بسم الله الرحمن الرحيم
PENENTUAN AWAL BULAN
DENGAN HISAB ADALAH BID’AH
Ditulis oleh:
Ahmad Rifai bin Mas’ud Al-Indunisi
-semoga Alloh menjaganya-
Darul Hadits Dammaj
2 Romadhon 1433 H
Dalam menentukan masuknya awal bulan Hijriyah biasanya dipergunakan dua cara: ru’yah dan hisab. Ru’yah (baca: rukyat atau rukyah) adalah menentukan awal bulan dengan melihat terbitnya hilal (bulan sabit baru) bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuq barat, sedangkan hisab adalah menentukan awal bulan dengan menghitung derajat pergeseran manazil (tempat-tempat) bulan.
Yang kami perhatikan selama di tanah air, selalu saja penentuan tanggal 1 (satu) Romadhon dan Syawwal menjadi problem tahunan yang tak bisa dihindari dan tidak bisa untuk disatukan menjadi satu pendapat. Salah satu ormas besar (sebut Muhammadiyah) berpendapat bahwa penentuan awal bulan hanya dengan hisab bukan dengan ru’yah, sebaliknya ormas yang lain berpendapat hanya dengan ru’yah bukan dengan hisab. Dan penulis sendiri pernah meyakini pendapat yang pertama karena doktrin yang sedemikian rupa dari sebagian pengurus Muhammadiyah.
Adapun yang benar dalam masalah ini adalah bahwa penentuan masuknya awal bulan Hijriyah hanya dengan ru’yah, sementara penggunaan hisab dalam hal ini hukumnya bid’ah, menyelisihi syariat Rosululloh ﷺ.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [آل عمران/31].
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Alloh itu Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohim (Maha Menyayangi para hamba).” (QS. Ali Imron: 31).
Syaikhul Islam -rohimahulloh- berkata: “Dan hanyalah kesempurnaan rasa cinta pada beliau (Rosululloh ﷺ) dan pengagungannya itu ada pada mutaba’ah (mengikutinya), taat dan mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnah-sunnahnya yang lahiriyyah dan bathiniyyah, menyebarkan syariat yang beliau diutus dengannya, menegakkan jihad untuknya dengan hati, tangan dan lisan. Maka inilah jalan para As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik.” (Iqtidhoush Shirothol Mustaqim /2/hal. 124/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnu Katsir -rohimahulloh- berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Alloh, tapi dia tidak berada di atas jalan Muhammad ﷺ, karena dia itu sungguh pada hakikatnya telah berdusta di dalam pengakuannya, sampai dia itu mau mengikuti syariat Muhammad ﷺ dan agama Nabi di dalam seluruh ucapan dan keadaannya, sebagaimana telah tetap di dalam “Ash Shohih” dari Rosululloh ﷺ yang bersabda:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ»
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari urusan agama kami maka amalannya itu tertolak.”
Oleh karena itulah Alloh berfirman: (yang artinya:) “Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian” Yaitu kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi apa yang kalian cari, yaitu diakuinya cinta kalian pada-Nya. Yang akan kalian dapatkan adalah Alloh cinta pada kalian, dan itu lebih agung daripada yang pertama. sebagaimana sebagian orang bijak berkata: “Bukanlah yang penting itu kalian mencintai, tapi yang penting adalah kalian dicintai.” (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim/1/hal. 494-495/cet. Darus Shiddiq).
Rosululloh ﷺ dalam banyak hadits mengaitkan kewajiban puasa dengan ru’yah, di antaranya hadits ibnu Umar di Shohihain, Rosululloh ﷺ berkata:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ» وفي رواية: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْه.
“Berpuasalah kalian apabila melihatnya (hilal Romadhon) dan berhentilah dari puasa apabila kalian melihatnya (hilal Syawwal). Dan apabila kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah bilangan bulan.” Dan dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian berpuasa kecuali apabila kalian melihat hilal dan jangan berhenti berpuasa sampai kalian melihatnya.” (HR Bukhori:1909 dan Muslim:1081)
Juga hadits Abu Huroiroh semakna dengannya, diriwayatkan oleh Bukhori (1900) dan Muslim (1080).
Dan dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwa Rosululloh ﷺ berhati-hati dalam bulan Sya’ban tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa bila melihat hilal bulan Romadhon dan bila terhalang oleh awan beliau menggenapkan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, lalu berpuasa.
Ibnu Daqiq Al-’Ied -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah (2/206): “Aku berpendapat bahwa hisab tidak boleh untuk dijadikan pedoman dalam menentukan kapan puasa (Romadhon), karena padanya terdapat penyerupaan bulan dengan matahari, sesuai dengan ilmu perbintangan (astronomi). Dengan hisab itu mereka terkadang memajukan awal bulan satu atau dua hari sebelum ru’yahnya. Apabila hisab dijadikan sebagai pedoman maka artinya kita telah mengada-adakan di dalam syariat Islam ini sesuatu yang tidak diizinkan oleh Alloh.”
Ibnu Baththol -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Subulus Salam (2/423): “Di dalam hadits tersebut (hadits Ibnu Umar ) terdapat bantahan terhadap orang yang menentukan awal bulan dengan ilmu perbintangan, sedangkan yang terpandang dalam menentukan awal bulan adalah dengan melihat hilal, dan kita telah dilarang dari takalluf (membebani diri).”
Ibnu Bazizah -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Subulus Salam (2/423): “Itu (penggunaan hisab) adalah madzhab yang batil, sedangkan syariat telah melarang dari berlebih-lebihan dalam ilmu nujum (perbintangan/astronomi), karena ilmu tersebut hanya berdasarkan atas perkiraan dan tidak mungkin untuk mendapatkan kepastian dengannya.”
Imam Ash-Shon’ani menguatkan perkataan tersebut seraya berkata: “Dan jawaban yang paling tepat dan gamblang bagi mereka (ahli hisab) adalah hadits yang disebutkan oleh imam Bukhori dalam shohihnya (1913) dari Abdulloh bin Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwa Rosululloh ﷺ berkata:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ «وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
“Kita adalah ummat yang ummi, tidak menulis tidak pula menghitung, bulan itu kadang seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” -beliau (mengisyaratkan dengan sepuluh jarinya tiga kali dan) melipat satu jarinya pada kali ketiga-, dan kadang bulan itu seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” maksud beliau adalah genap tiga puluh hari.”
Syaikhuna Muhammad bin Hizam -hafidzohulloh- berkata: “Hadits tersebut juga disebutkan oleh imam Muslim:(1080)(15).”
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarh Shohih Al-Bukhori hadits no.1913: “Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah menghitung pergeseran bintang-bintang, sedangkan pada masa itu tidak ada yang mengerti tentang itu kecuali segelintir orang. Maka disandarkanlah penetapan puasa dan lainnya kepada ru’yah sehingga mereka tidak susah payah menanggung repotnya menghitung pergeseran bintang. Hukum tersebut terus berlaku demikian, walaupun pada masa-masa setelah generasi tersebut banyak orang yang mengerti tentang ilmu perbintangan. Bahkan yang dipahami dari dhohir (konteks) hadits tersebut adalah menafikan sama sekali penyandaran hukum (penetapan awal puasa dan lainnya) kepada hisab. Yang lebih memperjelas hal itu adalah perkataan Rosululloh ﷺ dalam hadits yang lalu (hadits Ibnu Umar dalam Shohih Bukhori:1906): ”Apabila kalian terhalangi oleh awan (dari melihat hilal) maka perkirakanlah,” beliau tidak mengatakan: Bertanyalah kalian kepada ahli perbintangan. –sampai pada ucapan beliau:-
Sebagian orang berpendapat bolehnya merujuk kepada pendapat ahli perbintangan dalam permasalahan tersebut, di antaranya adalah Rofidhoh, dan dinukil dari sebagian ahli fikih pendapat yang sama dengan itu. Al-Baji berkata: Ijma’ salafus sholih (tentang tidak bolehnya merujuk kepada ahli perbintangan) adalah hujjah yang membantah pendapat mereka.” Demikian perkataan Al-hafidh rohimahulloh.
Shiddiq Hasan Khon -rohimahulloh- dalam kitab Roudhotun Nadiyyah (1/224) berkata (perkataan ini beliau nisbatkan kepada As-Shon’ani): “Penentuan waktu baik hari ataupun bulan dengan dengan perhitungan hisab terhadap tempat-tempat beredarnya bulan hukumnya adalah bid’ah menurut kesepakatan ummat.”
Lajnah Daimah ketika ditanya tentang masalah ini (fatwa no.386) menjawab: “Merujuk kepada ilmu perbintangan dalam menetapkan awal bulan-bulan qomariyah dan kaitannya dengan ibadah-ibadah disertai dengan mengesampingkan ru’yah adalah suatu bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan tidak ada dasarnya dalam syariat.”
Demikian, kami memohon kepada Alloh semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, khususnya bagi siapa saja yang mencari kebenaran dengan dalilnya. Wabillahittaufiq.
Maroji’:
Ithaful Anam Bi Ahkam wa Masail Ash-Shiyam, karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani cet. Maktabah Al-Falah edisi kedua.
Fathul Bari Syarh Shohihul Bukhori, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar, cet. Darul Hadits, edisi pertama.
Subulus salam Syarh Bulughul Marom, karya Ash-Shon’ani, cet. Maktabah Al-Ma’arif, edisi pertama.
Ihkamul Ahkam syarh ‘Umdatil Ahkam, karya Ibnu Daqiq Al-Ied, cet. Maktabatus Sunnah Al-Muhammadiyyah.
Ar-Roudhotun Nadiyyah, karya Shiddiq Hasan Khon Al-Qonnuji, cet. Darul Ma’rifah.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, kumpulan pertama.
PENENTUAN AWAL BULAN
DENGAN HISAB ADALAH BID’AH
Ditulis oleh:
Ahmad Rifai bin Mas’ud Al-Indunisi
-semoga Alloh menjaganya-
Darul Hadits Dammaj
2 Romadhon 1433 H
Dalam menentukan masuknya awal bulan Hijriyah biasanya dipergunakan dua cara: ru’yah dan hisab. Ru’yah (baca: rukyat atau rukyah) adalah menentukan awal bulan dengan melihat terbitnya hilal (bulan sabit baru) bersamaan dengan tenggelamnya matahari di ufuq barat, sedangkan hisab adalah menentukan awal bulan dengan menghitung derajat pergeseran manazil (tempat-tempat) bulan.
Yang kami perhatikan selama di tanah air, selalu saja penentuan tanggal 1 (satu) Romadhon dan Syawwal menjadi problem tahunan yang tak bisa dihindari dan tidak bisa untuk disatukan menjadi satu pendapat. Salah satu ormas besar (sebut Muhammadiyah) berpendapat bahwa penentuan awal bulan hanya dengan hisab bukan dengan ru’yah, sebaliknya ormas yang lain berpendapat hanya dengan ru’yah bukan dengan hisab. Dan penulis sendiri pernah meyakini pendapat yang pertama karena doktrin yang sedemikian rupa dari sebagian pengurus Muhammadiyah.
Adapun yang benar dalam masalah ini adalah bahwa penentuan masuknya awal bulan Hijriyah hanya dengan ru’yah, sementara penggunaan hisab dalam hal ini hukumnya bid’ah, menyelisihi syariat Rosululloh ﷺ.
Alloh ta’ala berfirman:
﴿قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ الله فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ الله وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَالله غَفُورٌ رَحِيمٌ﴾ [آل عمران/31].
“Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian. Dan Alloh itu Ghofur (Maha Pengampun) dan Rohim (Maha Menyayangi para hamba).” (QS. Ali Imron: 31).
Syaikhul Islam -rohimahulloh- berkata: “Dan hanyalah kesempurnaan rasa cinta pada beliau (Rosululloh ﷺ) dan pengagungannya itu ada pada mutaba’ah (mengikutinya), taat dan mengikuti perintahnya, menghidupkan sunnah-sunnahnya yang lahiriyyah dan bathiniyyah, menyebarkan syariat yang beliau diutus dengannya, menegakkan jihad untuknya dengan hati, tangan dan lisan. Maka inilah jalan para As Sabiqunal Awwalun dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan yang mengikuti mereka dengan baik.” (Iqtidhoush Shirothol Mustaqim /2/hal. 124/Maktabatur Rusyd).
Al Imam Ibnu Katsir -rohimahulloh- berkata: “Ayat yang mulia ini merupakan hakim bagi setiap orang yang mengaku cinta pada Alloh, tapi dia tidak berada di atas jalan Muhammad ﷺ, karena dia itu sungguh pada hakikatnya telah berdusta di dalam pengakuannya, sampai dia itu mau mengikuti syariat Muhammad ﷺ dan agama Nabi di dalam seluruh ucapan dan keadaannya, sebagaimana telah tetap di dalam “Ash Shohih” dari Rosululloh ﷺ yang bersabda:
«مَنْ عَمِلَ عَمَلا لَيْسَ عليه أمْرُنَا فَهُوَ رَدُّ»
“Barangsiapa mengerjakan suatu amalan yang bukan dari urusan agama kami maka amalannya itu tertolak.”
Oleh karena itulah Alloh berfirman: (yang artinya:) “Katakanlah: Jika kalian mencintai Alloh, maka ikutilah aku, niscaya Alloh akan mencintai kalian” Yaitu kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi apa yang kalian cari, yaitu diakuinya cinta kalian pada-Nya. Yang akan kalian dapatkan adalah Alloh cinta pada kalian, dan itu lebih agung daripada yang pertama. sebagaimana sebagian orang bijak berkata: “Bukanlah yang penting itu kalian mencintai, tapi yang penting adalah kalian dicintai.” (Tafsirul Qur’anil ‘Azhim/1/hal. 494-495/cet. Darus Shiddiq).
Rosululloh ﷺ dalam banyak hadits mengaitkan kewajiban puasa dengan ru’yah, di antaranya hadits ibnu Umar di Shohihain, Rosululloh ﷺ berkata:
«صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا الْعَدَدَ» وفي رواية: «لَا تَصُومُوا حَتَّى تَرَوُا الْهِلَالَ، وَلَا تُفْطِرُوا حَتَّى تَرَوْه.
“Berpuasalah kalian apabila melihatnya (hilal Romadhon) dan berhentilah dari puasa apabila kalian melihatnya (hilal Syawwal). Dan apabila kalian terhalangi oleh awan maka genapkanlah bilangan bulan.” Dan dalam riwayat yang lain: “Janganlah kalian berpuasa kecuali apabila kalian melihat hilal dan jangan berhenti berpuasa sampai kalian melihatnya.” (HR Bukhori:1909 dan Muslim:1081)
Juga hadits Abu Huroiroh semakna dengannya, diriwayatkan oleh Bukhori (1900) dan Muslim (1080).
Dan dalam hadits Aisyah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dengan sanad yang shohih bahwa Rosululloh ﷺ berhati-hati dalam bulan Sya’ban tidak sebagaimana pada bulan-bulan yang lain. Kemudian beliau berpuasa bila melihat hilal bulan Romadhon dan bila terhalang oleh awan beliau menggenapkan Sya’ban menjadi tiga puluh hari, lalu berpuasa.
Ibnu Daqiq Al-’Ied -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarhul ‘Umdah (2/206): “Aku berpendapat bahwa hisab tidak boleh untuk dijadikan pedoman dalam menentukan kapan puasa (Romadhon), karena padanya terdapat penyerupaan bulan dengan matahari, sesuai dengan ilmu perbintangan (astronomi). Dengan hisab itu mereka terkadang memajukan awal bulan satu atau dua hari sebelum ru’yahnya. Apabila hisab dijadikan sebagai pedoman maka artinya kita telah mengada-adakan di dalam syariat Islam ini sesuatu yang tidak diizinkan oleh Alloh.”
Ibnu Baththol -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Subulus Salam (2/423): “Di dalam hadits tersebut (hadits Ibnu Umar ) terdapat bantahan terhadap orang yang menentukan awal bulan dengan ilmu perbintangan, sedangkan yang terpandang dalam menentukan awal bulan adalah dengan melihat hilal, dan kita telah dilarang dari takalluf (membebani diri).”
Ibnu Bazizah -rohimahulloh- berkata sebagaimana dinukil dalam kitab Subulus Salam (2/423): “Itu (penggunaan hisab) adalah madzhab yang batil, sedangkan syariat telah melarang dari berlebih-lebihan dalam ilmu nujum (perbintangan/astronomi), karena ilmu tersebut hanya berdasarkan atas perkiraan dan tidak mungkin untuk mendapatkan kepastian dengannya.”
Imam Ash-Shon’ani menguatkan perkataan tersebut seraya berkata: “Dan jawaban yang paling tepat dan gamblang bagi mereka (ahli hisab) adalah hadits yang disebutkan oleh imam Bukhori dalam shohihnya (1913) dari Abdulloh bin Umar -rodhiyallohu ‘anhuma- bahwa Rosululloh ﷺ berkata:
«إِنَّا أُمَّةٌ أُمِّيَّةٌ، لَا نَكْتُبُ وَلَا نَحْسُبُ، الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» وَعَقَدَ الْإِبْهَامَ فِي الثَّالِثَةِ «وَالشَّهْرُ هَكَذَا، وَهَكَذَا، وَهَكَذَا» يَعْنِي تَمَامَ ثَلَاثِينَ
“Kita adalah ummat yang ummi, tidak menulis tidak pula menghitung, bulan itu kadang seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” -beliau (mengisyaratkan dengan sepuluh jarinya tiga kali dan) melipat satu jarinya pada kali ketiga-, dan kadang bulan itu seperti ini dan seperti ini dan seperti ini,” maksud beliau adalah genap tiga puluh hari.”
Syaikhuna Muhammad bin Hizam -hafidzohulloh- berkata: “Hadits tersebut juga disebutkan oleh imam Muslim:(1080)(15).”
Al-Hafidz Ibnu Hajar -rohimahulloh- berkata dalam kitab Syarh Shohih Al-Bukhori hadits no.1913: “Yang dimaksud dengan hisab di sini adalah menghitung pergeseran bintang-bintang, sedangkan pada masa itu tidak ada yang mengerti tentang itu kecuali segelintir orang. Maka disandarkanlah penetapan puasa dan lainnya kepada ru’yah sehingga mereka tidak susah payah menanggung repotnya menghitung pergeseran bintang. Hukum tersebut terus berlaku demikian, walaupun pada masa-masa setelah generasi tersebut banyak orang yang mengerti tentang ilmu perbintangan. Bahkan yang dipahami dari dhohir (konteks) hadits tersebut adalah menafikan sama sekali penyandaran hukum (penetapan awal puasa dan lainnya) kepada hisab. Yang lebih memperjelas hal itu adalah perkataan Rosululloh ﷺ dalam hadits yang lalu (hadits Ibnu Umar dalam Shohih Bukhori:1906): ”Apabila kalian terhalangi oleh awan (dari melihat hilal) maka perkirakanlah,” beliau tidak mengatakan: Bertanyalah kalian kepada ahli perbintangan. –sampai pada ucapan beliau:-
Sebagian orang berpendapat bolehnya merujuk kepada pendapat ahli perbintangan dalam permasalahan tersebut, di antaranya adalah Rofidhoh, dan dinukil dari sebagian ahli fikih pendapat yang sama dengan itu. Al-Baji berkata: Ijma’ salafus sholih (tentang tidak bolehnya merujuk kepada ahli perbintangan) adalah hujjah yang membantah pendapat mereka.” Demikian perkataan Al-hafidh rohimahulloh.
Shiddiq Hasan Khon -rohimahulloh- dalam kitab Roudhotun Nadiyyah (1/224) berkata (perkataan ini beliau nisbatkan kepada As-Shon’ani): “Penentuan waktu baik hari ataupun bulan dengan dengan perhitungan hisab terhadap tempat-tempat beredarnya bulan hukumnya adalah bid’ah menurut kesepakatan ummat.”
Lajnah Daimah ketika ditanya tentang masalah ini (fatwa no.386) menjawab: “Merujuk kepada ilmu perbintangan dalam menetapkan awal bulan-bulan qomariyah dan kaitannya dengan ibadah-ibadah disertai dengan mengesampingkan ru’yah adalah suatu bid’ah yang tidak ada kebaikan padanya dan tidak ada dasarnya dalam syariat.”
Demikian, kami memohon kepada Alloh semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin, khususnya bagi siapa saja yang mencari kebenaran dengan dalilnya. Wabillahittaufiq.
Maroji’:
Ithaful Anam Bi Ahkam wa Masail Ash-Shiyam, karya Syaikh Muhammad bin Hizam Al-Ba’dani cet. Maktabah Al-Falah edisi kedua.
Fathul Bari Syarh Shohihul Bukhori, karya Al-Hafidz Ibnu Hajar, cet. Darul Hadits, edisi pertama.
Subulus salam Syarh Bulughul Marom, karya Ash-Shon’ani, cet. Maktabah Al-Ma’arif, edisi pertama.
Ihkamul Ahkam syarh ‘Umdatil Ahkam, karya Ibnu Daqiq Al-Ied, cet. Maktabatus Sunnah Al-Muhammadiyyah.
Ar-Roudhotun Nadiyyah, karya Shiddiq Hasan Khon Al-Qonnuji, cet. Darul Ma’rifah.
Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah, kumpulan pertama.