Membongkar Syubhat Khaidir dalam bertaqlid
Dan penjelasan akan jauhnya pemahaman khaidir dari pemahaman ulama kibar ahlis sunnah
Melirik kembali ucapan-ucapan Khaidir hadahullah pada majlisnya kami tidak mendapati satu dalilpun dari al-qur'an dan sunnah kecuali satu hadits yang berbunyi:
البركة مع أكابركم
"Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian"
Kemudian dia membawa hadits ini kepada pemahaman supaya bertaqlid dengan Syaikh Robi' dengan berdalih bahwa beliau adalah orang besar dalam jarh wat ta'dil,
Di mana dia berkata setelah menyebutkan hadits tadi: "dan orang besar dalam jarh wat ta'dil adalah Syaikh Robi', dan memang beliau mempunyai kedudukan dalam dua kelompok yang berselisih di sini, dalam dua kelompok yang berselisih di sini syaikh Robi' (…-tidak jelas-…) ditunggu apa komentar Syaikh Robi', Syaikh Robi' berkomentar كلهم سلفيون..."
Al-Munawi rahimahullah berkata pada syarah hadits ini no. 3205:
3205- ( البركة مع أكابركم ) المجربين للأمور المحافظين على تكثير الأجور فجالسوهم لتقتدوا برأيهم وتهتدوا بهديهم أو المراد من له منصب العلم وإن صغر سنه فيجب إجلالهم حفظا لحرمة ما منحهم الحق سبحانه وتعالى وقال شارح الشهاب : هذا حث على طلب البركة في الأمور والتبحبح في الحاجات بمراجعة الأكابر لما خصوا به من سبق الوجود وتجربة الأمور وسالف عبادة المعبود قال تعالى { قال كبيرهم } وكان في يد المصطفى صلى الله عليه و سلم سواك فأراد أن يعطيه بعض من حضر فقال جبريل عليه السلام : كبر كبر فأعطاه الأكبر وقد يكون الكبير في العلم أو الدين فيقدم على من هو أسن منه
"(Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian) Orang-orang yang berpengalaman yang terus melakukan amalan-amalan berpahala besar maka bermujalasahlah dengan mereka supaya kalian bisa menjadikan pendapat mereka sebagai panutan dan menjadikan mereka sebagai petunjuk. Atau maksudnya: orang yang punya bagian ilmu meskipun kecil umurnya maka wajib menghormati mereka sebagai penjagaan terhadap kemuliaan al-haq (kebenaran) yang Allah subhanahu wa ta'ala anugrahkan kepada mereka. Dan berkata pensyarah “Syihab”: ini anjuran untuk mencari berkah pada setiap perkara dan mengambil kemudahan dalam kebutuhan-kebutuhan dengan merujuk kepada orang-orang besar dikarenakan mereka punya kekhususan yang berupa: lebih dahulu ada, dan pengalaman dan lebih dulu menyembah yang (berhak) disembah (Allah) Allah ta'ala berkata "Para pembesar mereka berkata' dan pada tangan Musthofa (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) siwak kemudian beliau mau memberi sebagian orang yang hadir maka Jibril 'alaihi wa sallam: yang besar, yang besar maka beliau memberikan kepada orang yang besar, dan bisa jadi 'besar' dari sisi keilmuan dan agama maka dia lebih dikedepankan daripada orang yang umurnya lebih tua darinya" [“Al-Faidh Al-Qodir” 5/2626 cet. Nizzar Mushthofa Al-Baaz].
Tentunya makna ucapan Al-Munawi rahimahullah "Menjadikan pendapat mereka sebagai panutan dan menjadikan mereka sebagai petunjuk" bukan berarti mentaqlidi mereka di segala ucapannya, tapi untuk istifadah (mengambil faidah) dari pemahaman mereka, sebagaimana telah lewat ucapan para imam di mana mereka melarang mentaqlidi mereka pada setiap ucapannya, apa yang mencocoki kitab dan sunnah di ambil dan mana yang menyelisihi kitab dan sunnah ditolak, dan bukan pula maksudnya mentaqlidi mereka pada perkara-perkara yang cocok dengan hawa nafsu.
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata:
ولسنا ندعوه إلى تقليد هؤلاء الأئمة رحمهم الله، ولكن إلى الاستفادة من فهمهم، وإلا فالتقليد في الدين محرم،
"Dan kami tidaklah menyerunya untuk bertaqlid kepada mereka para imam rahimahumullah, AKAN TETAPI UNTUK ISTIFADAH (MENGAMBIL FAIDAH) DARI PEMAHAMAN MEREKA, karena taqlid dalam agama itu haram,…" [Rudud Ahlul 'Ilm fi Ath-tho'inina fi hadits ash-sihr… hal. 46 cet. Muassasah ar-royyan]
Allah ta'ala berkata:
{ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ } [الزمر: 18]
"yaitu Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti ucapan yang paling baik, mereka itulah orang-orang yang Allah beri hidayah dan mereka itulah orang-orang yang berakal." [Az-Zumar: 18].
Dan berkata:
{ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ } [يونس: 35]
"Apakah siapa yang menunjuki kepada kebenaran lebih patut untuk diikuti ataukah siapa yang tidak memberi petunjuk kecuali kalau ditunjuki? Ada apa dengan kalian? Bagaimanakah kalian berhukum?" [Yunus: 35].
Dan berkata:
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا } [الأحزاب: 36]
"Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin dari kalangan laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) dari urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, kesesatan yang nyata." [Al-Ahzab 36].
Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah akan haramnya bertaqlid tanpa hujjah sampai-sampai Ulama menghukumi bahwasanya taqlid itu sendiri adalah bid'ah, di antaranya ibnul Qoyyim rahimahullah beliau berkata tentang taqlid:
وإنما حدثت هذه البدعة في القرن الرابع
"Bida'ah ini (maksudnya Taqlid) baru muncul di abad ke empat." [“I'lamu Al-Muwaqqi'in” 2/453 cet, Darul Atsar]
Demikian sebagaimana telah lewat Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang haramnya bertaqlid:
ولسنا ندعوه إلى تقليد هؤلاء الأئمة رحمهم الله، ولكن إلى الاستفادة من فهمهم، وإلا فالتقليد في الدين محرم،
"Dan kami tidaklah menyerunya untuk bertaqlid kepada mereka para imam rahimahumullah, akan tetapi untuk istifadah (mengambil faidah) dari pemahaman mereka, karena taqlid dalam agama itu haram,…" [“Rudud Ahlul 'Ilm fi Aththo'inina fi hadits ash-sihr…” hal. 46 cet. Muassasar ar-royyan]
Dan kita diperintahkan kalau tidak mengetahui untuk bertanya kepada ulama ahlu adz-dzikr tentang adz-dzikr itu sendiri bukan untuk bertaqlid terhadap pendapat mereka, Imam ibnu Al-Qoyyim rahimahullah berkata:
فإن الله سبحانه أمر بسؤال أهل الذكر والذكر هو القرآن والحديث الذي أمر الله نساء نبيه أن يذكرنه بقوله: واذكرن ما يتلى في بيوتكن من آيات الله والحكمة. فهذا هو الذكر الذي أمرنا الله باتباعه وأمر من لا علم عنده أن يسأل أهله وهذا هو الواجب على كل أحد أن يسأل أهل العلم بالذكر الذي أنزله على رسوله ليخبروه به فإذا أخبروه به لم يسعه غير اتباعه وهذا كان شأن أئمة أهل العلم لم يكن لهم مقلد معين يتبعونه في كل ما قال فكان عبد الله بن عباس يسأل الصحابة عما قاله رسول الله صلى الله عليه وسلم - أو فعله أو سنه لا يسألهم عن غير ذلك وكذلك الصحابة كانوا يسألون أمهات المؤمنين خصوصا عائشة عن فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم - في بيته وكذلك التابعون كانوا يسألون الصحابة عن شأن نبيهم فقط وكذلك أئمة الفقه كما قال الشافعي لأحمد يا أبا عبد الله أنت أعلم بالحديث مني فإذا صح الحديث فأعلمني حتى أذهب إليه شاميا كان أو كوفيا أو بصريا ولم يكن أحد من أهل العلم قط يسأل عن رأي رجل بعينه ومذهبه فيأخذ به وحده ويخالف له ما سواه
"Sesungguhnya Allah subhanahu memerintahkan untuk bertanya kepada ahludz dzikr dan adz-dzikr itu adalah al-qur'an dan hadits yang Allah perintahkan kepada istri-istri Nabi-Nya untuk mengingatnya dalam firman-Nya:"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah)" jadi inilah makna adz-dzikr yang Allah perintahkan untuk mengikutinya dan memerintahkan siapa yang tidak punya ilmu untuk bertanya ahlinya dan inilah yang wajib bagi setiap orang untuk bertanya ahlul 'ilm tentang adz-dzikr yang Allah turunkan kepada RasulNya supaya dia (ahlul 'ilm) mengabarkan kepadanya adz-dzikr tadi, apabila dia (ahlu al-'ilm) sudah mengabarkan kepada penanya tadi tentangnya (yaitu al-qur'an dan sunnah) maka tidak boleh baginya untuk tidak mengikutinya, dan inilah dahulu keadaan para imam ahlul 'ilm, mereka tidak pernah menjadi muqollid (pembebek) terhadap orang tertentu, yang mereka ikuti setiap apa yang ia katakan. 'Abdullah bin 'Abbas bertanya kepada sahabat (lain) tentang apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan atau lakukan atau sunnah beliau, dia (ibnu 'Abbas) tidak tanya mereka selain itu. Demikian juga para sahabat mereka bertanya para ummahat al-mukminin (istri-istri Nabi) terutama 'Aisyah tentang prilaku Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rumahnya demikian juga generasi at-tabi'un mereka bertanya kepada sahabat tentang Nabi mereka saja, demikian juga para imam fiqih sebagaimana Asy-Syafi'iy berkata kepada Ahmad: "Wahai Abu 'Abdillah (kunyah Imam Ahmad) engkau lebih tahu tentang hadits daripada aku, apabila suatu hadits itu shahih beritahukanlah kepadaku supaya saya pergi kepadanya (meriwayatkan hadits tersebut dari guru imam Ahmad langsung -pent) baik dia itu orang Syam, ataukah kufah, ataukah orang bashroh,” dan tidak seorangpun dari ahlul 'ilm menanyakan pendapat orang tertentu dan madzhabnya, lalu mengambil pendapat atau madzhab itu saja dan menyelisihi selain pendapat dan madzhab orang itu. [“I'lamu Al-Muwaqqi'in” 2/471 cet, Darul Atsar].
Al-Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang fawaid hadits no.1387 dari Shahih Al-Bukhari:
وطلب الموافقة فيما وقع للأكابر تبركا بذلك
"Dan berusaha mencocoki apa yang terjadi terhadap orang-orang besar supaya mendapatkan berkah dengan kecocokan tadi."
Maka Syaikh bin Bazz rahimahullah memberi catatan kaki terhadap ucapan ibnu Hajar di atas, sebagai berikut:
هذا فيه نظر, والصواب أن ذلك غير مشروع إلا بالنسبة إلى النبي صلى الله عليه وسلم, لأن الله سبحانه شرع لنا التأسي به, وأما غيره فيخطئ ويصيب وسبق في هذا المعنى حواش في المجلد الأول والثاني وأوائل هذا الجزء فراجعها إن شئت والله الموفق.
"Ucapan ini perlu diteliti lagi (tidak benar -pent), yang benar bahwasanya perkara itu tidaklah disyari'atkan (mencocoki orang-orang besar –pent) kecuali berusaha mencocoki Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah subhanahu mensyari'atkan untuk kita supaya menjadikan beliau sebagai panutan, adapun selain beliau maka dia bisa salah dan bisa pula benar, dan telah lewat yang semakna dengan ini pada catatan kaki pada jilid pertama dan kedua serta awal-awal jilid ini (ketiga), lihatlah kembali kalau mau, wallahu al-muwaffiq.” [Lihat “Fathul Bari” jilid 3, hal: 322, cet, Darus Salam].
Dan kami tidak mengetahui dalam ilmu musthalah hadits satu ulama kibarpun dari kalangan ahlul hadits yang teranggap kalau terkumpul dalam seseorang jarh dan ta'dil -sebagaimana halnya pada 'Abdurrahman Al-Mar'i- dia mengembalikan kepada siapa yang paling kibar di antara mereka dalam jarh wat ta'dil kemudian berdalih dengan hadits "berkah bersama orang besar kalian" sebagaimana yang khaidir lakukan ini, bahkan mereka lebih mengedepankan jarh mufassar daripada ta'dil karena yang menjarh punya pengetahuan lebih yang tidak diketahui oleh yang menta'dil,
Al-Hafidz ibnu Sholah rahimahullah berkata:
إذا اجتمع في شخص جرح وتعديل : فالجرح مقدم لأن المعدل يخبر عما ظهر من حاله والجارح يخبر عن باطن خفي على المعدل . فإن كان عدد المعدلين أكثر : فقد قيل : التعديل أولى . والصحيح - والذي عليه الجمهور - أن الجرح أولى لما ذكرناه والله أعلم
"Apabila terkumpul dalam seseorang jarh dan ta'dil, maka jarh dikedepankan, karena yang menta'dil mengabarkan tentang apa yang nampak dari halnya dan yang menjarh mengabarkan tentang apa yang batin tidak diketahui oleh orang yang menta'dil. Apabila yang menta'dil lebih banyak jumlahnya: ada yang bilang: Ta'dil lebih utama. Yang benar –dan yang dirajihkan oleh jumhur- yang menjarh lebih utama (lebih dikedepankan) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi, wallahu a'lam." [“Muqoddimah Ibnu sholah”, hal 70, cet. Muassasah Ar-Risallah].
Asy-Syuyuthi rahimahullah berkata:
( وإذا اجتمع فيه ) أي الراوي ( جرح ) مفسر ( وتعديل فالجرح مقدم ) ولو زاد عدد المعدل هذا هو الأصح عند الفقهاء والأصوليين ونقله الخطيب عن جمهور العلماء لأن مع الجارح زيادة علم لم يطلع عليها المعدل ولأنه مصدق للمعدل فيما أخبر به عن ظاهر حاله إلا أنه يخبر عن أمر باطن خفي عنه
"(Apabila terkumpul padanya) yaitu seorang perawi (jarh) yang rinci (dan ta'dil maka jarh dikedepankan) meskipun lebih banyak jumlah yang menta'dil, ini lebih benar di sisi fuqoha dan usuliyyin dan dinukil oleh Al-Khathib dari Jumhur 'ulama karena bersama penjarh punya tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh yang menta'dil dan karena (yang menjarh) membenarkan apa yang dikabarkan oleh yang menta'dil tentang yang nampak dari perihalnya hanya saja yang menjarh mengabarkan tentang perkara yang batin yang tidak diketahui oleh penta'dil." [“Tadribu Ar-Rowi” 1/309]
Al-Hafidz Ibni Hajar rahimahullah berkata:
والجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلى التَّعْديلِ، وأَطلقَ ذلك جماعةٌ ، ولكنَّ محلَّهُ إِن صَدَرَ مُبَيَّناً مِن عَارِفٍ بأَسْبَابِهِ؛ لأنَّه إِنْ كانَ غيرَ مفسَّرٍ لم يَقْدَحْ فيمَنْ ثبَتَتْ عدالَتُه. وإِنْ صدَرَ مِن غيرِ عارفٍ بالأسبابِ لم يُعْتَبَرْ بهِ أيضاً.
"Dan jarh lebih dikedepankan daripada ta'dil, sekelompok ulama mengithlakkan hal tadi, akan tetapi tempatnya apabila jarh itu muncul dengan perinciannya dari orang yang tahu sebab-sebab jarh; karena apabila tidak rinci tidak membahayakan orang yang telah tetap adalah-nya. Dan apabila (jarh) muncul dari orang yang tidak tahu sebab-sebab (jarh) juga tidak dianggap." [Lihat “Syarh Nuzhatun Nadzor” syarh Syaikh Al-'Utsaimin, hal: 343, cet. Darul ibnu Al-Jauzi].
Tidak diragukan lagi bahwa Imam Ahmad adalah imam ahlus sunnah di zamannya, dan beliau termasuk dari muhaddits yang tidak meriwayatkan kecuali dari orang-orang tsiqoh, namun manakala beliau meriwayatkan dari 'Amir bin Sholeh Az-Zubairi yang mana dia itu haditsnya ditinggalkan, tidak seorangpun dari ulama kibar yang mengatakan -sebagaimana ucapan Khaidir- bahwa berkah bersama orang besar kalian dan orang besar dalam jarh wat ta'dil adalah imam Ahmad dan beliau meriwayatkan darinya bahkan berkata dia (yaitu 'Amir bin Sholeh) itu tsiqoh dia bukanlah pendusta[1], bahkan para ulama lebih mengedepankan jarh yang rinci daripada ta'dil imam Ahmad tadi, dan menyelisihi Imam Ahmad pada perkara ini ada yang mengatakan bahwa 'Amir itu pendusta ada yang mengatakan bahwa dia itu orang buruk musuh Allah ada yang mengatakan matruk silahkan lihat biografinya di "Tahdzib Al-Kamal"; berkata Syaikh Muqbil rahimahullah:
الإمام أحمد أيضًا من الذين لا يحدثون إلا عن ثقات، روى عن عامر بن صالح الزبيري حتى قال الإمام يحيى بن معين عند أن بلغه هذا: جنّ أحمد.
Imam Ahmad juga termasuk dari orang-orang yang tidak meriwayatkan kecuali dari orang-orang tsiqoh, beliau meriwayatkan dari 'Amir bin Sholeh Az-Zubairi hingga Imam Yahya bin Ma'in berkata ketika sampai kepadanya perkara ini: Gila Ahmad. [“Al-Muqtarih”, hal 39].
Berkata Imam Al-Mizzi rahimahullah:
و قال أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز ، عن يحيى بن معين : كذاب خبيث عدو الله،...
"Dan berkata (tentang 'Amir) Ahmad bin Muhammad bin Muhriz, dari Yahya bin Ma'in: ('Amir bin Sholeh) pendusta, buruk, musuh Allah,..."
و قال أبو داود : قيل ليحيى بن معين : إن أحمد بن حنبل حدث عن عامر بن صالح ؟
فقال : ما له ، جن ؟ ! .
"Berkata Abu Daud: Dikatakan kepada Yahya bin Ma'in: Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari 'Amir bin Sholeh? Maka Yahya bin Ma'in jawab: Ada ada dengannya (Imam Ahmad), gilakah?!."
و قال الدارقطنى : أساء القول فيه يحيى بن معين ، و لم يتبين أمره عند أحمد ،
و هو مدنى ، يترك عندى .
"Dan berkata Ad-Daraquthni: Yahya bin Main berkata buruk tentangnya (yaitu menjarhnya dengan keras sebagaimana telah lewat ucapannya –pent), dan tidak jelas perkaranya di sisi Ahmad, dan dia adalah oang madinah, di sisiku dia itu matruk (ditinggalkan).”
Bagaimana Dir?! Puas nggak dengan penjelasan ini? Atau adikmu Dzulqornain -yang katanya lagi mengadakan daurah takhrij hadits- mau bantu menjawab, silakan, ana rasa syubhat ini kamu telan dari hizbiyyun judud Luqmaniyyun karena merekalah yang sering mengulang-ngulang syubhat ini sebagaimana dalam risalah sesat Sarbini dan selainnya, inilah akibat duduk-duduk dengan mereka, wallahul musta'an.
[1] Lihat tarjamah/biografi 'Amir bin Sholeh di Tahdzib Al-Kamal.dimana Al-Mizzi berkata:
قال عبد الله بن أحمد بن حنبل ، عن أبيه : ثقة ، لم يكن صاحب كذب.
Berkata 'Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya: Tsiqoh dia bukanlah pendusta.
MANHAJ ULAMA KIBAR
YANG DISELISIHI “KHAIDIR MAKASSAR”
Oleh:
Abu 'Abdirrohman
Shiddiq bin Muhammad Al-Bugisi
Editor:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Darul Hadits Salafiyyah
Dammaj
Yaman
Daftar Isi
Daftar Isi 2
Muqoddimah. 3
Pentingnya membantah ahlul Batil di sisi Ulama Besar 7
Manhaj Ulama Kibar Merinci dan Menjelaskan adapun manhaj para pembela kebatilan dan pelakunya menggunakan ucapan-ucapan global dan mutlak. 11
Penyelisihan ucapan Khaidir tadi dengan ucapan Syaikh Robi' yang ia nukil sendiri 12
Tuntutan dan Tantangan mendatangkan hujjah terhadap tuduhan tanpa dasar 13
Siapa Sebenarnya Yang Tidak Mau Tunduk Dengan Kaidah?. 17
Syaikh Yahya hafidzahullah termasuk Ulama Jarh wat Ta'dil dan Kibar di sisi Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan Masyayikh ahlus sunnah di Yaman dan selain Mereka. 21
Manhaj Ulama kibar menerima kebenaran dari siapapun datangnya. 24
Ulama Kibar Mencela Taqlid. 28
Adapun Khaidir Menyeru kepadanya. 28
Membongkar Syubhat Khaidir dalam bertaqlid. 32
Dan penjelasan akan jauhnya pemahaman khaidir dari pemahaman ulama kibar ahlis sunnah. 32
Ulama kibar mencela dan mentahdzir dari ghuluw dan pujian yang berlebihan. 39
Ghuluw dan berlebih-lebihan Khaidir terhadap Syaikh Robi' hafidzahullah. 42
Sebab Perpecahan di sisi Ulama Kibar 43
Kecemburuan Ulama Besar dan Kecemburuan Khaidir 46
Batilnya Manhaj "Nushohhih wa laa Nuhaddim" (Kita Perbaiki dan tidak Meruntuhkan) dan Kaidah "Nushohhih wa laa Nujarrih" (Kita perbiki dan tidak kita jarh) di sisi Ulama Besar 47
Batilnya Kaidah "kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain kita sebab perpecahan antara kita" di sisi ulama besar 49
Jatuhnya Khaidir pada kaidah "Nushohhih wa laa Nujarrih" dan kaidah "kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain kita sebab perpecahan antara kita" pada fitnah ini 50
Penutup. 51
Nasihat untuk khaidir 52
Muqoddimah
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضلل له ومن يضلل الله فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إلا الله, وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102] .
"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan memeluk agama Islam."
﴿ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴾ [النساء: 1] .
"Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari padanya Alloh menciptakan istrinya, kemudian dari pada keduanya Alloh mengembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) namaNya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Alloh senantiasa menjaga dan mengawasi kalian."
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴾ [الأحزاب: 70، 71].
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh akan memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa yang menta'ati Alloh dan RosulNya maka sungguh dia telah mendapat kemenangan yang besar."
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتُها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
أما بعد:
Telah sampai ke tangan ana sebuah rekaman suara seorang da’i ([1]) dari Makassar bernama Khaidir bin Sanusi hadahulloh yang ia lontarkan di awal-awal bulan Sya'ban dalam salah satu majelisnya. Setelah saya dengarkan ternyata di dalamnya dia menyebar syubhat bukan ilmu bermanfaat, manhaj ahlul batil bukan manhaj ahlus sunnah wal jama'ah yang benar, tanpa dia sadari dia telah berupaya menggoncang keutuhan dakwah salafiyyah yang murni yang tegak di atas manhaj salafus shalih jauh dari penyelisihan, bid'ah dan maksiat, dan malah menyeru kepada persatuan semu di atas kaidah ikhwanul muflisin
نتعاون فيم اتفقنا عليه يعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
“Saling bantu pada perkara yang kita sepakat atasnya dan saling memaklumi pada perkara yang kita berselisih padanya.” ([2])
Allohul Musta'an…
{ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ } [الحشر: 14]
"Permusuhan antara sesama mereka sendiri sangat keras. Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hati-hati mereka berpecah belah Sesungguhnya yang demikian itu dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak berakal.” [Al-Hasyr: 14].
Jangan tertipu dengan doanya di akhir majlis yang berbunyi: "Semoga Allah subhanahu wa ta'ala memberi kita hidayah seluruhnya dalam menjaga keutuhan dakwah, tersebarnya ilmu, tegaknya tauhid, tegaknya aqidah.., manhaj ahlus sunnah wal jamaa'ah"
karena sesungguhnya apa yang keluar dari mulutnya dalam majlis sangat bertentangan jauh dengan isi doanya, dan menunjukkan minimnya ilmunya, kroposnya manhajnya, hanya saja dia punya modal taqlid, ([3]) maka yang pantas dikatakan kepadanya adalah: "Teruslah berdoa dan berusaha memperbaiki dirimu ya Khaidir karena kamu termasuk orang yang sangat butuh dengan doa tersebut dan apa yang terpapar dalam risalah sederhana kami ini sebagai bukti ucapan tadi,” wabillahit taufiq.
Juga yang ana ingin ingatkan kepadamu wahai Khaidir bahwa keberadaanmu sebagai dai di sana janganlah menghalangimu untuk terus menambah dan memuroja'ah ilmu yang telah kamu miliki,
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا } [التحريم: 6]
"Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri-dirimu dan keluargamu dari api neraka." [At-tahrim: 6].
Jangan terus disibukkan ngisi ke sana ngisi ke sini akhirnya lupa membenahi diri sendiri yang mengkibatkan kamu terjatuh pada kesalahan semacam ini disebabkan kurang memuroja'ahi kaidah-kaidah ahlul hadits dan manhaj ahlus sunnah wal jama'ah[4], jadilah permisalanmu bagaikan lilin yang menerangi namun kamu sendiri lambat laun akan habis sendiri. Demikianlah yang kami dapati dari para masyayikh di Dammaj terutama Syaikh kami Yahya Al-Hajuri hafidzahullah mereka rutin menggandengkan antara dakwah dan menimba ilmu, dan ini adalah kebiasaan salaf Imam Ahmad rahimaullah ditanya: “Sampai kapan Anda akan menuntut ilmu?” Beliau menjawab: "Dari awal menuntut ilmu sampai liang lahad (wafat)".
Dikatakan kepada ibnu Mubarok:
إلى متى تطلب العلم ؟ قال : « حتى الممات إن شاء الله »
"Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Beliau jawab: “Sampai mati insya Allah." [Dinukil dengan sanadnya oleh ibnu 'Abdil Bar rahimahullah di Jami' Bayan Al-'ilm wa Fadhlih 1/192 cet. Dar ibnu Hazm].
Berkata seorang penyair:
إذا لم يذاكر ذو العلوم بعلمه ولم يستزد علما نسي ما تعلما
"Apabila seorang yang berilmu tidak memuroja'ahi ilmunya dan tidak pula menambah ilmu dia akan lupa apa yang telah dia pelajari." [Jami' Bayan Al-'ilm wa Fadhlih 1/206].
Akhirnya manakala Khaidir hadahullah berlagak bahwa dia bersama ulama besar dan berdalih dengan satu-satunya hadits yang disebutkan dalam majlisnya:
البركة مع أكابركم
"Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian"
Yang akan datang bantahannya dipembahasan "membongkar syubhat Khaidir dalam taqlid", karenanya saya memilih judul "Manhaj 'Ulama Kibar yang diselisihi Khaidir Makassar"
Tiba saatnya masuk kepada inti pembahasannya dengan hanya memohon kepada Allah ta'ala semata bantuan dan taufiqNya.
Pentingnya membantah ahlul Batil di sisi Ulama Besar
([1]) Tambahan editor وفقه الله: Memang Khoidhir bergaya membawa bendera salaf, sehingga sebagian orang tertipu walaupun dulu ana telah memperingatkan orang yang tertipu tersebut.
([2]) Tambahan editor وفقه الله: Orang yang bukan munafiq tapi membawa syubuhat munafiqun dan tak mau menerima nasihat, maka umat juga harus diperingatkan dari bahaya dirinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan jika ada sekelompok orang yang bukan munafiqun akan tetapi mereka gemar mendengarkan ucapan munafiqin sehingga menjadi tersamarlah di hati mereka keadaan munafiqin hingga mengira bahwasanya perkataan mereka adalah suatu kebenaran padahal dia itu menyelisihi Al Qur’an, hingga akhirnya jadilah orang-orang tadi menjadi penyeru kepada kebid’ahan para munafiqin sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿لو خرجوا فيكم ما زادوكم الا خبالا ولأوضعوا خلالكم يبغونكم الفتنة وفيكم سماعون لهم﴾
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kalian; sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
Maka harus juga menjelaskan keadaan mereka. Bahkan fitnah dari keadaan mereka itu lebih besar karena di dalam diri mereka ada keimanan yang mengharuskan masih adanya loyalitas dengan mereka, sementara mereka itu telah masuk ke dalam satu kebid’ahan dan bid’ah-bid’ah munafiqin yang merusak agama. Maka umat harus diperingatkan dari kebid’ahan itu walaupun peringatan tadi mengharuskan untuk menyebutkan orang-orang tadi satu persatu. Bahkan walaupun mereka tidak mendapatkan kebid’ahan tadi dari seorang munafiq, tetapi mereka mengucapkannya dalam keadaan mereka mengira bahwasanya bid’ah tadi adalah petunjuk, juga mengira bahwasanya bid’ah tadi adalah kebaikan dan agama padahal kenyataannya tidak demikian, tetaplah wajib untuk menjelaskan keadaannya.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 233).
([3]) Tambahan editor وفقه الله: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Maka barangsiapa mengikuti agama bapak-bapak dan para pendahulunya dikarenakan adat yang dirinya telah terbiasa dengannya, dan tidak mau untuk mengikuti kebenaran yang wajib untuk diikutinya, maka dia inilah pembebek yang tercela, dan inilah keadaan Yahudi dan Nashoro, bahkan ahlul bida’ wal ahwa di kalangan umat ini yang mengikuti syaikh-syaikh mereka dan para pemimpin mereka di selain kebenaran.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 197-198).
[4] Syaikh Robi' waffaqohullah berkata sebagaimana dalam salah satu kaset bantahannya terhadap Falih Al-Harbi: "Jadi burhan membungkam beribu-ribu orang yang tidak memiliki hujjah. Walaupun mereka adalah ‘ulama. Ini adalah kaidah yang wajib untuk diketahui dan HENDAKNYA KALIAN MERUJUK KITAB-KITAB ‘ILMU HADITS TERUTAMA YANG MELUAS PEMBAHASANNYA SEPERTI TADRÎBUR ROWÎ, DAN SEPERTI FATHUL MUGITS, SYARH ALFIAH AL-'IROQI, dan ini adalah perkara-perkara yang telah jelas di sisi ‘ulama, yang menyelisihi dan berbicara tentang hal ini dengan bathil tidak diperkenankan, karena kita akan merusak ‘ilmu-‘ilmu islamiyah dan meruntuhkan kaidah-kaidah dan … dan …dan seterusnya dengan cara-cara seperti ini.
Jadi tidak boleh bagi seorang muslim mengutarakan kepada manusia kecuali al-haq. Dan (hendaknya) ia menjauh dari perkara yang samar dan hiyal (tipu muslihat) barokallohu fîkum.” Selesai. [lihat “Mukhtashor Bayan”].
Manhaj 'Ulama KibAR .rar
Dan penjelasan akan jauhnya pemahaman khaidir dari pemahaman ulama kibar ahlis sunnah
Melirik kembali ucapan-ucapan Khaidir hadahullah pada majlisnya kami tidak mendapati satu dalilpun dari al-qur'an dan sunnah kecuali satu hadits yang berbunyi:
البركة مع أكابركم
"Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian"
Kemudian dia membawa hadits ini kepada pemahaman supaya bertaqlid dengan Syaikh Robi' dengan berdalih bahwa beliau adalah orang besar dalam jarh wat ta'dil,
Di mana dia berkata setelah menyebutkan hadits tadi: "dan orang besar dalam jarh wat ta'dil adalah Syaikh Robi', dan memang beliau mempunyai kedudukan dalam dua kelompok yang berselisih di sini, dalam dua kelompok yang berselisih di sini syaikh Robi' (…-tidak jelas-…) ditunggu apa komentar Syaikh Robi', Syaikh Robi' berkomentar كلهم سلفيون..."
Al-Munawi rahimahullah berkata pada syarah hadits ini no. 3205:
3205- ( البركة مع أكابركم ) المجربين للأمور المحافظين على تكثير الأجور فجالسوهم لتقتدوا برأيهم وتهتدوا بهديهم أو المراد من له منصب العلم وإن صغر سنه فيجب إجلالهم حفظا لحرمة ما منحهم الحق سبحانه وتعالى وقال شارح الشهاب : هذا حث على طلب البركة في الأمور والتبحبح في الحاجات بمراجعة الأكابر لما خصوا به من سبق الوجود وتجربة الأمور وسالف عبادة المعبود قال تعالى { قال كبيرهم } وكان في يد المصطفى صلى الله عليه و سلم سواك فأراد أن يعطيه بعض من حضر فقال جبريل عليه السلام : كبر كبر فأعطاه الأكبر وقد يكون الكبير في العلم أو الدين فيقدم على من هو أسن منه
"(Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian) Orang-orang yang berpengalaman yang terus melakukan amalan-amalan berpahala besar maka bermujalasahlah dengan mereka supaya kalian bisa menjadikan pendapat mereka sebagai panutan dan menjadikan mereka sebagai petunjuk. Atau maksudnya: orang yang punya bagian ilmu meskipun kecil umurnya maka wajib menghormati mereka sebagai penjagaan terhadap kemuliaan al-haq (kebenaran) yang Allah subhanahu wa ta'ala anugrahkan kepada mereka. Dan berkata pensyarah “Syihab”: ini anjuran untuk mencari berkah pada setiap perkara dan mengambil kemudahan dalam kebutuhan-kebutuhan dengan merujuk kepada orang-orang besar dikarenakan mereka punya kekhususan yang berupa: lebih dahulu ada, dan pengalaman dan lebih dulu menyembah yang (berhak) disembah (Allah) Allah ta'ala berkata "Para pembesar mereka berkata' dan pada tangan Musthofa (Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam) siwak kemudian beliau mau memberi sebagian orang yang hadir maka Jibril 'alaihi wa sallam: yang besar, yang besar maka beliau memberikan kepada orang yang besar, dan bisa jadi 'besar' dari sisi keilmuan dan agama maka dia lebih dikedepankan daripada orang yang umurnya lebih tua darinya" [“Al-Faidh Al-Qodir” 5/2626 cet. Nizzar Mushthofa Al-Baaz].
Tentunya makna ucapan Al-Munawi rahimahullah "Menjadikan pendapat mereka sebagai panutan dan menjadikan mereka sebagai petunjuk" bukan berarti mentaqlidi mereka di segala ucapannya, tapi untuk istifadah (mengambil faidah) dari pemahaman mereka, sebagaimana telah lewat ucapan para imam di mana mereka melarang mentaqlidi mereka pada setiap ucapannya, apa yang mencocoki kitab dan sunnah di ambil dan mana yang menyelisihi kitab dan sunnah ditolak, dan bukan pula maksudnya mentaqlidi mereka pada perkara-perkara yang cocok dengan hawa nafsu.
Syaikh Muqbil rahimahullah berkata:
ولسنا ندعوه إلى تقليد هؤلاء الأئمة رحمهم الله، ولكن إلى الاستفادة من فهمهم، وإلا فالتقليد في الدين محرم،
"Dan kami tidaklah menyerunya untuk bertaqlid kepada mereka para imam rahimahumullah, AKAN TETAPI UNTUK ISTIFADAH (MENGAMBIL FAIDAH) DARI PEMAHAMAN MEREKA, karena taqlid dalam agama itu haram,…" [Rudud Ahlul 'Ilm fi Ath-tho'inina fi hadits ash-sihr… hal. 46 cet. Muassasah ar-royyan]
Allah ta'ala berkata:
{ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ } [الزمر: 18]
"yaitu Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti ucapan yang paling baik, mereka itulah orang-orang yang Allah beri hidayah dan mereka itulah orang-orang yang berakal." [Az-Zumar: 18].
Dan berkata:
{ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يُتَّبَعَ أَمَّنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى فَمَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ } [يونس: 35]
"Apakah siapa yang menunjuki kepada kebenaran lebih patut untuk diikuti ataukah siapa yang tidak memberi petunjuk kecuali kalau ditunjuki? Ada apa dengan kalian? Bagaimanakah kalian berhukum?" [Yunus: 35].
Dan berkata:
{وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُبِينًا } [الأحزاب: 36]
"Tidaklah patut bagi orang-orang mukmin dari kalangan laki-laki dan perempuan, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (lain) dari urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguh dia telah sesat, kesesatan yang nyata." [Al-Ahzab 36].
Dan masih banyak lagi dalil-dalil dari Al-Qur'an dan Sunnah akan haramnya bertaqlid tanpa hujjah sampai-sampai Ulama menghukumi bahwasanya taqlid itu sendiri adalah bid'ah, di antaranya ibnul Qoyyim rahimahullah beliau berkata tentang taqlid:
وإنما حدثت هذه البدعة في القرن الرابع
"Bida'ah ini (maksudnya Taqlid) baru muncul di abad ke empat." [“I'lamu Al-Muwaqqi'in” 2/453 cet, Darul Atsar]
Demikian sebagaimana telah lewat Syaikh Muqbil rahimahullah berkata tentang haramnya bertaqlid:
ولسنا ندعوه إلى تقليد هؤلاء الأئمة رحمهم الله، ولكن إلى الاستفادة من فهمهم، وإلا فالتقليد في الدين محرم،
"Dan kami tidaklah menyerunya untuk bertaqlid kepada mereka para imam rahimahumullah, akan tetapi untuk istifadah (mengambil faidah) dari pemahaman mereka, karena taqlid dalam agama itu haram,…" [“Rudud Ahlul 'Ilm fi Aththo'inina fi hadits ash-sihr…” hal. 46 cet. Muassasar ar-royyan]
Dan kita diperintahkan kalau tidak mengetahui untuk bertanya kepada ulama ahlu adz-dzikr tentang adz-dzikr itu sendiri bukan untuk bertaqlid terhadap pendapat mereka, Imam ibnu Al-Qoyyim rahimahullah berkata:
فإن الله سبحانه أمر بسؤال أهل الذكر والذكر هو القرآن والحديث الذي أمر الله نساء نبيه أن يذكرنه بقوله: واذكرن ما يتلى في بيوتكن من آيات الله والحكمة. فهذا هو الذكر الذي أمرنا الله باتباعه وأمر من لا علم عنده أن يسأل أهله وهذا هو الواجب على كل أحد أن يسأل أهل العلم بالذكر الذي أنزله على رسوله ليخبروه به فإذا أخبروه به لم يسعه غير اتباعه وهذا كان شأن أئمة أهل العلم لم يكن لهم مقلد معين يتبعونه في كل ما قال فكان عبد الله بن عباس يسأل الصحابة عما قاله رسول الله صلى الله عليه وسلم - أو فعله أو سنه لا يسألهم عن غير ذلك وكذلك الصحابة كانوا يسألون أمهات المؤمنين خصوصا عائشة عن فعل رسول الله صلى الله عليه وسلم - في بيته وكذلك التابعون كانوا يسألون الصحابة عن شأن نبيهم فقط وكذلك أئمة الفقه كما قال الشافعي لأحمد يا أبا عبد الله أنت أعلم بالحديث مني فإذا صح الحديث فأعلمني حتى أذهب إليه شاميا كان أو كوفيا أو بصريا ولم يكن أحد من أهل العلم قط يسأل عن رأي رجل بعينه ومذهبه فيأخذ به وحده ويخالف له ما سواه
"Sesungguhnya Allah subhanahu memerintahkan untuk bertanya kepada ahludz dzikr dan adz-dzikr itu adalah al-qur'an dan hadits yang Allah perintahkan kepada istri-istri Nabi-Nya untuk mengingatnya dalam firman-Nya:"Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan Hikmah (sunnah)" jadi inilah makna adz-dzikr yang Allah perintahkan untuk mengikutinya dan memerintahkan siapa yang tidak punya ilmu untuk bertanya ahlinya dan inilah yang wajib bagi setiap orang untuk bertanya ahlul 'ilm tentang adz-dzikr yang Allah turunkan kepada RasulNya supaya dia (ahlul 'ilm) mengabarkan kepadanya adz-dzikr tadi, apabila dia (ahlu al-'ilm) sudah mengabarkan kepada penanya tadi tentangnya (yaitu al-qur'an dan sunnah) maka tidak boleh baginya untuk tidak mengikutinya, dan inilah dahulu keadaan para imam ahlul 'ilm, mereka tidak pernah menjadi muqollid (pembebek) terhadap orang tertentu, yang mereka ikuti setiap apa yang ia katakan. 'Abdullah bin 'Abbas bertanya kepada sahabat (lain) tentang apa yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam katakan atau lakukan atau sunnah beliau, dia (ibnu 'Abbas) tidak tanya mereka selain itu. Demikian juga para sahabat mereka bertanya para ummahat al-mukminin (istri-istri Nabi) terutama 'Aisyah tentang prilaku Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam rumahnya demikian juga generasi at-tabi'un mereka bertanya kepada sahabat tentang Nabi mereka saja, demikian juga para imam fiqih sebagaimana Asy-Syafi'iy berkata kepada Ahmad: "Wahai Abu 'Abdillah (kunyah Imam Ahmad) engkau lebih tahu tentang hadits daripada aku, apabila suatu hadits itu shahih beritahukanlah kepadaku supaya saya pergi kepadanya (meriwayatkan hadits tersebut dari guru imam Ahmad langsung -pent) baik dia itu orang Syam, ataukah kufah, ataukah orang bashroh,” dan tidak seorangpun dari ahlul 'ilm menanyakan pendapat orang tertentu dan madzhabnya, lalu mengambil pendapat atau madzhab itu saja dan menyelisihi selain pendapat dan madzhab orang itu. [“I'lamu Al-Muwaqqi'in” 2/471 cet, Darul Atsar].
Al-Hafidz ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang fawaid hadits no.1387 dari Shahih Al-Bukhari:
وطلب الموافقة فيما وقع للأكابر تبركا بذلك
"Dan berusaha mencocoki apa yang terjadi terhadap orang-orang besar supaya mendapatkan berkah dengan kecocokan tadi."
Maka Syaikh bin Bazz rahimahullah memberi catatan kaki terhadap ucapan ibnu Hajar di atas, sebagai berikut:
هذا فيه نظر, والصواب أن ذلك غير مشروع إلا بالنسبة إلى النبي صلى الله عليه وسلم, لأن الله سبحانه شرع لنا التأسي به, وأما غيره فيخطئ ويصيب وسبق في هذا المعنى حواش في المجلد الأول والثاني وأوائل هذا الجزء فراجعها إن شئت والله الموفق.
"Ucapan ini perlu diteliti lagi (tidak benar -pent), yang benar bahwasanya perkara itu tidaklah disyari'atkan (mencocoki orang-orang besar –pent) kecuali berusaha mencocoki Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam karena Allah subhanahu mensyari'atkan untuk kita supaya menjadikan beliau sebagai panutan, adapun selain beliau maka dia bisa salah dan bisa pula benar, dan telah lewat yang semakna dengan ini pada catatan kaki pada jilid pertama dan kedua serta awal-awal jilid ini (ketiga), lihatlah kembali kalau mau, wallahu al-muwaffiq.” [Lihat “Fathul Bari” jilid 3, hal: 322, cet, Darus Salam].
Dan kami tidak mengetahui dalam ilmu musthalah hadits satu ulama kibarpun dari kalangan ahlul hadits yang teranggap kalau terkumpul dalam seseorang jarh dan ta'dil -sebagaimana halnya pada 'Abdurrahman Al-Mar'i- dia mengembalikan kepada siapa yang paling kibar di antara mereka dalam jarh wat ta'dil kemudian berdalih dengan hadits "berkah bersama orang besar kalian" sebagaimana yang khaidir lakukan ini, bahkan mereka lebih mengedepankan jarh mufassar daripada ta'dil karena yang menjarh punya pengetahuan lebih yang tidak diketahui oleh yang menta'dil,
Al-Hafidz ibnu Sholah rahimahullah berkata:
إذا اجتمع في شخص جرح وتعديل : فالجرح مقدم لأن المعدل يخبر عما ظهر من حاله والجارح يخبر عن باطن خفي على المعدل . فإن كان عدد المعدلين أكثر : فقد قيل : التعديل أولى . والصحيح - والذي عليه الجمهور - أن الجرح أولى لما ذكرناه والله أعلم
"Apabila terkumpul dalam seseorang jarh dan ta'dil, maka jarh dikedepankan, karena yang menta'dil mengabarkan tentang apa yang nampak dari halnya dan yang menjarh mengabarkan tentang apa yang batin tidak diketahui oleh orang yang menta'dil. Apabila yang menta'dil lebih banyak jumlahnya: ada yang bilang: Ta'dil lebih utama. Yang benar –dan yang dirajihkan oleh jumhur- yang menjarh lebih utama (lebih dikedepankan) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi, wallahu a'lam." [“Muqoddimah Ibnu sholah”, hal 70, cet. Muassasah Ar-Risallah].
Asy-Syuyuthi rahimahullah berkata:
( وإذا اجتمع فيه ) أي الراوي ( جرح ) مفسر ( وتعديل فالجرح مقدم ) ولو زاد عدد المعدل هذا هو الأصح عند الفقهاء والأصوليين ونقله الخطيب عن جمهور العلماء لأن مع الجارح زيادة علم لم يطلع عليها المعدل ولأنه مصدق للمعدل فيما أخبر به عن ظاهر حاله إلا أنه يخبر عن أمر باطن خفي عنه
"(Apabila terkumpul padanya) yaitu seorang perawi (jarh) yang rinci (dan ta'dil maka jarh dikedepankan) meskipun lebih banyak jumlah yang menta'dil, ini lebih benar di sisi fuqoha dan usuliyyin dan dinukil oleh Al-Khathib dari Jumhur 'ulama karena bersama penjarh punya tambahan ilmu yang tidak diketahui oleh yang menta'dil dan karena (yang menjarh) membenarkan apa yang dikabarkan oleh yang menta'dil tentang yang nampak dari perihalnya hanya saja yang menjarh mengabarkan tentang perkara yang batin yang tidak diketahui oleh penta'dil." [“Tadribu Ar-Rowi” 1/309]
Al-Hafidz Ibni Hajar rahimahullah berkata:
والجَرْحُ مُقَدَّمٌ عَلى التَّعْديلِ، وأَطلقَ ذلك جماعةٌ ، ولكنَّ محلَّهُ إِن صَدَرَ مُبَيَّناً مِن عَارِفٍ بأَسْبَابِهِ؛ لأنَّه إِنْ كانَ غيرَ مفسَّرٍ لم يَقْدَحْ فيمَنْ ثبَتَتْ عدالَتُه. وإِنْ صدَرَ مِن غيرِ عارفٍ بالأسبابِ لم يُعْتَبَرْ بهِ أيضاً.
"Dan jarh lebih dikedepankan daripada ta'dil, sekelompok ulama mengithlakkan hal tadi, akan tetapi tempatnya apabila jarh itu muncul dengan perinciannya dari orang yang tahu sebab-sebab jarh; karena apabila tidak rinci tidak membahayakan orang yang telah tetap adalah-nya. Dan apabila (jarh) muncul dari orang yang tidak tahu sebab-sebab (jarh) juga tidak dianggap." [Lihat “Syarh Nuzhatun Nadzor” syarh Syaikh Al-'Utsaimin, hal: 343, cet. Darul ibnu Al-Jauzi].
Tidak diragukan lagi bahwa Imam Ahmad adalah imam ahlus sunnah di zamannya, dan beliau termasuk dari muhaddits yang tidak meriwayatkan kecuali dari orang-orang tsiqoh, namun manakala beliau meriwayatkan dari 'Amir bin Sholeh Az-Zubairi yang mana dia itu haditsnya ditinggalkan, tidak seorangpun dari ulama kibar yang mengatakan -sebagaimana ucapan Khaidir- bahwa berkah bersama orang besar kalian dan orang besar dalam jarh wat ta'dil adalah imam Ahmad dan beliau meriwayatkan darinya bahkan berkata dia (yaitu 'Amir bin Sholeh) itu tsiqoh dia bukanlah pendusta[1], bahkan para ulama lebih mengedepankan jarh yang rinci daripada ta'dil imam Ahmad tadi, dan menyelisihi Imam Ahmad pada perkara ini ada yang mengatakan bahwa 'Amir itu pendusta ada yang mengatakan bahwa dia itu orang buruk musuh Allah ada yang mengatakan matruk silahkan lihat biografinya di "Tahdzib Al-Kamal"; berkata Syaikh Muqbil rahimahullah:
الإمام أحمد أيضًا من الذين لا يحدثون إلا عن ثقات، روى عن عامر بن صالح الزبيري حتى قال الإمام يحيى بن معين عند أن بلغه هذا: جنّ أحمد.
Imam Ahmad juga termasuk dari orang-orang yang tidak meriwayatkan kecuali dari orang-orang tsiqoh, beliau meriwayatkan dari 'Amir bin Sholeh Az-Zubairi hingga Imam Yahya bin Ma'in berkata ketika sampai kepadanya perkara ini: Gila Ahmad. [“Al-Muqtarih”, hal 39].
Berkata Imam Al-Mizzi rahimahullah:
و قال أحمد بن محمد بن القاسم بن محرز ، عن يحيى بن معين : كذاب خبيث عدو الله،...
"Dan berkata (tentang 'Amir) Ahmad bin Muhammad bin Muhriz, dari Yahya bin Ma'in: ('Amir bin Sholeh) pendusta, buruk, musuh Allah,..."
و قال أبو داود : قيل ليحيى بن معين : إن أحمد بن حنبل حدث عن عامر بن صالح ؟
فقال : ما له ، جن ؟ ! .
"Berkata Abu Daud: Dikatakan kepada Yahya bin Ma'in: Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dari 'Amir bin Sholeh? Maka Yahya bin Ma'in jawab: Ada ada dengannya (Imam Ahmad), gilakah?!."
و قال الدارقطنى : أساء القول فيه يحيى بن معين ، و لم يتبين أمره عند أحمد ،
و هو مدنى ، يترك عندى .
"Dan berkata Ad-Daraquthni: Yahya bin Main berkata buruk tentangnya (yaitu menjarhnya dengan keras sebagaimana telah lewat ucapannya –pent), dan tidak jelas perkaranya di sisi Ahmad, dan dia adalah oang madinah, di sisiku dia itu matruk (ditinggalkan).”
Bagaimana Dir?! Puas nggak dengan penjelasan ini? Atau adikmu Dzulqornain -yang katanya lagi mengadakan daurah takhrij hadits- mau bantu menjawab, silakan, ana rasa syubhat ini kamu telan dari hizbiyyun judud Luqmaniyyun karena merekalah yang sering mengulang-ngulang syubhat ini sebagaimana dalam risalah sesat Sarbini dan selainnya, inilah akibat duduk-duduk dengan mereka, wallahul musta'an.
[1] Lihat tarjamah/biografi 'Amir bin Sholeh di Tahdzib Al-Kamal.dimana Al-Mizzi berkata:
قال عبد الله بن أحمد بن حنبل ، عن أبيه : ثقة ، لم يكن صاحب كذب.
Berkata 'Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya: Tsiqoh dia bukanlah pendusta.
MANHAJ ULAMA KIBAR
YANG DISELISIHI “KHAIDIR MAKASSAR”
Oleh:
Abu 'Abdirrohman
Shiddiq bin Muhammad Al-Bugisi
Editor:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Jawiy
Darul Hadits Salafiyyah
Dammaj
Yaman
Daftar Isi
Daftar Isi 2
Muqoddimah. 3
Pentingnya membantah ahlul Batil di sisi Ulama Besar 7
Manhaj Ulama Kibar Merinci dan Menjelaskan adapun manhaj para pembela kebatilan dan pelakunya menggunakan ucapan-ucapan global dan mutlak. 11
Penyelisihan ucapan Khaidir tadi dengan ucapan Syaikh Robi' yang ia nukil sendiri 12
Tuntutan dan Tantangan mendatangkan hujjah terhadap tuduhan tanpa dasar 13
Siapa Sebenarnya Yang Tidak Mau Tunduk Dengan Kaidah?. 17
Syaikh Yahya hafidzahullah termasuk Ulama Jarh wat Ta'dil dan Kibar di sisi Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dan Masyayikh ahlus sunnah di Yaman dan selain Mereka. 21
Manhaj Ulama kibar menerima kebenaran dari siapapun datangnya. 24
Ulama Kibar Mencela Taqlid. 28
Adapun Khaidir Menyeru kepadanya. 28
Membongkar Syubhat Khaidir dalam bertaqlid. 32
Dan penjelasan akan jauhnya pemahaman khaidir dari pemahaman ulama kibar ahlis sunnah. 32
Ulama kibar mencela dan mentahdzir dari ghuluw dan pujian yang berlebihan. 39
Ghuluw dan berlebih-lebihan Khaidir terhadap Syaikh Robi' hafidzahullah. 42
Sebab Perpecahan di sisi Ulama Kibar 43
Kecemburuan Ulama Besar dan Kecemburuan Khaidir 46
Batilnya Manhaj "Nushohhih wa laa Nuhaddim" (Kita Perbaiki dan tidak Meruntuhkan) dan Kaidah "Nushohhih wa laa Nujarrih" (Kita perbiki dan tidak kita jarh) di sisi Ulama Besar 47
Batilnya Kaidah "kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain kita sebab perpecahan antara kita" di sisi ulama besar 49
Jatuhnya Khaidir pada kaidah "Nushohhih wa laa Nujarrih" dan kaidah "kita tidak menjadikan perselisihan kita pada selain kita sebab perpecahan antara kita" pada fitnah ini 50
Penutup. 51
Nasihat untuk khaidir 52
Muqoddimah
بسم الله الرحمن الرحيم
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا من يهده الله فلا مضلل له ومن يضلل الله فلا هادي له, وأشهد أن لا إله إلا الله, وحده لا شريك له, وأشهد أن محمدا عبده ورسوله.
﴿ يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلا تَمُوتُنَّ إِلا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ ﴾ [آل عمران: 102] .
"Wahai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Alloh sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam keadaan memeluk agama Islam."
﴿ يَاأَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا ﴾ [النساء: 1] .
"Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Robb kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, dan dari padanya Alloh menciptakan istrinya, kemudian dari pada keduanya Alloh mengembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Alloh yang dengan (mempergunakan) namaNya kalian saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Alloh senantiasa menjaga dan mengawasi kalian."
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلا سَدِيدًا * يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا ﴾ [الأحزاب: 70، 71].
"Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kalian kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Alloh akan memperbaiki amalan-amalan kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan barangsiapa yang menta'ati Alloh dan RosulNya maka sungguh dia telah mendapat kemenangan yang besar."
فإن خير الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد وشر الأمور محدثاتُها وكل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وكل ضلالة في النار.
أما بعد:
Telah sampai ke tangan ana sebuah rekaman suara seorang da’i ([1]) dari Makassar bernama Khaidir bin Sanusi hadahulloh yang ia lontarkan di awal-awal bulan Sya'ban dalam salah satu majelisnya. Setelah saya dengarkan ternyata di dalamnya dia menyebar syubhat bukan ilmu bermanfaat, manhaj ahlul batil bukan manhaj ahlus sunnah wal jama'ah yang benar, tanpa dia sadari dia telah berupaya menggoncang keutuhan dakwah salafiyyah yang murni yang tegak di atas manhaj salafus shalih jauh dari penyelisihan, bid'ah dan maksiat, dan malah menyeru kepada persatuan semu di atas kaidah ikhwanul muflisin
نتعاون فيم اتفقنا عليه يعذر بعضنا بعضا فيما اختلفنا فيه
“Saling bantu pada perkara yang kita sepakat atasnya dan saling memaklumi pada perkara yang kita berselisih padanya.” ([2])
Allohul Musta'an…
{ بَأْسُهُمْ بَيْنَهُمْ شَدِيدٌ تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لَا يَعْقِلُونَ } [الحشر: 14]
"Permusuhan antara sesama mereka sendiri sangat keras. Kamu sangka mereka itu bersatu padahal hati-hati mereka berpecah belah Sesungguhnya yang demikian itu dikarenakan mereka adalah kaum yang tidak berakal.” [Al-Hasyr: 14].
Jangan tertipu dengan doanya di akhir majlis yang berbunyi: "Semoga Allah subhanahu wa ta'ala memberi kita hidayah seluruhnya dalam menjaga keutuhan dakwah, tersebarnya ilmu, tegaknya tauhid, tegaknya aqidah.., manhaj ahlus sunnah wal jamaa'ah"
karena sesungguhnya apa yang keluar dari mulutnya dalam majlis sangat bertentangan jauh dengan isi doanya, dan menunjukkan minimnya ilmunya, kroposnya manhajnya, hanya saja dia punya modal taqlid, ([3]) maka yang pantas dikatakan kepadanya adalah: "Teruslah berdoa dan berusaha memperbaiki dirimu ya Khaidir karena kamu termasuk orang yang sangat butuh dengan doa tersebut dan apa yang terpapar dalam risalah sederhana kami ini sebagai bukti ucapan tadi,” wabillahit taufiq.
Juga yang ana ingin ingatkan kepadamu wahai Khaidir bahwa keberadaanmu sebagai dai di sana janganlah menghalangimu untuk terus menambah dan memuroja'ah ilmu yang telah kamu miliki,
{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا } [التحريم: 6]
"Wahai orang-orang yang beriman jagalah diri-dirimu dan keluargamu dari api neraka." [At-tahrim: 6].
Jangan terus disibukkan ngisi ke sana ngisi ke sini akhirnya lupa membenahi diri sendiri yang mengkibatkan kamu terjatuh pada kesalahan semacam ini disebabkan kurang memuroja'ahi kaidah-kaidah ahlul hadits dan manhaj ahlus sunnah wal jama'ah[4], jadilah permisalanmu bagaikan lilin yang menerangi namun kamu sendiri lambat laun akan habis sendiri. Demikianlah yang kami dapati dari para masyayikh di Dammaj terutama Syaikh kami Yahya Al-Hajuri hafidzahullah mereka rutin menggandengkan antara dakwah dan menimba ilmu, dan ini adalah kebiasaan salaf Imam Ahmad rahimaullah ditanya: “Sampai kapan Anda akan menuntut ilmu?” Beliau menjawab: "Dari awal menuntut ilmu sampai liang lahad (wafat)".
Dikatakan kepada ibnu Mubarok:
إلى متى تطلب العلم ؟ قال : « حتى الممات إن شاء الله »
"Sampai kapan engkau menuntut ilmu?” Beliau jawab: “Sampai mati insya Allah." [Dinukil dengan sanadnya oleh ibnu 'Abdil Bar rahimahullah di Jami' Bayan Al-'ilm wa Fadhlih 1/192 cet. Dar ibnu Hazm].
Berkata seorang penyair:
إذا لم يذاكر ذو العلوم بعلمه ولم يستزد علما نسي ما تعلما
"Apabila seorang yang berilmu tidak memuroja'ahi ilmunya dan tidak pula menambah ilmu dia akan lupa apa yang telah dia pelajari." [Jami' Bayan Al-'ilm wa Fadhlih 1/206].
Akhirnya manakala Khaidir hadahullah berlagak bahwa dia bersama ulama besar dan berdalih dengan satu-satunya hadits yang disebutkan dalam majlisnya:
البركة مع أكابركم
"Berkah itu bersama dengan orang-orang besarnya kalian"
Yang akan datang bantahannya dipembahasan "membongkar syubhat Khaidir dalam taqlid", karenanya saya memilih judul "Manhaj 'Ulama Kibar yang diselisihi Khaidir Makassar"
Tiba saatnya masuk kepada inti pembahasannya dengan hanya memohon kepada Allah ta'ala semata bantuan dan taufiqNya.
Pentingnya membantah ahlul Batil di sisi Ulama Besar
([1]) Tambahan editor وفقه الله: Memang Khoidhir bergaya membawa bendera salaf, sehingga sebagian orang tertipu walaupun dulu ana telah memperingatkan orang yang tertipu tersebut.
([2]) Tambahan editor وفقه الله: Orang yang bukan munafiq tapi membawa syubuhat munafiqun dan tak mau menerima nasihat, maka umat juga harus diperingatkan dari bahaya dirinya. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah رحمه الله berkata: “Dan jika ada sekelompok orang yang bukan munafiqun akan tetapi mereka gemar mendengarkan ucapan munafiqin sehingga menjadi tersamarlah di hati mereka keadaan munafiqin hingga mengira bahwasanya perkataan mereka adalah suatu kebenaran padahal dia itu menyelisihi Al Qur’an, hingga akhirnya jadilah orang-orang tadi menjadi penyeru kepada kebid’ahan para munafiqin sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿لو خرجوا فيكم ما زادوكم الا خبالا ولأوضعوا خلالكم يبغونكم الفتنة وفيكم سماعون لهم﴾
“Jika mereka berangkat bersama-sama kalian, niscaya mereka tidak menambah kalian selain dari kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk mengadakan kekacauan di antara kalian; sedang di antara kalian ada orang-orang yang amat suka mendengarkan perkataan mereka.”
Maka harus juga menjelaskan keadaan mereka. Bahkan fitnah dari keadaan mereka itu lebih besar karena di dalam diri mereka ada keimanan yang mengharuskan masih adanya loyalitas dengan mereka, sementara mereka itu telah masuk ke dalam satu kebid’ahan dan bid’ah-bid’ah munafiqin yang merusak agama. Maka umat harus diperingatkan dari kebid’ahan itu walaupun peringatan tadi mengharuskan untuk menyebutkan orang-orang tadi satu persatu. Bahkan walaupun mereka tidak mendapatkan kebid’ahan tadi dari seorang munafiq, tetapi mereka mengucapkannya dalam keadaan mereka mengira bahwasanya bid’ah tadi adalah petunjuk, juga mengira bahwasanya bid’ah tadi adalah kebaikan dan agama padahal kenyataannya tidak demikian, tetaplah wajib untuk menjelaskan keadaannya.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 233).
([3]) Tambahan editor وفقه الله: Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Maka barangsiapa mengikuti agama bapak-bapak dan para pendahulunya dikarenakan adat yang dirinya telah terbiasa dengannya, dan tidak mau untuk mengikuti kebenaran yang wajib untuk diikutinya, maka dia inilah pembebek yang tercela, dan inilah keadaan Yahudi dan Nashoro, bahkan ahlul bida’ wal ahwa di kalangan umat ini yang mengikuti syaikh-syaikh mereka dan para pemimpin mereka di selain kebenaran.” (“Majmu’ul Fatawa”/4/hal. 197-198).
[4] Syaikh Robi' waffaqohullah berkata sebagaimana dalam salah satu kaset bantahannya terhadap Falih Al-Harbi: "Jadi burhan membungkam beribu-ribu orang yang tidak memiliki hujjah. Walaupun mereka adalah ‘ulama. Ini adalah kaidah yang wajib untuk diketahui dan HENDAKNYA KALIAN MERUJUK KITAB-KITAB ‘ILMU HADITS TERUTAMA YANG MELUAS PEMBAHASANNYA SEPERTI TADRÎBUR ROWÎ, DAN SEPERTI FATHUL MUGITS, SYARH ALFIAH AL-'IROQI, dan ini adalah perkara-perkara yang telah jelas di sisi ‘ulama, yang menyelisihi dan berbicara tentang hal ini dengan bathil tidak diperkenankan, karena kita akan merusak ‘ilmu-‘ilmu islamiyah dan meruntuhkan kaidah-kaidah dan … dan …dan seterusnya dengan cara-cara seperti ini.
Jadi tidak boleh bagi seorang muslim mengutarakan kepada manusia kecuali al-haq. Dan (hendaknya) ia menjauh dari perkara yang samar dan hiyal (tipu muslihat) barokallohu fîkum.” Selesai. [lihat “Mukhtashor Bayan”].
Manhaj 'Ulama KibAR .rar
تعليق