بسم الله الرحمن الرحيم
Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits Huzaifah Ibnul Yaman, beliau –Radhiyallahu’anhu- berkata:
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ». قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ». قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ». قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ أَدْرَكَنِى ذَلِكَ قَالَ «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ». “Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, dan aku ketika itu bertanya kepadanya tentang kejelekan (karena) takut akan menimpaku. Maka aku katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu di zaman jahiliyyah (penuh) kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan”. Beliau berkata: “Iya”. Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Iya, dan padanya dakhan (kekaburan)”. Aku berkata: “Apa itu dakhan? Beliau berkata: “Suatu kaum yang mereka berpetunjuk dengan yang bukan petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu mengingkari”. Aku berkata: Apakah setalah itu ada kebaikan dari kejelakan? Beliau berkata: “Iya, ada da’i-da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam, barangsiapa memenuhi seruan itu maka akan terjerumus ke dalamnya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah sifatkanlah kepada kamu! Beliau berkata: “Mereka dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapatinya yang demikian itu? Beliau berkata: “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku berkata: “Bagaimana kalau tidak ada pada mereka jama’ah dan tidak pula ada imam? Beliau berkata: “Tinggalkan firqah (kelompok-kelompok) semuanya walaupun kamu menggigit akar kayu sampai kematian menjemputmu dan kamu dalam keadaan demikian itu”. Pada hadits tersebut sangatlah jelas bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman menyebutkan bahwa mereka dahulunya berada di atas kejelekan, dan bahkan yang lebih jelas lagi yang berkaitan dengan masalah ini adalah apa yang diceritakan oleh Ja’far bin Abdilmuthalib kepada Raja Najasyi, beliau Radhiyallahu’anhu berkata: أيها الملك كنا قوما أهل جاهلية نعبد الأصنام و نأكل الميتة و نأتي الفواحش و نقطع الأرحام و نسيء الجوار و يأكل القوي منا الضعيف فكنا على ذلك حتى بعث الله إلينا رسولا منا نعرف نسبه و صدقه و أمانته و عفافه فدعانا إلى الله لتوحيده و لنعبده و نخلع ما كنا نعبد نحن و آباؤنا من دونه من الحجارة و الأوثان و أمرنا بصدق الحديث و أداء الأمانة و صلة الرحم و حسن الجوار و الكف عن المحارم و الدماء و نهانا عن الفواحش و قول الزور و أكل مال اليتيم و قذف المحصنة و أن نعبد الله لا نشرك به شيئا و أمرنا بالصلاة و الزكاة و الصيام “Wahai Raja! Kami dulu adalah kaum ahli jahiliyyah, kami menyembah patung, memakan mayat, melakukan perbuatan keji, memutus silaturrahmi, jelek dalam bertetangga, yang kuat dari kami memakan yang lemah, kami dalam keadaan demikian itu sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kamu, kami mengenal nasab, kejujuran, amanah dan kewibawaannya, beliau menyeru kami kepada Allah, untuk mentauhidkan-Nya, beribadah kepada-Nya dan melepaskan apa-apa yang kami dan nenek moyang kami dulu beribadah kepada selain-Nya, baik dulu kami beribadah kepada batu-batu, patung-patung. Dan beliau memerintahkan kami untuk jujur dalam berkata, menunaikan amanah, silaturrahmi, berbaik dengan tetangga, berhenti dari perkara yang haram, menumpahkan darah. Beliau melarang kami dari perbuatan keji, perkataan dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita mu’minah berzina dan memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah, tidak menyekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, memerintahkan kami untuk menegakan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa”. [HR. Ibnu Khuzaimah dari Ummu Salamah Radhiyallahu’anha). Dengan dalil-dalil tersebut maka semakin jelaslah bagi kami tentang kebaikan dan kejelekan, adapun tentang kebaikan maka semoga Allah Ta’ala menguatkan dan mengokohkan kami untuk senantiasa melakukannya dan adapun tentang kejelekan semoga Allah Ta’ala menolong kami untuk menjauhinya. Berkata seorang penyair: عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek akan tetapi untuk menjauhinya Dan siapa yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan maka akan terjatuh ke dalamnya. Maka pada kesempatan ini kami sengaja menyebutkan sedikit malasah biografi kami, yang berkaitan dengan kebaikan tentang kami maka kami syukuri dan terus kami jalankan dan bila ada kejelekan yang pernah kami menjumpainya maka kami jadikan itu sebagai pelajaran dan peringatan sehingga –dengan izin Allah- kami tidak sampai terjatuh ke dalamnya. Adapun tentang masalah seseorang mengisahkan dirinya sendiri sesuai dengan keadaan yang sebenarnya adalah termasuk dari perkara yang boleh dan bahkan teranggap sebagai penghibur, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Salman Al-Farisy, beliau Radhiyallahu’anhu mengisahkan perjalanan hidup yang pernah beliau lalui, kisah yang manis dan pahit yang beliau alami beliau kisahkan [kisah Salman Al-Farisy ini telah ada tulisan kami tentangnya yang berjudul “Kisah Salman Al-Farisy, Pelajaran dari Murid yang Bijak Terhadap Guru yang Tidak Beradab”]. Kami dulunya adalah termasuk dari kalangan orang awam, kami dilahirkan di desa Limaboro, kecamatan Seram Barat, kabupaten Seram Bagian Barat-Maluku, sesuai dengan yang tertulis di dalam akte kelahiran bahwa kami lahir pada 25 Januari 1985. Sedangkan asal usul nenek moyang kami adalah dari suku Buton yang berada di Sulawesi. Penisbatan kami dengan Al-Mulki adalah suatu penisbatan kepada nenek moyang kami yang berasal dari keturunan para pembesar (semisal raja) atau yang disebut dengan “Parabela” di Holimombo yang sekarang berada di sekitar kawasan Pasarwajo-Buton. Ketika kami masih di SMU Muhammadiyyah Limboro ketika liburan bulan suci Ramadhan kami menyempatkan untuk menziarahi tanah leluhur tersebut. Ketika itu kami masih awam, kami menyaksikan banyak sekali bentuk peribadahan yang kami menganggapnya ketika itu bagus dan benar. Sekembalinya kami dari tanah leluhur tersebut kami mendapati di dekat kampung kami sebuah kegiatan berupa pendidikan agama Islam dalam menyongsong bulan suci Ramadhan yang ketika itu dinamakan dengan pesantren kilat, maka ketika itu kami ikut menghadiri pesantren tersebut, dipesantren tersebut kami mendapati pelajaran yang berkaitan dengan masalah adat istiadat yang menyelisihi syariat Islam, pemateri ketika itu adalah lulusan dari Pondok Pesantren Gontor di Jawa, pemateri menjelaskan tentang masalah keramat, jimat, hukum perdukunan, tahlilan dan berbagai macam khurafat, karena kami baru diperkenalkan masalah tersebut maka kami tidak terlalu memahami, lagi pula apa yang dijelaskan tersebut sangat bertolak belakang dengan adat istiadat kami. Setelah selesai dari mengikuti pesantren kilat kami kembali di kampung kami dan masuk sekolah sebagaimana biasanya, dan kami menyempatkan membuka tempat belajar baca Al-Qur’an di rumah kami dan Al-Hamdulillah anak-anak di kampung kami sangat memberi respon hingga kami menampung anak-anak yang belajar baca Al-Qur’an bersama kami sekitar 60 orang atau lebih, ketika kakak kami pulang dari Ambon ke kampung kami yang beliau telah mengenal da’wah Ahlussunnah wal Jama’ah beliau membawakan kepada kami buku terjemahan “Hisnul Muslim”, kami sangat bergembira dengan adanya buku tersebut, kami akhirnya memperbaiki dzikir dan do’a-do’a kami, karena sebelumnya kami hanya bermodal menghafal dzikir dan do’a-do’a dari buku yang berjudul “Kunci Ibadah” yang tidak jelas sumber dzikir dan do’a-do’anya dari mana diambil, adapun buku terjemahan “Hisnul Muslim” kami respon karena jelas disebutkan rujukan-rujukannya sebagaimana pada footnote (catatan kaki)nya. Dengan kedatangan kakak kami tersebut kami mendapatkan banyak kebaikan, diantaranya kami diberi buku-buku terjemahan yang berkaitan dengan aqidah ahlussunnah, fiqih dan permasalahan agama yang sangat ilmiah, dengan sebab tersebut kami mulai memahami tauhid dan lawannya (syirik), sunnah dan lawannya (bid’ah), maka dengan kebaikan tersebut kami sangat bersyukur dan pantas kalau kami katakan “Inilah yang memisahkan antaraku dengan kesyirikan dan bid’ah”. Setelah kami menyelesaikan sekolah di SMU Muhammadiyyah Limboro pada tahun 2006 kami ke Ambon untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di Politeknik Kesehatan Ambon dan ketika itu kami memilih jurusan Teknik Elektromedik yang tempat kuliahnya di Surabaya. Ketika sudah selesai seleksi dan kami sudah menjadi calon mahasiswa baru di Politeknik Kesehatan Surabaya maka kami bergegas berangkat ke Surabaya dengan menumpang kapal laut, bila seseorang yang sudah pernah membaca atau menghafal surat Al-Kahfi maka ketika dia di atas kapal melewati kapal-kapal kecil yang para pemiliknya menggunakannya untuk bekerja di laut (mencari ikan atau membawa muatan dan penumpang) maka tentu dia akan teringat dengan perkataan Nabi Khidhir kepada kawannya (Musa) ‘Alaihimassalam: أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا. “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. Sesampainya kami di Surabaya kami langsung menuju kampus yang kami tuju, di tengah perjalanan kami terheran-heran ketika mendengar orang-orang yang bernyanyi-nyanyi di masjid [atau dalam istilah NU (nahdatul ulama): Puji-pujian], kami berkata kepada kawan kami: Kami mengira Islam di Jawa ini lebih baik daripada di Maluku, karena banyak da’i-da’i yang berasal dari Jawa namun kenyataannya seperti ini?!. Setelah kami menjadi mahasiswa baru, kami diangkat sebagai wakil dari SKI (seksi kerohanian Islam) di kampus. Di sela-sela kesibukan kuliah kami mewakili kerohanian Islam kampus mengikuti seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan masalah dan pendidikan agama Islam, dengan itu kemudian SKI (seksi kerohanian Islam) di kampus kami ikut termasuk sebagai anggota LDK (lembaga da’wah kampus) se-Jawa Timur. Dengan menjadi anggota LDK tersebut kami mulai memahami tentang beberapa kelompok dalam Islam seperti IM (Ikhwanul Muslimin), HT (Hizbuttahrir), LDII (lembaga da’wah Islam Indonesia), dan kelompok-kelompok lainnya. Apabila kami sudah menyelesaikan tugas kuliah ada sedikit kelonggaran waktu maka kami menyempatkan mengunjungi toko-toko buku untuk mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan Islam, teringat ketika kami di Maluku menyaksikan banyak dari JT (Jama’ah Tabligh) memakai celana di atas mata kaki dan mereka memelihara jenggot, begitu pula kami menyaksikan gerombolan LJ (laskar jihad) memiliki cirri khas seperti JT: berjenggot, berjubah, celana di atas mata kaki dan memakai imamah, yang wanitanya berpakaian hitam plus cadar), karena ingin tahu tentang adanya ilmu tentang permasalahan itu maka kami mendatangi toko-toko buku, sesampainya kami di sebuah di toko Manyar Jaya-Surabaya langsung kami melihat dua buku terjemah yang tebal ternyata judulnya adalah “Riyadhus Shalihin” dari situlah kami mengenal pertama kali kitab tersebut, maka kami langsung membeli dan membacanya, ketika kami membacanya kami mendapati hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang masalah hukum menurunkan celana di bawah mata kaki, maka dari situ kami langsung memotong celana kami sehingga celana kami tidak lagi melebihi mata kaki, dengan membaca kitab terjemahan tersebut kami terus mengingat sebuah hadits dalam kitab tersebut bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: (( مَا أسْفَل مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزْارِ فَفِي النار )). “Apa yang melebihi dari kedua mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka”. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Dengan hanya bermodal membaca buku-buku terjemahan kami merasa sangat tidak cukup maka kami terus berupaya untuk bisa mendalami agama, maka pada suatu hari kami pergi ke masjid Al-Falah Surabaya, sesampainya di halaman masjid kami melihat di papan pengumuman atau mading tentang penerimaan santri baru bahwa ma’had Ukhuwah Islamiyyah Sukolilo dan ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran membuka penerimaan santri baru, adapun dilembaran penerimaan santri baru ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran di lembarannya tertulis hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: وَمَنْ سَلَكَ طَريقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَريقاً إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa menempuh suatu jalan, dia mengharap dengannya ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan ke jannah”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abu Darda’). Dengan melihat selebaran yang berisikan hadits tersebut kami semakin termotivasi dan bertambah tekad untuk terus mendalami ilmu agama disamping kesibukan kuliah. Setelah kami mendapati selebaran tersebut, kami berjumpa dengan salah seorang kawan kami yang sama-sama aktiv dalam LDK, kami menanyakan lokasi ma’had dan bagaimana sehingga kami bisa sampai ke alamatnya? Maka dia menjelaskan rute untuk ke m’had Ukhuwah Islamiyyah Sukolilo dan menperingatkan kami untuk tidak ke ma’had Abu Bakar Ash-Shidiq Jojoran karena ma’had tersebut sangat ekstrim. Dengan penjelasan tersebut kami langsung mendatangi ma’had Ukhuwah Islamiyyah Sukolilo dan langsung mendaftar sebagai calon santri dan kami memilih program bahasa Arob. Beberapa pertemuan kemudian kami mengetahui bahwa ternyata para pengajar dan pengelolah ma’had tersebut adalah orang-orangnya PKS (Partai Keadilan Sejahtra), maka kami teringat dengan pesan ibu tercinta Aiyyah bintu Hadiyyinah Al-Khatib –semoga Allah merahmati keduanya- untuk tidak ikut partai atau jangan sampai terpengaruh dengan partai, karena partai itu berkaitan dengan politik yang ujung-ujung menghalalkan segala cara, diantaranya ambisi untuk meraih kekuasaan yang akibatnya mereka melakukan pemberontakan sebagaimana PKI (Partai Komunis Indonesia) demikian pesannya maka kamipun mengikuti pesan tersebut yaitu bergegas keluar dari ma’had tersebut, dengan pesan tersebut maka pantas bagi kami untuk katakan: “Inilah perpisahan antaraku dengan orang-orang partai politik”. Diantara pesan ibu –Rahimahallah-pula yang memberikan manfaat kepada kami ketika di Maluku untuk berhati-hati dengan LJ (laskar jihad) karena pergerakan mereka sama dengan pergerakan Gerombolan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Karena panggilan kebenaran dan upaya mendapatkan kebenaran maka kami mencoba mendatangi ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran, sekembalinya kami dari toko buku Manyar Jaya kami mengajak kawan kuliah untuk ke ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran seusai shalat maghrib, karena kami baru dari toko buku dan ketika itu kami baru membeli dua buah majalah Islam yang bernama “As-Sunnah” dan “Elfata” dan kami membawanya ke ma’had tersebut, kami sampai di masjid ma’had tersebut para jama’ah baru selesai melaksanakan shalat maghrib, kami meletakan dua majalah tersebut di teras masjid dan kami pergi mengambil air wudhu ternyata pengurus masjid sekaligus sebagai ketua santri yang bernama Mahmud (asal Krian Surabaya) mengambil dua buah majalah kami tersebut dan menyimpannya dengan alasan itu majalah sururi, seusai wudhu kami mencari majalah tersebut dan menanyakan kepadanya, dia akhirnya mengembalikannya kepada kami. Setelah kami masuk masjid tersebut maka kami mendapati ta’lim baru dimulai dengan pengajar salah seorang ustadznya yang bernama Zainul Arifin, dia mengajarkan kitab “Bulughul Maram”, malam berikutnya kami datang lagi bersama kawan kuliah yang lain dan ta’lim di masjid tersebut adalah kitab “Durusullughah” dengan pengajar ustadz yang lain, yang bernama Hariadi Lc., dan orang ini terlihat sangat pendiam dan tenang namun ternyata “diam-diam makan di dalam”, dia termasuk dari orang yang sangat ekstrim dan kaku dalam bersikap, akhir-akhir ini dia melarang mad’unya dari membaca dan mengajarkan kitab panduan/cara cepat baca Al-Qur’an yang berjudul “Iqra’ Qira’ati” dengan sebab karena penulisnya tidak bersama mereka dalam membela hizbiyyin. Selain kami mengikuti ta’lim rutin di masjid (ma’had) Abu Bakar Ash-Shiddiq kami mengikuti kajian rutin pula di kampus-kampus diantara kajian rutin di masjid ITS (Insitut Teknologi Surabaya), kajian rutin sepekan tiga kali di Mushalla Graha IPTEKDOK FK UNAIR Surabaya. Dengan mengikuti ta’lim-ta’lim tersebut kami mulai mengenal sedikit tentang manhaj dan aqidah ahlussunnah wal jama’ah namun pada sebagian permasalahan masih sangat rancu bagi kami terutama yang kaitannya dengan prilaku da’i-da’i yang berda’wah di kampus-kampus, keberadaan mereka membuat perkara yang haram menjadi samar di hadapan kami, sekedar contoh: Haramnya ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), namun da’i-da’i pemangsa harta minta-minta terus ikut aktiv mengisi kajian rutin di masjid-masjid kampus, padahal masuk ke lingkungan kampus harus menerobos hijab-hijab transparan artinya harus melewati para mahasiswi yang sebagian mereka duduk di emper-emper kampus dengan pasangan-pasangan maksiatnya (pacar-pacar), apalagi di Mushallah Graha IPTEKDOK si ustadz semisal Muhammad Irfan, Zainul Arifin, Muhammad Afifudin bin Husnunnuri As-Sidawi atau kakaknya (Agus Su’aidi bin Husnunnuri As-Sidawi) duduk mengisi ta’lim di depannya kurang lebih 10 (sepuluh) meter terdapat tempat tenis meja yang terkadang pemainnya para wanita, yang pintu Mushalla ke tempat tenis meja hanya kaca jadi sangat transparan, bila panita mengambil papan untuk menutupi pintu maka masih terdapat jendela-jendela di samping kanan dan kiri yang juga transparan, kalaupun Muhammad Afifudin bin Husnunnuri As-Sidawi atau kakaknya (Agus Su’aidi bin Husnunnuri As-Sidawi) mengatakan bahwa kalau mengajar mereka tidak melihat maka bagaimana ketika masuk dan keluar dari Mushalla apa yang dilihat? Gadis nasrani yang berselok jahiliyyah? Atau gadis gaul yang berpakaian serba mini?. Dengan perbuatan dua pentolan ini maka cukup bagi orang yang masih bodoh akan beranggapan bahwa datangnya mereka ke lokasi yang transparan maksiatnya itu sebagai bukti kalau mereka membikin kekeruhan dalam dunia da’wah salafiyyah yang suci. Jika kedua pentolan itu mengatakan pengurus Mushallah yang mengundang kami maka kamipun menurutinya! Jika demikian alasannya maka jelas kalau mereka adalah paling bodohnya manusia yang mengaku-ngaku sebagai da’i!. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيةِ الخَالِقِ “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Al-Khaliq”. (HR. Hakim dari hadits Imran bin Husain, Al-Khatib dari hadits Anas, Ath-Thabrani dari hadits Nawwas bin Sam’an, Ad-Dailami dari hadits Ibnu ‘Abbas, dan yang selain mereka). Dengan upaya untuk bisa terselamatkan dari prangkap kerancuan dan kesamaran akan kebenaran yang hakiki, di tengah-tengah kesibukan menjalani kuliah tidaklah sedikitpun mematahkan niat dan tekad kami untuk terus mencari kebenaran, mengingat kehadiran untuk mengikuti kuliah itu harus 85 % (delapan puluh lima persen) tidak boleh kurang darinya maka kesempatan bagi kami 15 % (lima belas persen)nya kami gunakan sebagai peluang bolos, tujuan kami untuk mendatangi ma’had-ma’had (pesantren-pesantren) atau kami mendatangi daurah-daurah, ketika kami sudah selesai melanjutkan kuliah dan telah menerima ijazah kami sudah benar-benar mengokohkan niat dan tekad kami untuk mendalami ilmu agama di ma’had-ma’had, karena sebelum kami menerima ijazah kami sudah mengikuti seleksi di sebuah RS di Surabaya maka ketika kami sudah persiapan untuk ke ma’had tiba-tiba panggilan dari RS tersebut datang dan adanya pengabaran kepada kami bahwasanya kami sudah diterima sebagai tenaga kerja, Al-Hamdulillah dengan hidayah dan pertolongan dari Allah ‘Azza wa Jalla kami lebih memilih untuk meneruskan niat dan tekad kami. Dengan melihat fitnah yang terjadi di RS, sekolah dan kampus-kampus berupa ikhtilat yang sangat mengerikan itu maka sebelum kami ke ma’had kami menyempatkan menulis sebuah tulisan yang berjudul “Ikhtilat Wabah yang Mengerikan”, tulisan tersebut begitu pula ketidak pedulinya kami dengan panggilan pihak RS itu sebagai bukti yang jelas kalau kami telah taubat dan berlepas diri dari ikhtilat, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Baqarah: إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka bagi mereka itulah Aku menerima taubatnya mereka dan Akulah At-Tawwab (Yang Maha menerima taubat) lagi Ar-rahiim (Yang Maha Penyayang)”.
MENCARI KETENANGAN DALAM MENIMBA ILMU
PESAN DAN KESAN
تعليق