Bingkisan Untuk Ikhwah
Di Negri Qothr
Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
وفقه الله
Judul Asli:
“At Tuhfatul Qothriyyah Bi Ijabati Sualati Ahlid Diyaril Qothriyyah”
Judul terjemahan bebas:
“Bingkisan Untuk Ikhwah Di Negri Qothr”
Ditulis dan Diterjemahkan Oleh Al Faqir Ilalloh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Soekojo Al Indonesiy Al Jawiy
وفقه الله
بسم الله الرحمن الرحيم
Pengantar Penulis عفا الله عنه
الحمد لله رب العالمين وأشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وعلى آله أجمعين أما بعد:
Saya mohon pada Alloh agar memberi saya taufiq kepada perkara yang dicintai-Nya dan diridhoi-Nya, hanya Dia sajalah Yang memberikan taufiq kepada jalan yang paling lurus. Dan tiada upaya dan tiada daya kecuali dengan pertolongan Alloh.
Pertanyaan Pertama: Tentang Hukum membaca Al Qur’an dengan keras di dalam sholat jahriyyah
Pertanyaan pertama: menurut pendapat yang benar dari pendapat-pendapat para ulama, membaca Al Qur’an dengan keras di dalam sholat jahriyyah (yang disyariatkan bacaannya Qur’annya keras) itu mustahab ataukah wajib?
Jawabnya dengan taufiq Alloh: jika kita melihat ke dlil-dalil sholat jahr, kita dapati bahwa yang demikian itu adalah perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم , bukan dari perintah lisan beliau. Dan tiada keraguan bahwasanya beliau adalah sebagaimana yang difirmankan Alloh ta’ala:
﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ الله كَثِيرًا﴾ [الأحزاب: 21].
"Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rosululloh suri teladan yang bagus."
Dan Abu Huroiroh رضي الله عنه berkata: “Maka yang Rosululloh صلى الله عليه وسلم baca dengan keras, kami baca dengan keras untuk kalian. Dan apa yang beliau baca pelan, kami juga baca dengan pelan untuk kalian.” (HR. Muslim (396)).
Akan tetapi sebagaimana pendapat yang benar dalam ushul fiqh: bahwasanya perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم yang beliau lakukan sebagai ibadah, maka itu adalah mustahab untuk kita pada asalnya, selama tiada dalil yang menunjukkan bahwa hukumnya itu wajib, dan tidak pula menunjukkan bahwa itu sebagai kekhususan untuk beliau.
Az Zarkasyiy رحمه الله berkata tentang perbuatan-perbuatan Nabi صلى الله عليه وسلم : “Pendapat yang terpilih di sisi kami adalah bahwasanya perbuatan yang beliau lakukan dengan sengaja untuk mendekatkan diri pada Alloh itu disukai dan dianjurkan bagi umat ini.” (“Al Burhan Fi Ushulil Fiqh”/1/hal. 324).
Oleh karena itu maka yang benar untuk bacaan Qur’an dengan keras dalam sholat-sholat jahriyyah adalah mustahab, bukan wajib.
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Dan umat ini telah bersepakat akan disyariatkannya membaca dengan keras dalam dua rekaat Shubuh dan Jum’at, dua rekaat pertama pada sholat maghrib dan Isya. Dan juga bersepakat untuk membaca pelan pada sholat Zhuhur dan Ashr, rekaat ketiga dari sholat Maghrib dan dua rekaat terakhir dari sholat Isya. Dan ulama berselisih pendapat tentang sholat ‘Id dan istisqo. Untuk madzhab kami adalah membaca keras di dalam dua sholat tadi. Dan dalam sholat sunnah malam dikatakan: membaca keras. Ada yang berkata: Antara keras dan pelan. Dalam sholat sunnah siang dikatakan: membaca pelan.” –sampai pada ucapan beliau:- “Dan apapun yang kita katakan: keras atau pelan, maka itu adalah sunnah, andaikata ditinggalkan, sholatnya shohih dan tidak sujud sahwi menurut kami.” (“Al Minhaj”/4/hal. 105).
والله تعالى أعلم بالصواب.
Pertanyaan Kedua: Hukum Darah yang Keluar Bukan Pada Masa Haid
Pertanyaan kedua: jika seorang wanita punya daur haid yang teratur, lalu dia melihat keluarnya darah di luar waktu adatnya. Maka apa yang menjadi kewajibannya?
Jawabnya dengan taufiq Alloh semata: jika darah tadi tidak punya sifat darah haid, maka dia tidak teranggap sebagai darah haid. Adapun jika dia itu punya ciri-ciri darah haid, tapi keluar bukan pada masa adatnya, maka Al Imam Ahmad رحمه الله memiliki pendapat yang bagus, dan diikuti oleh Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله, disertai dengan perincian bimbingan yang penting.
Al Imam Ibnu Qudamah رحمه الله berkata: “Sesungguhnya si wanita jika telah memiliki adat haid yang menetap, lalu dia melihat darah (dengan ciri-ciri haid) di luar kebiasaannya, dia tidak biasa melihat darah yang keluar dari adat haidnya, sampai terulang tiga kali –menurut salah satu riwayat-, dan dua kali –menurut riwayat yang lain.
Hanbal menukilkan dari Ahmad tentang seorang wanita yang punya hari-hari haid yang telah dikenal, lalu datanglah haid mendahului hari-harinya, maka dia tidak perlu memandangnya (tidak perlu menganggapnya sebagai haid). Hendaknya dia tetap berpuasa dan sholat. Jika darah tadi datang lagi semisal itu pada kali yang kedua (pada periode berikutnya), maka itu adalah darah haid yang bepindah adatnya.
Al Fadhl bin Ziyad menukilkan riwayat lain: “Dia jangan berpindah ke adat yang baru kecuali pada kali yang ketiga (pada perulangan periode yang ketiga), jika telah terulang tiga kali, maka hendaknya dia menahan diri dari sholat dan puasa.” Dalam lafazh yang lain dari beliau: aku bertanya kepada Abu Abdillah (Ahmad) tentang wanita pada hari-hari haid yang telah diketahuinya, lalu terkadang masa haidnya itu bertambah sekian hari di sekian bulan. Apakah dia harus menahan diri dari sholat ataukah dia tetap bersholat? Beliau menjawab: “Bahkan dia tetap sholat dan jangan memandang tambahan hari haid tadi, kecuali adanya darah haid, maka dia berpindah ke adat baru tadi. Atau yang semisal dengan itu.” Aku bertanya: “Apakah dia bersholat sampai dia mengalami tambahan tadi sebanyak tiga kali, lalu dia meninggalkan sholat setelah terjadinya tambahan tadi sebanyak tiga kali?” beliau menjawab: “Iya setelah terjadi tiga kali.”
Maka di dalam riwayat ini ada ucapan jelas bahwasanya darah yang di luar kebiasaan haid tadi tidak terhitung sebagai tambahan dari haidnya kecuali pada kali yang keempat. Maka si wanita tadi tetap sholat dan puasa pada tiga kali periode tambahan tadi. Dan dalam riwayat Ahmad yang pertama ada kemungkinan bahwasanya si wanita tadi menghitung darah yang keluar tadi sebagai bagian dari haidnya pada periode yang ketiga, berdasarkan ucapan beliau: “dia jangan berpindah ke adat yang baru kecuali pada kali yang ketiga”. Dan kebanyakan riwayat beliau adalah: menilai darah tambahan yang keluar dari kebiasaan tadi sebagai haid jika telah terjadi pengulangan yang ketiga, sama saja apakah dia melihat darah tadi sebelum hari adatnya ataukah setelah hari adatnya, disertai dengan tetap berlangsungnya adat haidnya yang lama, atau terputusnya darah pada saat itu, atau di sebagian adatnya, maka janganlah si wanita tadi duduk (meninggalkan sholat dan puasa) di selain hari-hari adatnya, sampai tambahan tadi terulang dua kali atau tiga kali (mengalami tambahan selama dua atau tiga periode). Jika tambahan tadi memang terulang, tahulah kita bahwasanya tambahan tadi memang darah haid juga yang berpindah harinya, maka si wanita tadi menjadikan tambahan tadi sebagai bagian dari adatnya (yang baru), yaitu dia meninggalkan sholat dan puasa pada hari-hari tambahan tadi, dan hari-hari tambahan tadi menjadi adat untuknya, dan dia meninggalkan adat yang lama, karena adatnya telah berpindah dari adat yang lama, dan jadilah adat yang baru itu lebih banyak daripada adat yang lama, atau menjadi adat yang lain (karena berpindah sama sekali dari adat yang lama).
Kemudian dia wajib membayar hari-hari haid sebanyak tiga periode yang dia berpuasa wajib di situ yang (semula) kita perintahkan dia untuk tetap berpuasa di hari-hari tadi, karena telah jelas bagi kita bahwasanya dia ternyata berpuasa pada hari-hari haid (masa haid dengan adat yang baru), sementara puasa pada masa haid adalah tidak sah (sehingga harus dibayar pada hari lain).
Adapun tentang sholat, maka dia tidak wajib membayarnya, karena wanita haid itu tidak membayar sholat.”
(selesai dari “Al Mughni”/1/hal. 396).
والله أعلم.
Pertanyaan Ketiga: Masalah Udzur Karena Kebodohan
Pertanyaan ketiga: Apakah Anda memiliki pembahasan yang terperinci tentang masalah udzur karena kebodohan?
Saya jawab dengan memohon taufiq Alloh semata: Ada di dalam risalah saya “Syarh Nawaqidhil Islam,” alhamdulillah sudah tercetak. Andaikata Anda ada di sini insya Alloh saya hadiahkan satu naskah untuk Anda. Dan yang lebih luas dari itu ada dalam risalah saya: “At Tahdzir Minal Firqotir Rofidhoh.”
Dan karena ada pertanyaan senada juga dari Indonesia, maka akan saya sebutkan sekarang jawabannya. Kami meyakini adanya udzur karena kebodohan, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا﴾ [الإسراء: 15]،
“Dan tidaklah Kami menyiksa sampai Kami mengutus seorang utusan.”
Dan Alloh سبحانه berfirman:
﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾ [النساء: 115].
“Dan barangsiapa menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An Nisa: 115).
Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله berkata: “Dan firman-Nya: “Dan barangsiapa menentang Rosul sesudah jelas kebenaran baginya,“ yaitu: dan barangsiapa menempuh selain jalan syariah yang didatangkan oleh Rosul صلى الله عليه وسلم sehingga jadilah dia ada di satu sisi sementara syariat ada di sisi lain, dan yang demikian itu dia lakukan dengan sengaja setelah jelas dan terang baginya kebenaran, …” dst. (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/2/hal. 412).
Ini menunjukkan bahwasanya barangsiapa belum jelas baginya petunjuk, Alloh tak akan menyiksa dirinya.
Dan hukum orang yang bodoh itu memiliki perincian, saya akan menukilkan sebagian ucapan para ulama tentang masalah ini, yang mana intinya adalah bahwasanya jika dia bodoh tapi berusaha mencari kebenaran, maka kesalahan yang terjadi itu mendapatkan udzur. Tapi jika dia tidak peduli pada kebenaran, dan tidak berusaha mencari kebenaran, maka kesalahan yang terjadi karena kebodohannya itu tidak mendapatkan udzur.
Al Imam Ibnul Qoyyim berkata: “Lapisan ketujuh belas: tingkatan ahli taqlid, orang-orang kafir yang bodoh, para pengikut mereka dan “keledai-keledai mereka” yang bersama mereka sebagai pengikut dan berkata: “Sesungguhnya kami mendapatkan bapak-bapak kami ada di atas suatu agama, dan mereka adalah teladan bagi kami.” Dan bersamaan dengan itu mereka membiarkan umat islam dan tidak memerangi mereka, bagaikan istri dan pembantu orang-orang yang memerangi Muslimin, dan para pengikut mereka yang tidak memancangkan diri mereka terhadap kita seperti sikap para pemimpin mereka yang memancang diri untuk berupaya memadamkan cahaya Alloh, meruntuhkan agama-Nya, dan mematikan kalimat-kalimat-Nya. Hanya saja para pengikut yang tadi bagaikan binatang ternak.
Dan umat ini telah bersepakat bahwasanya kalangan tingkatan tadi adalah orang-orang kafir, sekalipun mereka itu adalah orang-orang bodoh yang membebek para pemimpin dan kepala-kepala mereka. Dikabarkan bahwasanya sebagian ahli bida’ tidak menghukumi bahwa para pembebek orang-orang kafir tadi masuk neraka, tapi menjadikan mereka seperti orang yang belum sampai dakwah kepadanya. Dan itu adalah madzhab yang tidak diucapkan oleh satu orangpun dari para imam Muslimin, baik dari kalangan Shohabat, Tabi’in ataupun yang setelah mereka. Pendapat tadi hanya dikenal dari sebagian ahli kalam yang membikin perkara baru dalam Islam.
Dan telah shohih dari Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
«ما من مولود إلا يولد على الفطرة فأبواه يهودانه وينصرانه أو يمجسانه كما تنتج البهيمة بهيمة جمعاء هل تحسون فيها من جدعاء».
““Tiada satu anakpun yang dilahirkan kecuali dia itu dilahirkan di atas fithroh. Lalu kedua orang tuanya itu membikinnya jadi yahudi, atau nashroniy atau majusiy. Sebagaimana hewan melahirkan hewan yang sempurna, maka apakah kalian mendapati di antara anaknya ada yang cacat?” (HR. Al Bukhoriy (1359) dan Muslim (2658) dari Abu Huroiroh رضي الله عنه).
Maka beliau mengabarkan bahwasanya ayah bundanyalah yang memindahkannya dari Fithroh ke yahudiyyah dan nashroniyyah dan majusiyyah. Dan beliau tidak memandang dalam masalah itu selain sang pendidik dan pemelihara, berdasarkan agama si orang tua.
Dan telah shohih bahwasanya beliau صلى الله عليه وسلم bersabda:
«إن الجنة لا يدخلها إلا نفس مسلمة»،
“Sesunggunhya Jannah itu tidak dimasuki kecuali jiwa yang muslim.” (HR. Al Bukhoriy (6528) dan Muslim (221) dari Ibnu Mas’ud رضي الله عنه).
Dan si pembebek tadi bukanlah muslim, dalam keadaan dia itu berakal dan terbebani syariat. Sementara orang yang berakal dan terbebani syariat itu tidak keluar dari kemungkinan: dia itu muslim atau kafir. Adapun orang yang belum sampai padanya dakwah tapi dia bukan mukallaf (tidak terbebani syariat) dalam kondisi tadi, maka dia tadi bagaikan anak-anak kecil dan orang-orang gila.
Telah lewat pembahasan tentang dua golongan tadi (dalam kitab beliau “Thoriqul Hijrotain”). Dan Islam itu adalah tauhidulloh dan peribadatan pada-Nya satu-satunya tiada sekutu bagi-Nya, iman kepada Alloh, Rosul-Nya, dan mengikutnya dalam perkara yang beliau bawa. Maka jika sang hamba tidak memenuhi ini, maka dia itu bukanlah muslim. Jika dia bukan orang yang kafir mu’anid (pembangkang), maka dia adalah kafir yang bodoh. Puncak dari lapisan ini adalah bahwasanya mereka itu orang-orang kafir yan bodoh yang bukan pembangkang. Tidak adanya penentangan mereka (terhadap dakwah Islamiyyah) tidak mengeluarkan mereka dari kondisi mereka sebagai orang-orang kafir, karena orang kafir adalah orang yang menentang tauhid Alloh dan mendustakan Rosul-Nya, bisa jadi karena sengaja membangkang, bisa jadi pula karena kebodohannya dan membebek pada para pembangkang.
Maka orang ini sekalipun puncaknya dalah dia itu bukan pembangkang, tapi dia itu mengikuti para pembangkang, sementara Alloh telah mengabarkan di dalam Al Qur’an di lebih dari satu tempat bahwasanya Dia akan menyiksa orang-orang yang membebek para pendahulu mereka dari kalangan orang-orang kafir, dan bahwasanya para pengikut itu bersama para pemimpin mereka ikuti, dan bahwasanya mereka nanti saling bertengkar di dalam Neraka, dan bahwasanya para pengikut itu berkata:
﴿رَبَّنَا هَؤُلاءِ أَضَلُّونَا فآتِهِمْ عَذَاباً ضِعْفاً مِنَ النَّارِ، قَالَ لِكُلِّ ضعف ولكن لا تعلمون﴾ [الأعراف: 38]
“Wahai Robb kami, mereka (para pemimpin) telah menyesatkan kami, maka berilah mereka siksaan dari api dua kali lipat.” Alloh menjawab: “Masing-masing dari kalian mendapatkan siksaan yang berlipat akan tetapi kalian tidak tahu.”
Dan Alloh berfirman:
﴿وإذ يتحاجون في النار فيقول الضعفاء للذين استكبروا إنا كنا لكم تبعا فهل أنتم مغنون عنا نصيبا من النار قال الذين استكبروا إنا كل فيها إن الله قد حكم بين العباد﴾ [غافر: 47-48] ،
“Dan ingatlah ketika mereka saling bertengkar di dalam Neraka, maka orang-orang yang lemah berkata pada orang-orang yang menyombongkan diri: “Sesungguhnya kami dulu adalah pengikut kalian, maka apakah kalian bisa mencukupi kami satu bagian dari Neraka?” Orang-orang yang menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya kita semua ada di dalam Neraka. Sesungguhnya Alloh telah memutuskan perkara di antara para hamba.”
Alloh ta’ala berkata:
﴿ولو ترى إذ الظالمون موقوفون عند ربهم يرجع بعضهم إلى بعض القول يقول الذين استضعفوا للذين استكبروا لولا أنتم لكنا مؤمنين قال الذين الذين استكبروا للذين استضعفوا أنحن صددناكم عن الهدى بعد إذ جاءكم بل كنتم مجرمين وقال الذين استضعفوا للذين استكبروا بل مكر الليل والنهار إذ تأمروننا أن نكفر بالله ونجعل له أندادا﴾ [سبأ: 31- 33] .
“Dan andaikata engkau melihat ketika orang-orang yang zholim itu dihentikan di dekat Robb mereka, sebagian dari mereka saling mencela dengan yang lainnya, orang-orang yang lemah berkata pada orang-orang yang menyombongkan diri: “Andaikata bukan karena kalian, niscaya kami menjadi orang-orang-orang yang beriman.” Orang-orang yang menyombongkan diri berkata orang-orang yang lemah: “Apakah kami yang menghalangi kalian dari petunjuk setelah petunjuk itu datang pada kalian? Bahkan kalian itulah yang jahat.” Dan orang-orang yang lemah berkata pada orang-orang yang menyombongkan diri: “Bahkan kalian membikin makar malam dan siang ketika kalian memerintahkan pada kami untuk mengingkari Alloh, dan agar kami menjadikan tandingan-tandingan untuk-Nya.”
Maka ini adalah berita-berita dari Alloh dan peringatan dari-Nya bahwasanya para pemimpin dan yang mengikuti mereka itu bersekutu di dalam siksaan, dan taqlid mereka tidak bermanfaat bagi mereka sedikitpun.
Dan lebih jelas dari ini adalah firman Alloh ta’ala:
﴿إذ تبرأ الذين اتبعوا من الذين اتبعوا ورأوا العذاب وتقطعت بهم الأسباب وقال الذين اتبعوا لو أن لنا كرة فنتبرأ منهم كما تبرؤا منا﴾ [البقرة: 166-167] .
“Dan ingatlah ketika orang-orang yang diikuti berlepas diri dari orang-orang yang mengikuti, dan mereka melihat siksaan, dan terputuslah hubungan-hubungan di antara mereka. Dan orang-orang yang mengikuti berkata: “Andaikata kami memiliki kesempatan niscaya kami akan berlepas diri dari mereka sebagaimana mereka berlepas diri dari kami.”([1])
Dan telah shohih dari Nabi صلى الله عليه وسلم bahwasanya beliau bersabda:
«من دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل أوزار من اتبعه، لا ينقص من أوزارهم شيئا»،
“Barangsiapa menyerukan kepada kesesatan, dia akan mendapatkan dosa semisal dosa-dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim (1017) dari Jarir رضي الله عنه).
Dan ini menunjukkan bahwasanya kekufuran orang yang mengikuti mereka itu hanyalah semata-mata karena ikut dan membebek.
Memang, harus ada perincian dalam permasalahan ini yang dengannya kerumitan bisa hilang, yaitu perbedaan antara orang yang membebek yang punya kemampuan untuk mencari ilmu dan untuk mengetahui kebenaran tapi dia berpaling darinya, dengan orang pembebek yang tidak punya kemampuan untuk itu sedikitpun. Dan dua tipe pembebek ini ada di kalangan manusia.
Orang yang punya kemampuan tapi berpaling dan meremehkan untuk mencari ilmu itu adalah orang yang (sengaja) meninggalkan kewajibannya untuk mencari kebenaran, dan dia tidak punya udzur di sisi Alloh.
Adapun orang yang lemah untuk bertanya, tidak bisa mencari ilmu, tidak mampu untuk mencari pengetahuan sedikitpun, maka mereka ini ada dua macam juga. Yang pertama: orang yang menginginkan mendapatkan petunjuk, lebih mengutamakannya dan mencintainya, tapi dia tidak mampu mendapatkannya dan tidak sanggup mencarinya karena tiada yang membimbingnya. Maka hukmnya adalah hukum orang-orang yang hidup di masa kekosongan wahyu dan orang yang belum sampai dakwah kepadanya.
Yang kedua adalah: orang yang berpaling dan tidak punya keinginan untuk itu, dan dia tidak mengajak bicara dirinya untuk mencari agama selain yang telah dia peluk, dan dia tidak mengajak dirinya dengan agama selain yang dia peluk.
Orang yang pertama berkata: “Wahai Robbku, andaikata saya mengetahui bahwa Engkau mengetahui agama yang lebih baik daripada yang telah saya peluk, niscaya saya akan beragama dengan agama itu dan saya akan tinggalkan agama yang saya peluk ini. Akan tetapi saya tidak tahu selain agama yang telah saya peluk ini, dan saya tidak sanggup mendapatkan yang lain. Maka ini adalah puncak kerja keras saya dan akhir dari pengetahuan saya.”
Orang yang kedua sudah ridho dengan agama yang telah dipeluknya, tidak mau mengutamakan yang lain, dan jiwanya tidak mencari yang lain. Dan tidak ada perbedaan baginya antara kondisi lemah ataupun kondisi mampu untuk mencari yang benar.
Kedua orang ini sama-sama lemah, tapi orang kedua tidak harus digabungkan dengan orang yang pertama karena di antara keduanya ada perbedaan: orang yang pertama seperti orang yang mencari agama pada masa kekosongan wahyu dan tidak berhasil mendapatkan, lalu dia menghentikan pencarian setelah menghabiskan kemampuan untuk mencarinya, karena tidak mampu dan bodoh.
Adapun orang yang kedua maka dia itu seperti orang yang tidak mencari agama yang benar, bahkan dia mati di dalam kesyirikannya, sekalipun andaikata dia mencarinya niscaya dia tidak sanggup mendapatkannya. Maka ada perbedaan antara ketidaksanggupan orang yang mencari dengan ketidaksanggupan orang yang berpaling dari pencarian.
Maka renungkanlah posisi ini. Dan Alloh itu akan memutuskan di antara para hamba-Nya pada hari Kiamat dengan hukum-Nya dan keadilan-Nya. Dan Dia tidak menyiksa kecuali orang yang telah tegak padanya hujjah dengan para Rosul.
Inilah yang kita pastikan secara global pada makhluk. Adapun penentuan bahwasanya si Zaid dan si Amr itu telah tegak padanya hujjah atau tidak, maka yang demikian itu termasuk perkara yang tidak mungkin kita masuk di antara Alloh dan para hamba-Nya di situ. Bahkan yang wajib bagi hamba adalah: dia meyakini bahwasanya setiap orang yang beragama dengan selain agama Islam, maka dia itu kafir, dan bahwasanya Alloh سبحانه وتعالى tidak menyiksa seorangpun kecuali setelah tegaknya hujjah padanya dengan Rosul. Ini secara global. Sedangkan penentuan secara individu, maka itu diserahkan kepada ilmu Alloh عز وجل dan hukum-Nya ini dalam hukum-hukum pahala dan hukuman.
Adapun tentang hukum-hukum dunia, maka dia itu berjalan secara lahiriyyah. Maka anak-anak orang kafir dan orang-orang gila di kalangan mereka adalah orang-orang kafir dalam hukum-hukum dunia. Hukum mereka seperti hukum para wali mereka. Dan dengan perincian ini hilanglah kerumitan dalam masalah ini. Dan hal itu dibangun di atas empat prinsip:
Yang pertama: bahwasanya Alloh سبحانه وتعالى tidak menyiksa seorangpun kecuali setelah tegak hujjah padanya, sebagaimana firman Alloh ta’ala:
﴿وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولًا﴾ [الإسراء: 15]،
“Dan tidaklah Kami menyiksa sampai Kami mengutus seorang utusan.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴿رسلا مبشرين ومنذرين لئلا يكون للناس على الله حجة بعد الرسل﴾ [النساء: 165]
“Para Rosul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan agar manusia tidak punya alasan untuk membantah Alloh setelah datangnya para Rosul.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴿كلما ألقي فيها فوج سألهم خزنتها ألم يأتكم نذير قالوا بلى قد جاءنا نذير فكذبنا وقلنا ما نزل الله من شيء﴾ [الملك: 8- 9]
“Setiap kali satu kelompok dilemparkan ke dalam Neraka, para penjaganya bertanya pada mereka: “Apakah belum datang pada kalian pemberi peringatan?” Mereka menjawab: “Iya, telah datang pada kami pemberi peringatan, lalu kami dustakan dan kami katakan: “Alloh tidak menurunkan sesuatu apapun.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴿فاعترفوا بذنبهم فسحقا لأصحاب السعير﴾ [الملك: 11]
“Maka mereka mengakui dosa mereka maka kecelakaanlah bagi para penghuni neraka Sa’ir.”
Alloh ta’ala berfirman:
﴿يا معشر الجن والإنس ألم يأتكم رسل منكم يقصون عليكم آياتي وينذرونكم لقآء يومكم هذا قالوا شهدنا على أنفسنا وغرتهم الحياة الدنيا وشهدوا على أنفسهم أنهم كانوا كافرين﴾ [الأنعام: 130] ،
"Hai seluruh jin dan manusia, apakah belum datang kepada kalian para utusan dari golongan kalian sendiri, yang menyampaikan kepada kalian ayat-ayat-Ku dan memberi peringatan kepada kalian terhadap pertemuan kalian dengan hari ini?" Mereka berkata: "Kami menjadi saksi terhadap diri kami sendiri", dan kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang kafir."
Dan ini banyak di dalam Al Qur’an, mengabarkan bahwasanya Alloh hanyalah menyiksa orang yang telah didatangi Rosul dan telah tegak padanya hujjah, dan orang itu adalah pendosa yang mengakui dosanya (di dalam Neraka). Alloh ta'ala berfirman:
﴿وما ظلمناهم ولكن كانوا هم الظالمين﴾ [الزخرف: 76]
“Dan tidaklah Kami menzholimi mereka, akan tetapi mereka itulah yang dulu berbuat zholim.”
Dan orang yang zholim adalah orang yang mengetahui apa yang dibawa oleh Rosul atau sanggup untuk mencari tahu (lalu melakukan pelanggaran). Adapun orang yang tidak punya berita tentang Rosul sama sekali, dan dia tidak mampu untuk mengetahui sama sekali, maka bagaimana dia dikatakan sebagai orang zholim?
Prinsip kedua: sesungguhnya siksaan itu berhak ditimpakan karena dua sebab. Yang pertama: berpaling dari hujjah dan tidak mau mengetahui hujjah dan konsekuensinya. Yang kedua: membangkang terhadap hujjah setelah tegaknya hujjah dan tidak menginginkan untuk menjalankan konsekuensinya.
Maka yang pertama adalah kekufuran karena berpaling. Yang kedua adalah kekufuran karena membangkang.
Adapun kekufuran karena kebodohan bersamaan dengan tidak tegaknya hujjah dan ketidakmampuan untuk mengetahuinya, maka inilah yang Alloh meniadakan siksaan darinya sampai tegak hujjah Rosul.
Prinsip ketiga: bahwasanya tegaknya hujjah itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman, tempat dan individu. Terkadang hujjah Alloh itu tegak pada orang-orang kafir di zaman tertentu saja, di tempat tertentu saja dan sisi tertentu saja, sebagaimana bisa jadi hujjah itu tegak pada orang-orang tertentu saja, bisa jadi karena orang itu tak punya akal dan kemampuan pembedaan seperti anak kecil dan orang gila. Dan bisa jadi pula karena dia tidak mampu memahami, seperti orang yang tidak paham pembicaraan orang lain dan tidak adanya penerjemah yang menerjemahkan ucapan padanya. Maka orang ini bagaikan orang yang tuli yang tidak mendengar sesuatu dan tidak mampu untuk memahami ucapan, dan dia itu adalah salah satu dari empat golongan yang menyodorkan alasan pada Alloh pada hari Kiamat, sebagaimana telah lewat pembahasannya pada hadits Al Aswad dan Abu Huroiroh dan yang lainnya.
Prinsip yang keempat: bahwasanya perbuatan-perbuatan Alloh سبحانه وتعالى itu mengikuti hikmah-Nya yang Alloh سبحانه itu tidak akan cacat hikmah-Nya, dan bahwasanya hikmah tadi memang dikehendaki oleh Alloh untuk tujuan yang terpuji dan akibat yang terpuji. Dan prinsip ini adalah asas pembicaraan tentang lapisan ketujuh belas ini, yang di atas asas hikmah ini kita membangun, sambil kita menerima hukum-hukumnya dari nash-nash Kitab dan Sunnah, bukan dari rasio para tokoh dan akal mereka. Dan tidak ada yang tahu jumlah pembicaraan tentang lapisan ini kecuali orang yang mengetahui apa saja yang ada di dalam kitab-kitab orang-orang, dan mengetahui pendapat-pendapat dari kelompok-kelompok yang ada tentang bab ini, dan berakhir pada puncak tingkatan-tingkatan mereka dan akhir dari kaki-kaki mereka. Dan Alloh sajalah yang memberikan taufiq dan pentunjuk kepada kelurusan.”
(Selesai dari “Thoiqul Hijrotain”/hal. 411-413).
Asy Syaikh Sulaiman bin Samhan Al Kho’tsamiy رحمه الله berkata: “Bahwasanya para imam telah bersepakat akan kafirnya para pengikut yang bodoh yang membebek pada para pemimpin dan kepala mereka (yang kafir).” (“Kasyful Auham Wal Iltibas”/hal. 68).
Para ulama Lajnah Daimah berkata: “Orang yang hidup di negri-negri yang terdengar di situ dakwah Islamiyyah dan lainnya, lalu dia tidak beriman dan tidak mencari kebenaran dari ahlinya, maka dia masuk dalam hukum orang yang telah sampai padanya dakwah Islamiyyah dan bersikeras dengan kekafirannya. Ini didukung oleh keumuman hadits Abi Huroiroh رضي الله عنه yang terdahulu, sebagaimana didukung oleh apa yang Alloh ta’ala ceritakan tentang berita kaum Musa ketika disesatkan oleh As Samiriy lalu mereka menyembah anak sapi, padahal Musa telah menjadikan saudara beliau Harun untuk mengurusi mereka ketika beliau pergi bermunajat dengan Alloh. Manakala Harun mengingkari mereka karena mereka menyembah anak sapi, mereka berkata: “Kami akan terus beri’tikaf kepada patung ini sampai Musa kembali kepada kami.” Mereka memenuhi seruan dai kesyirikan dan enggan memenuhi seruan dai tauhid. Maka Alloh tidak menerima udzur mereka karena mereka memenuhi seruan dai kesyirikan sekalipun ada kerancuan yang menimpa mereka, karena dakwah tauhid sudah ada di samping dakwah syirik, bersamaan dengan bahwasanya dakwah Musa kepada tauhid masih segar diingatan mereka.” (“Fatawa Lajnah Daimah”/2/hal. 368).
Dan yang demaksud dengan hadits Abi Huroiroh رضي الله عنه adalah: dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
«والذي نفس محمد بيده لا يسمع بي أحد من هذه الأمة يهودي ولا نصراني ثم يموت ولم يؤمن بالذي أرسلت به إلا كان من أصحاب النار».
“Demi Dzat Yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, tidaklah mendengar tentangku satu orang dari umat ini, yang yahudi ataupun nashroniy lalu dia mati dalam keadaan tidak beriman kepadaku kecuali dia termasuk dari penduduk neraka.” (HR. Muslim (153)).
Fadhilatusy Syaikh Sholih Fauzan حفظه الله berkata: “Menjadi jelas dari ucapan para ulama bahwasanya sampainya hujjah adalah dengan dengan dua syarat: yang pertama: orang yang sampai kepadanya hujjah tadi itu memahami hujjah tadi jika dia memang mau untuk memahaminya. Yang kedua: perkara tadi adalah dalam perkara-perkara yang jelas, bukannya perkara yang samar-samar.” (catatan kaki terhadap “Dhowabithut Takfiril Mu’ayyan”/hal. 61/cet. Maktabatur Rusyd).
والله تعالى أعلم.
والحمد لله رب العالمين.
Shon’a, 16 Rojab 1435 H
([1]) Saya (Abu Fairuz وفقه الله ) katakan : Dan akhir ayatnya jelas menunjukkan kafirnya mereka:
﴿وَمَا هُمْ بِخَارِجِينَ مِنَ النَّارِ﴾ [البقرة: 167]
“Dan tidaklah mereka keluar dari Neraka.”