin itu adalah cermin bagi saudaranya yang mukmin”.
    Kesimpulan dari syubhat ini, bahwasanya pemilik syubhat ini adalah orang yang bodoh dengan manhaj salaf dalam mengkritik dan menasehati, serta dalam perkata amr ma’ruf nahi mungkar. Sehingga dia menisbahkan kepada salaf bahwasanya tidak ada kritikan bagi seorang ‘Ulama dari orang yang lebih rendah keilmuan dan kedudukannya di tengah manusia, yaitu orang-orang yang bukan ‘Ulama.
    Apabila terjadi tindakan yang melampaui batas dari sekalangan orang, maka tindakan melampaui batas metode kritikan syar’i adalah sebuah kezholiman dan kesewenang-wenangan, pelakunya tidak disepakati. Adapun mengingkari bentuk kritikan baik secara umum ataupun terperinci, maka perbuatan ini telah menyelisihi manhaj salafus sholih رضوان الله عليهم أجمعين.
    Barangsiapa yang melihat sesuatu yang dipandangnya merupakan bentuk perbuatan yang melewati batas, maka dia nasehati dan jelaskan dengan kritikan syar’i yang benar. Adapun secara mutlak menghukumi kritikan terhadap ‘Ulama dari orang yang dibawahnya sebagai sebuah kezholiman dan kesewenang-wenangan, maka tidak ada keterangannya dari Alloh q. Dalam hadist:
    «من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده فإن لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان»
    “Barangsiapa diantara kalian yang melihat sebuah kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila bila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Apabila dia tidak mampu maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya keimanan.”[HSR. Muslim]
    Di hadist yang lain:
    "الدين النصيحة، قلنا لمن يا رسول الله ؟ قال:"لله ولكتابه ولرسوله ولأئمّة المسلمين وعامّتهم".
    “Agama itu adalah nasehat”. Kami berkata: “Untuk siapa , wahai Rosululloh ??” Beliau menjawab: “Untuk Alloh, RosulNya, pemimpin kaum muslimin dan orang-orang awamnya”.[HSR. Muslim]
    Syubhat Kedua Puluh Sembilan
    Perkataan mereka: “Dammaj telah berubah sejak meninggalnya Imam Al Wadi’i.”
    Kita katakan kepada orang yang meneriakkan syubhat ini agar dia menjelaskan apa yang berubah, kenapa sampai saat ini dia masih diam ?? Sudah berapa lama berlalu hari kematian Asy-Syaikh Muqbil t ?? Apakah setiap datang fitnah maka mereka berkata: “Dammaj telah berubah ??”, karena menyelisihi hawa nafsu mereka. Dammaj masih tetap Dammaj, ‘Ulamanya, thullabnya, manhajnya!!
    Dahulu, Al-Imam Al-Wadi’i t adalah seorang yang keras terhadap ahlul bid’ah, keras sekali dalam menjarh mereka. Sesuatu yang paling menunjukkan hal tersebut adalah tulisan, kaset-kaset dan risalah-risalah beliau seperti Ghoratul Asyrithoh, Tuhfatul Mujib, Al-Mushoro’ah, Al-Kalbul ‘Awi dan yang lain. Beliau juga keras terhadap thullabnya yang terfitnah seperti Al-Baidhoni, Ar-Roimi, Al-Maqthori dan selain mereka. Begitu pula sikap beliau keras terhadap orang-orang yang menutup mulut dari menjelaskan keadaan para hizbiyyin, sampai-sampai beliau menyifati sebagian Masyayikh Yaman sebagai orang-orang yang lengah.
    Demikian halnya murid beliau, Syaikh Darul hadist setelahnya, Yahya bin ‘Ali Al Hajury s, beliau berjalan di atas rel yang sama berupa keistiqomahan di atas sunnah serta sikap keras terhadap ahlul bid’ah dan orang-orang yang beroperasi dalam menabur fitnah di dalam Dar ini, tanpa takut dengan umpatan para pencela dalam menempuh jalan Alloh. Akan tetapi kerancuan dan tipu muslihat dimunculkan apabila berbicara tentang kelemah lembutan dan kasih sayang Al-Imam Al-Wadi’I t kepada thullabnya dan kekerasan Al-Imam Al-Hajuri kepada para hizbiyyah yang pernah menjadi muridnya. Orang-orang yang tidak mengetahui Al-Imam Al-Hajuri -berupa sifat tawadhu’nya kepada tholibul ilmi dan semangat dan kasih sayangnya kepada mereka- terkadang bisa terpikat dengan syubhat ini. Permasalahan ini pada hakikatnya adalah; pada zaman Al-Imam Al-Wadi’i t para maftunin tersebut menunjukkan bahwasanya mereka adalah Ahlus Sunnah dan orang-orang yang istiqomah, sehingga beliau menyikapi mereka dengan keramahan dan kecintaan karena melihat apa yang mereka tunjukkan di hadapannya.
    Namun ketika beliau meninggal, fitnah pun datang silih berganti. Masing-masing pembawa fitnah mengatakan: “Dammaj telah berubah sepeninggal Al-Wadi’i t” Sampai akhirnya datanglah giliran kepada mereka (Hizbi Jadid). Mereka pun mengumbar perkataan ini setelah terlihat kehizbiyyahan dan kejelekan mereka. Apakah akal ini bisa menerima kalau mereka mesti disikapi sebagaimana perlakuan Al-Imam Al-Wadi’i tanpa melihat apa yang telah mereka perbuat di dalam dakwah salafiyyah berupa kerusakan dan perpecahan ??!!
    Dahulu para pengikut Abul Hasan mengatakan bahwa Dammaj telah berubah sepeninggal Al-Wadi’i t, sementara kenyataanya merekalah yang berubah, mengganti dan mengingkari Darul Hadist Dammaj dan kebaikannya yang tersebar. Semoga Alloh q mengembalikan mereka kepada kebenaran dengan sebaik-baiknya.
    Syubhat Ketiga Puluh
    Perkataan mereka: “Orang-orang Dammaj ghuluw. (melebihi batas)”
    Saya katakan -dengan memohon pertolongan Alloh-: “Memandang kenyataan fitnah yang mereka munculkan memang mereka dan kebanyakan orang-orang yang bersama mereka menuduh bahwa orang-orang Dammaj ghuluw dalam menyikapi ‘Adani sampai-sampai menuduhnya sebagai hizbi tanpa ada sebab syar’i.
    Oleh karena itu, sebelum kita memutlakkan hukum ghuluw kepada orang-orang Dammaj, kita lihat dulu, apakah mereka (para maftun) memiliki alasan-alasan akurat atas vonis mereka ini ?? Ataukah semua itu didasari karena dulunya ‘Adani dan teman-temannya menuntut ilmu dengan manis dan tenang, terus tiba-tiba mereka dikagetkan oleh serangan Asy-Syaikh Yahya s dan sebagian thullab beliau kepada mereka??.
    Maka kita katakan: “Ada apa dengan kalian wahai orang-orang Dammaj, sehingga menuduh ‘Adani sebagai seorang hizbi ??”
    Orang-orang Dammaj menjawab: Dahulu kami menuntut ilmu dengan penuh ketenangan dan kedamaian. Namun fitnah dan pemberontakan yang tidak terlintas di benak kami sebelumnya, muncul dari pihak ‘Abdurrohman dan pengikutnya. Kami bertanya-tanya: “Ada apa dengan kalian ??” Mereka menjawab: “OO … kami punya markas yang bakal dibuka di Fuyus. Kami telah menempatkan wakil di setiap tempat bagi orang-orang yang ingin mendaftarkan dirinya untuk membeli tanah disana.” Lalu kami pun mulai mendapatkan omongan-omongan mereka yang memancing perpecahan dan pengelompokan dalam dakwah salafiyyah. Maka kami katakan: “Ini adalah inovasi baru dalam dakwah, tinggalkanlah hal itu dan bangunlah oleh kalian markas sebagaimana markas-markas Ahhlus Sunnah wal Jama’ah lainnya!”
    Ketika mendengar hal itu, mereka menuduh kami hasad, lalu mereka mulai mengadakan pertemuan-pertemuan di jam-jam pelajaran, dan rapat-rapat rahasia untuk menjalankan operasi mereka. Mereka pun mulai memecah belah para thullab dan merekrut mereka. Kami pun peringatkan mereka tentang masalah ini, namun mereka tidak mau mendengar, sampai hampir-hampir terjadi baku-pukul dan pertengkaran di kalangan thullab. Akhirnya kami berpandangan harus menasehati mereka dengan keras, kami katakan; “Barangsiapa yang ingin menuntut ilmu dengan tenang dan damai maka kami terima dengan sepenuh hati, dan barangsiapa yang kami dengar mengumbar fitnah ini serta memecah belah antara thullab, maka bumi Alloh masih luas.”
    Akan tetapi kami tidak melihat tanggapan dari mereka, bahkan kami mendengar kata-kata yang menunjukkan kebencian mereka kepada kami, dan mengumpulkan orang-orang untuk menentang kami. Kami pun usir yang pantas untuk diusir dan tobatlah yang mau bertobat. Ternyata orang-orang terusir tersebut malah bertambah permusuhannya kepada kami serta berupaya mengadu domba umat dengan kami. Sampai-sampai mereka mengadu domba antar Masyayikh Ahlus Sunnah. Di saat sikap kebencian terhadap seorang mukmin tanpa sebab syar’i, serta sikap permusuhan dan upaya untuk menimbulkan perpecahan antara dirinya dan saudara-saudaranya merupakan penyelisihan syar’i, maka kami pun hinakan mereka karena sebab-sebab tersebut.
    Demikian pula ketika kami melihat mereka menjadikan perkara-perkara ini sebagai bentuk pendekatan diri kepada Alloh berlandaskan keagamaan, tanpa menjelaskan alasan yang memperbolehkan mereka berbuat tersebut, dan kami melihat kerusakan mereka semakin bertambah, saling bahu membahu memusuhi di atas dasar kesesuaian dengan mereka atau diam atas perbuatan mereka, kami pun mengetahui bahwa ini adalah hizbiyyah, wala’ dan baro’ yang sempit sebagaimana dikenal di kalangan salaf tentang pengertian hizbiyyah dan penerapannya yang cocok pada kelompok sesat manapun. Apabila mereka tobat dan kembali maka mereka adalah saudara-saudara kami. Bagi mereka apa yang ada pada kami dan apa yang menimpa mereka berarti juga menimpa kami.”
    Ini adalah penjelasan yang disodorkan oleh orang-orang Dammaj menanggapi orang-orang yang menyifati mereka dengan sifat ghuluw.
    Sekarang, kita tanyakan kepada ‘Adani dan pengekornya, seperti yang kita tanyakan kepada Al-Hajuri dan murid-muridnya: “Wahai ‘Abdurrohman, ada apa sih yang terjadi antara kamu dan Asy-Syaikh Yahya ??”
    Mereka menjawab: Kami dizholimi. Kami hanya menginginkan kebaikan, tapi Yahya mutasyaddid (keras) … dan …. dan ….
    Kita katakan: “Kenapa kamu tidak membantah Asy-Syaikh Yahya s dan menjelaskan kesalahannya, kalau betul kebencian kalian kepadanya beralasan ??”
    Mereka menjawab: Kami ini orang-orang yang waro’, kami tidak akan membalasnya karena hanya akan memperbesar fitnah.
    Kita katakan: “Bahkan fitnah ini semakin hari semakin bertambah, tolong kalian jelaskan kepada umat agar tidak berprasangka jelek kepada kalian!!!”
    Dia (‘Adani) menjawab: “Demi Alloh … demi …. demi …. sejak menuntut ilmu, aku tidak tahu ada orang yang lebih fajir (pendosa) dan penuh muslihat dan..…,dari kalangan orang-orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dan kebaikan daripada Hajuri.”
    Maka ketika kita katakan kepada mereka: “Kalian salah dengan sikap seperti ini, kalian mesti menjelaskan kondisi kalian. Kalau tidak, berarti yang dikatakan orang-orang Dammaj itu betul. Bahwasanya perbuatan kalian itu adalah hizbiyyah serta wala’ dan baro’ yang sempit.”
    Mereka justru malah mentahdzir kita dan menuduh kita muta’ashshib dengan orang-orang Dammaj dan kita …, dan kita,... dst.
    Dari semua ini, kita mengetahui bahwa tujuan kelompok tersebut tersebut bukanlah untuk dakwah salafiyyah, kemaslahatan dan menjaganya. Yang menjadi impian mereka hanyalah kepentingan pribadi mereka, sehingga karenanya mereka membangun sikap tolong-menolong dan permusuhan.
    Setelah alasan-alasan mereka dipatahkan, mereka mulai mencari-cari kesalahan dan ketergelinciran (Syaikh Yahya) untuk kemudian disebarluaskan kepada umat atas nama para penulis majhul (identitas samaran), dengan harapan menggaet rasa simpati umat untuk bergabung bersama mereka dalam menentang Dammaj.
    Syubhat yang tengah kita bantah ini adalah akibat dari perbuatan mereka itu. Adapun bentuk percakapan yang kami sebutkan adalah wujud dari sikap mereka, sejak awal fitnah sampai waktu penulisan tulisan ini.
    Wahai pembaca بارك الله فيكم, jadi inilah ghuluw yang dituduhkan kepada penduduk Dammaj. Sekarang pilihannya ada padamu.
    Syubhat Ketiga Puluh Satu
    Perkataan mereka: “Kalau bukan kekhawatiran para ‘Ulama terhadap markaz Dammaj, mereka tentu akan berkomentar tentang Asy-Syaikh Yahya.”
    Saya katakan: Syubhat ini pada satu sisi adalah kedustaan, dari sisi lainnya merupakan prasangka buruk terhadap para Masyayikh, dan di sisi yang lain lagi adalah bentuk kebodohan terhadap dasar-dasar dakwah salafiyyah.
    Adapun sisi kedustaan, maka ini sangat jelas sekali. Wushobi dan Jabiri adalah orang-orang yang mencela Asy-Syaikh Yahya s. Adapun orang-orang yang khawatir terhadap markaz Dammaj (sebagaimana disifatkan dalam syubhat), maka orang-orang itu malah merekomendasikan Asy-Syaikh Yahya sdan menganjurkan thullab untuk belajar padanya, serta menasehatkan orang-orang yang mengomentari Asy-Syaikh Yahya s untuk menahan omongan mereka.
    Contohnya; Asy-Syaikh Al-Imam di akhir kaset beliau telah mengatakan yang demikian itu. Juga Asy-Syaikh Adz-Dzammary dan Al-Buro’i حفظهم الله saat kami tanya keduanya ketika kami mengunjunginya, maka mereka menyampaikan kecintaan mereka kepada Asy-Syaikh Yahya s, menasehatkan untuk belajar kepadanya, serta mengingkari orang-orang yang berkomentar tentangnya atau yang mentahdzir Dammaj. Adapun Asy-Syaikh Robi’ tidaklah ada pencabutan beliau dari perkataan yang terakhir dalam nasehat beliau yang masyhur.
    Kemudian, alasan bahwa syubhat ini adalah prasangka buruk kepada para ‘Ulama, adalah dari sisi bahwasanya para ‘Ulama -dalam pandangan si pemilik syubhat ini-, mereka mengetahui kebenaran namun menyembunyikannya. Alloh q mengatakan:
           • ••              
    “Dan (ingatlah), ketika Alloh mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): "Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.” [QS. Ali ‘Imron:187]
    Adapun alasan bahwa syubhat tersebut adalah bentuk kebodohan terhadap dasar-dasar salafiyyah, adalah karena Nabi ` mengatakan:
    «من رأى منكم منكرا فليغيّره بيده فإنّ لم يستطع فبلسانه فإن لم يستطع فبقلبه وذلك أضعف الإيمان»
    “Barangsiapa diantara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka ubahlah dengan perkataannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya keimanan.”[HSR. Muslim]
    Silahkan anda lihat kembali perinciannya dalam jawaban terhadap syubhat yang keenam belas.
    Ketika Abul Hasan menyelisihi para Da’i Salafiyyin, mereka tidaklah mengatakan: “Kami khawatir terhadap markaz Ma’rib”, padahal waktu itu markaz Abul Hasan tersebut dianggap sebagai markaz berbobot dan menjadi tujuan para thullab dari berbagai penjuru. Akan tetapi mereka (Masyayikh) malah berkomentar tentangnya dan mentahdzir Abul Hasan, tidak peduli dengannya, juga tidak peduli dengan kedudukannya.
    Akhirnya kami tutup dengan permohonan ampunan kepada Alloh atas dosa-dosa dan kesalahan kesalahan kami, baik yang kami ketahui ataupun yang tidak kami ketahui. Dan kami memohon kepada Alloh q kekokohan di atas Al-Kitab dan As-Sunnah di atas pemahaman para shohabat رضوان الله عليهم أجمعين.

    والحمد لله ربّ العالمين

  • #2
    ماشاءالله تبارك الله

    جزاك الله خيراً وأحسن إليك
    أبا تراب الأندونيسي

    على ترجمة هذه الملزمة المهمة

    (( كشف شبهات حزبية ابني مرعي الجديدة ))

    بارك الله لك في وقتك وجهدك

    تعليق


    • #3
      جزاك الله خيرًا يا أبا تراب
      نسأل الله أن يحفظك ويبارك فيك

      تعليق

      يعمل...
      X