• If this is your first visit, be sure to check out the FAQ by clicking the link above. You may have to register before you can post: click the register link above to proceed. To start viewing messages, select the forum that you want to visit from the selection below.

إعـــــــلان

تقليص
لا يوجد إعلان حتى الآن.

Kisahku ketika di indoneisia tanah airku

تقليص
X
 
  • تصفية - فلترة
  • الوقت
  • عرض
إلغاء تحديد الكل
مشاركات جديدة

  • Kisahku ketika di indoneisia tanah airku

    بسم الله الرحمن الرحيم
    الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا. والصلاة والسلام على سيد الأنبياء والمرسلين وعلى آله وصحبه ومن اتبع هداه إلى يوم الدين. أما بعد:
    Di dalam “Ash-Shahihain” dari hadits Huzaifah Ibnul Yaman, beliau –Radhiyallahu’anhu- berkata:
    كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْخَيْرِ، وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنِ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِى. فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِى جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ، فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ، فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ». قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ قَالَ «نَعَمْ، وَفِيهِ دَخَنٌ». قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ «قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِى تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ». قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ قَالَ «نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ، مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا». قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ «هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا، وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا» قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِى إِنْ أَدْرَكَنِى ذَلِكَ قَالَ «تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ». قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ قَالَ «فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا، وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ». “Dahulu orang-orang bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tentang kebaikan, dan aku ketika itu bertanya kepadanya tentang kejelekan (karena) takut akan menimpaku. Maka aku katakan: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kami dahulu di zaman jahiliyyah (penuh) kejelekan, kemudian Allah mendatangkan kepada kami kebaikan ini, maka apakah setelah kebaikan ini ada kejelekan”. Beliau berkata: “Iya”. Aku berkata: “Apakah setelah kejelekan itu ada kebaikan?” Beliau berkata: “Iya, dan padanya dakhan (kekaburan)”. Aku berkata: “Apa itu dakhan? Beliau berkata: “Suatu kaum yang mereka berpetunjuk dengan yang bukan petunjukku, kamu mengenal mereka dan kamu mengingkari”. Aku berkata: Apakah setalah itu ada kebaikan dari kejelakan? Beliau berkata: “Iya, ada da’i-da’i yang menyeru kepada pintu-pintu jahannam, barangsiapa memenuhi seruan itu maka akan terjerumus ke dalamnya”. Aku berkata: “Wahai Rasulullah sifatkanlah kepada kamu! Beliau berkata: “Mereka dari kalangan kita dan berbahasa dengan bahasa kita” Aku berkata: “Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku mendapatinya yang demikian itu? Beliau berkata: “Engkau komitmen dengan jama’ah kaum muslimin dan imam mereka”. Aku berkata: “Bagaimana kalau tidak ada pada mereka jama’ah dan tidak pula ada imam? Beliau berkata: “Tinggalkan firqah (kelompok-kelompok) semuanya walaupun kamu menggigit akar kayu sampai kematian menjemputmu dan kamu dalam keadaan demikian itu”. Pada hadits tersebut sangatlah jelas bahwa Hudzaifah Ibnul Yaman menyebutkan bahwa mereka dahulunya berada di atas kejelekan, dan bahkan yang lebih jelas lagi yang berkaitan dengan masalah ini adalah apa yang diceritakan oleh Ja’far bin Abdilmuthalib kepada Raja Najasyi, beliau Radhiyallahu’anhu berkata: أيها الملك كنا قوما أهل جاهلية نعبد الأصنام و نأكل الميتة و نأتي الفواحش و نقطع الأرحام و نسيء الجوار و يأكل القوي منا الضعيف فكنا على ذلك حتى بعث الله إلينا رسولا منا نعرف نسبه و صدقه و أمانته و عفافه فدعانا إلى الله لتوحيده و لنعبده و نخلع ما كنا نعبد نحن و آباؤنا من دونه من الحجارة و الأوثان و أمرنا بصدق الحديث و أداء الأمانة و صلة الرحم و حسن الجوار و الكف عن المحارم و الدماء و نهانا عن الفواحش و قول الزور و أكل مال اليتيم و قذف المحصنة و أن نعبد الله لا نشرك به شيئا و أمرنا بالصلاة و الزكاة و الصيام “Wahai Raja! Kami dulu adalah kaum ahli jahiliyyah, kami menyembah patung, memakan mayat, melakukan perbuatan keji, memutus silaturrahmi, jelek dalam bertetangga, yang kuat dari kami memakan yang lemah, kami dalam keadaan demikian itu sampai Allah mengutus kepada kami seorang Rasul dari kamu, kami mengenal nasab, kejujuran, amanah dan kewibawaannya, beliau menyeru kami kepada Allah, untuk mentauhidkan-Nya, beribadah kepada-Nya dan melepaskan apa-apa yang kami dan nenek moyang kami dulu beribadah kepada selain-Nya, baik dulu kami beribadah kepada batu-batu, patung-patung. Dan beliau memerintahkan kami untuk jujur dalam berkata, menunaikan amanah, silaturrahmi, berbaik dengan tetangga, berhenti dari perkara yang haram, menumpahkan darah. Beliau melarang kami dari perbuatan keji, perkataan dusta, memakan harta anak yatim, menuduh wanita mu’minah berzina dan memerintahkan kami untuk beribadah kepada Allah, tidak menyekutukan dengan-Nya sesuatu apapun, memerintahkan kami untuk menegakan shalat, menunaikan zakat dan berpuasa”. [HR. Ibnu Khuzaimah dari Ummu Salamah Radhiyallahu’anha). Dengan dalil-dalil tersebut maka semakin jelaslah bagi kami tentang kebaikan dan kejelekan, adapun tentang kebaikan maka semoga Allah Ta’ala menguatkan dan mengokohkan kami untuk senantiasa melakukannya dan adapun tentang kejelekan semoga Allah Ta’ala menolong kami untuk menjauhinya. Berkata seorang penyair: عرفت الشر لا للشر لكن لتوقيه ومن لم يعرف الشر من الخير يقع فيه Aku mengetahui kejelekan bukan untuk berbuat jelek akan tetapi untuk menjauhinya Dan siapa yang tidak mengetahui kejelekan dari kebaikan maka akan terjatuh ke dalamnya. Maka pada kesempatan ini kami sengaja menyebutkan sedikit malasah biografi kami, yang berkaitan dengan kebaikan tentang kami maka kami syukuri dan terus kami jalankan dan bila ada kejelekan yang pernah kami menjumpainya maka kami jadikan itu sebagai pelajaran dan peringatan sehingga –dengan izin Allah- kami tidak sampai terjatuh ke dalamnya. Adapun tentang masalah seseorang mengisahkan dirinya sendiri sesuai dengan keadaan yang sebenarnya adalah termasuk dari perkara yang boleh dan bahkan teranggap sebagai penghibur, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Salman Al-Farisy, beliau Radhiyallahu’anhu mengisahkan perjalanan hidup yang pernah beliau lalui, kisah yang manis dan pahit yang beliau alami beliau kisahkan [kisah Salman Al-Farisy ini telah ada tulisan kami tentangnya yang berjudul “Kisah Salman Al-Farisy, Pelajaran dari Murid yang Bijak Terhadap Guru yang Tidak Beradab”]. Kami dulunya adalah termasuk dari kalangan orang awam, kami dilahirkan di desa Limaboro, kecamatan Seram Barat, kabupaten Seram Bagian Barat-Maluku, sesuai dengan yang tertulis di dalam akte kelahiran bahwa kami lahir pada 25 Januari 1985. Sedangkan asal usul nenek moyang kami adalah dari suku Buton yang berada di Sulawesi. Penisbatan kami dengan Al-Mulki adalah suatu penisbatan kepada nenek moyang kami yang berasal dari keturunan para pembesar (semisal raja) atau yang disebut dengan “Parabela” di Holimombo yang sekarang berada di sekitar kawasan Pasarwajo-Buton. Ketika kami masih di SMU Muhammadiyyah Limboro ketika liburan bulan suci Ramadhan kami menyempatkan untuk menziarahi tanah leluhur tersebut. Ketika itu kami masih awam, kami menyaksikan banyak sekali bentuk peribadahan yang kami menganggapnya ketika itu bagus dan benar. Sekembalinya kami dari tanah leluhur tersebut kami mendapati di dekat kampung kami sebuah kegiatan berupa pendidikan agama Islam dalam menyongsong bulan suci Ramadhan yang ketika itu dinamakan dengan pesantren kilat, maka ketika itu kami ikut menghadiri pesantren tersebut, dipesantren tersebut kami mendapati pelajaran yang berkaitan dengan masalah adat istiadat yang menyelisihi syariat Islam, pemateri ketika itu adalah lulusan dari Pondok Pesantren Gontor di Jawa, pemateri menjelaskan tentang masalah keramat, jimat, hukum perdukunan, tahlilan dan berbagai macam khurafat, karena kami baru diperkenalkan masalah tersebut maka kami tidak terlalu memahami, lagi pula apa yang dijelaskan tersebut sangat bertolak belakang dengan adat istiadat kami. Setelah selesai dari mengikuti pesantren kilat kami kembali di kampung kami dan masuk sekolah sebagaimana biasanya, dan kami menyempatkan membuka tempat belajar baca Al-Qur’an di rumah kami dan Al-Hamdulillah anak-anak di kampung kami sangat memberi respon hingga kami menampung anak-anak yang belajar baca Al-Qur’an bersama kami sekitar 60 orang atau lebih, ketika kakak kami pulang dari Ambon ke kampung kami yang beliau telah mengenal da’wah Ahlussunnah wal Jama’ah beliau membawakan kepada kami buku terjemahan “Hisnul Muslim”, kami sangat bergembira dengan adanya buku tersebut, kami akhirnya memperbaiki dzikir dan do’a-do’a kami, karena sebelumnya kami hanya bermodal menghafal dzikir dan do’a-do’a dari buku yang berjudul “Kunci Ibadah” yang tidak jelas sumber dzikir dan do’a-do’anya dari mana diambil, adapun buku terjemahan “Hisnul Muslim” kami respon karena jelas disebutkan rujukan-rujukannya sebagaimana pada footnote (catatan kaki)nya. Dengan kedatangan kakak kami tersebut kami mendapatkan banyak kebaikan, diantaranya kami diberi buku-buku terjemahan yang berkaitan dengan aqidah ahlussunnah, fiqih dan permasalahan agama yang sangat ilmiah, dengan sebab tersebut kami mulai memahami tauhid dan lawannya (syirik), sunnah dan lawannya (bid’ah), maka dengan kebaikan tersebut kami sangat bersyukur dan pantas kalau kami katakan “Inilah yang memisahkan antaraku dengan kesyirikan dan bid’ah”. Setelah kami menyelesaikan sekolah di SMU Muhammadiyyah Limboro pada tahun 2006 kami ke Ambon untuk mengikuti seleksi penerimaan mahasiswa baru di Politeknik Kesehatan Ambon dan ketika itu kami memilih jurusan Teknik Elektromedik yang tempat kuliahnya di Surabaya. Ketika sudah selesai seleksi dan kami sudah menjadi calon mahasiswa baru di Politeknik Kesehatan Surabaya maka kami bergegas berangkat ke Surabaya dengan menumpang kapal laut, bila seseorang yang sudah pernah membaca atau menghafal surat Al-Kahfi maka ketika dia di atas kapal melewati kapal-kapal kecil yang para pemiliknya menggunakannya untuk bekerja di laut (mencari ikan atau membawa muatan dan penumpang) maka tentu dia akan teringat dengan perkataan Nabi Khidhir kepada kawannya (Musa) ‘Alaihimassalam: أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا. “Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera”. Sesampainya kami di Surabaya kami langsung menuju kampus yang kami tuju, di tengah perjalanan kami terheran-heran ketika mendengar orang-orang yang bernyanyi-nyanyi di masjid [atau dalam istilah NU (nahdatul ulama): Puji-pujian], kami berkata kepada kawan kami: Kami mengira Islam di Jawa ini lebih baik daripada di Maluku, karena banyak da’i-da’i yang berasal dari Jawa namun kenyataannya seperti ini?!. Setelah kami menjadi mahasiswa baru, kami diangkat sebagai wakil dari SKI (seksi kerohanian Islam) di kampus. Di sela-sela kesibukan kuliah kami mewakili kerohanian Islam kampus mengikuti seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan yang berkaitan dengan masalah dan pendidikan agama Islam, dengan itu kemudian SKI (seksi kerohanian Islam) di kampus kami ikut termasuk sebagai anggota LDK (lembaga da’wah kampus) se-Jawa Timur. Dengan menjadi anggota LDK tersebut kami mulai memahami tentang beberapa kelompok dalam Islam seperti IM (Ikhwanul Muslimin), HT (Hizbuttahrir), LDII (lembaga da’wah Islam Indonesia), dan kelompok-kelompok lainnya. Apabila kami sudah menyelesaikan tugas kuliah ada sedikit kelonggaran waktu maka kami menyempatkan mengunjungi toko-toko buku untuk mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan Islam, teringat ketika kami di Maluku menyaksikan banyak dari JT (Jama’ah Tabligh) memakai celana di atas mata kaki dan mereka memelihara jenggot, begitu pula kami menyaksikan gerombolan LJ (laskar jihad) memiliki cirri khas seperti JT: berjenggot, berjubah, celana di atas mata kaki dan memakai imamah, yang wanitanya berpakaian hitam plus cadar), karena ingin tahu tentang adanya ilmu tentang permasalahan itu maka kami mendatangi toko-toko buku, sesampainya kami di sebuah di toko Manyar Jaya-Surabaya langsung kami melihat dua buku terjemah yang tebal ternyata judulnya adalah “Riyadhus Shalihin” dari situlah kami mengenal pertama kali kitab tersebut, maka kami langsung membeli dan membacanya, ketika kami membacanya kami mendapati hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tentang masalah hukum menurunkan celana di bawah mata kaki, maka dari situ kami langsung memotong celana kami sehingga celana kami tidak lagi melebihi mata kaki, dengan membaca kitab terjemahan tersebut kami terus mengingat sebuah hadits dalam kitab tersebut bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: (( مَا أسْفَل مِنَ الكَعْبَيْنِ مِنَ الإزْارِ فَفِي النار )). Apa yang melebihi dari kedua mata kaki dari sarung maka tempatnya di neraka”. (HR. Al-Bukhari dari Abu Hurairah). Dengan hanya bermodal membaca buku-buku terjemahan kami merasa sangat tidak cukup maka kami terus berupaya untuk bisa mendalami agama, maka pada suatu hari kami pergi ke masjid Al-Falah Surabaya, sesampainya di halaman masjid kami melihat di papan pengumuman atau mading tentang penerimaan santri baru bahwa ma’had Ukhuwah Islamiyyah Sukolilo dan ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran membuka penerimaan santri baru, adapun dilembaran penerimaan santri baru ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran di lembarannya tertulis hadits Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam: وَمَنْ سَلَكَ طَريقاً يَلْتَمِسُ فِيهِ عِلْماً سَهَّلَ اللهُ لَهُ طَريقاً إِلَى الجَنَّةِ “Barangsiapa menempuh suatu jalan, dia mengharap dengannya ilmu maka Allah memudahkan baginya jalan ke jannah”. (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dari Abu Darda’). Dengan melihat selebaran yang berisikan hadits tersebut kami semakin termotivasi dan bertambah tekad untuk terus mendalami ilmu agama disamping kesibukan kuliah. Setelah kami mendapati selebaran tersebut, kami berjumpa dengan salah seorang kawan kami yang sama-sama aktiv dalam LDK, kami menanyakan lokasi ma’had dan bagaimana sehingga kami bisa sampai ke alamatnya? Maka dia menjelaskan rute untuk ke m’had Ukhuwah Islamiyyah Sukolilo dan menperingatkan kami untuk tidak ke ma’had Abu Bakar Ash-Shidiq Jojoran karena ma’had tersebut sangat ekstrim. Dengan penjelasan tersebut kami langsung mendatangi ma’had Ukhuwah Islamiyyah Sukolilo dan langsung mendaftar sebagai calon santri dan kami memilih program bahasa Arob. Beberapa pertemuan kemudian kami mengetahui bahwa ternyata para pengajar dan pengelolah ma’had tersebut adalah orang-orangnya PKS (Partai Keadilan Sejahtra), maka kami teringat dengan pesan ibu tercinta Aiyyah bintu Hadiyyinah Al-Khatib –semoga Allah merahmati keduanya- untuk tidak ikut partai atau jangan sampai terpengaruh dengan partai, karena partai itu berkaitan dengan politik yang ujung-ujung menghalalkan segala cara, diantaranya ambisi untuk meraih kekuasaan yang akibatnya mereka melakukan pemberontakan sebagaimana PKI (Partai Komunis Indonesia) demikian pesannya maka kamipun mengikuti pesan tersebut yaitu bergegas keluar dari ma’had tersebut, dengan pesan tersebut maka pantas bagi kami untuk katakan: “Inilah perpisahan antaraku dengan orang-orang partai politik”. Diantara pesan ibu –Rahimahallah-pula yang memberikan manfaat kepada kami ketika di Maluku untuk berhati-hati dengan LJ (laskar jihad) karena pergerakan mereka sama dengan pergerakan Gerombolan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Karena panggilan kebenaran dan upaya mendapatkan kebenaran maka kami mencoba mendatangi ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran, sekembalinya kami dari toko buku Manyar Jaya kami mengajak kawan kuliah untuk ke ma’had Abu Bakar Ash-Shiddiq Jojoran seusai shalat maghrib, karena kami baru dari toko buku dan ketika itu kami baru membeli dua buah majalah Islam yang bernama “As-Sunnah” dan “Elfata” dan kami membawanya ke ma’had tersebut, kami sampai di masjid ma’had tersebut para jama’ah baru selesai melaksanakan shalat maghrib, kami meletakan dua majalah tersebut di teras masjid dan kami pergi mengambil air wudhu ternyata pengurus masjid sekaligus sebagai ketua santri yang bernama Mahmud (asal Krian Surabaya) mengambil dua buah majalah kami tersebut dan menyimpannya dengan alasan itu majalah sururi, seusai wudhu kami mencari majalah tersebut dan menanyakan kepadanya, dia akhirnya mengembalikannya kepada kami. Setelah kami masuk masjid tersebut maka kami mendapati ta’lim baru dimulai dengan pengajar salah seorang ustadznya yang bernama Zainul Arifin, dia mengajarkan kitab “Bulughul Maram”, malam berikutnya kami datang lagi bersama kawan kuliah yang lain dan ta’lim di masjid tersebut adalah kitab “Durusullughah” dengan pengajar ustadz yang lain, yang bernama Hariadi Lc., dan orang ini terlihat sangat pendiam dan tenang namun ternyata “diam-diam makan di dalam”, dia termasuk dari orang yang sangat ekstrim dan kaku dalam bersikap, akhir-akhir ini dia melarang mad’unya dari membaca dan mengajarkan kitab panduan/cara cepat baca Al-Qur’an yang berjudul “Iqra’ Qira’ati” dengan sebab karena penulisnya tidak bersama mereka dalam membela hizbiyyin. Selain kami mengikuti ta’lim rutin di masjid (ma’had) Abu Bakar Ash-Shiddiq kami mengikuti kajian rutin pula di kampus-kampus diantara kajian rutin di masjid ITS (Insitut Teknologi Surabaya), kajian rutin sepekan tiga kali di Mushalla Graha IPTEKDOK FK UNAIR Surabaya. Dengan mengikuti ta’lim-ta’lim tersebut kami mulai mengenal sedikit tentang manhaj dan aqidah ahlussunnah wal jama’ah namun pada sebagian permasalahan masih sangat rancu bagi kami terutama yang kaitannya dengan prilaku da’i-da’i yang berda’wah di kampus-kampus, keberadaan mereka membuat perkara yang haram menjadi samar di hadapan kami, sekedar contoh: Haramnya ikhtilat (campur baur laki-laki dan wanita), namun da’i-da’i pemangsa harta minta-minta terus ikut aktiv mengisi kajian rutin di masjid-masjid kampus, padahal masuk ke lingkungan kampus harus menerobos hijab-hijab transparan artinya harus melewati para mahasiswi yang sebagian mereka duduk di emper-emper kampus dengan pasangan-pasangan maksiatnya (pacar-pacar), apalagi di Mushallah Graha IPTEKDOK si ustadz semisal Muhammad Irfan, Zainul Arifin, Muhammad Afifudin bin Husnunnuri As-Sidawi atau kakaknya (Agus Su’aidi bin Husnunnuri As-Sidawi) duduk mengisi ta’lim di depannya kurang lebih 10 (sepuluh) meter terdapat tempat tenis meja yang terkadang pemainnya para wanita, yang pintu Mushalla ke tempat tenis meja hanya kaca jadi sangat transparan, bila panita mengambil papan untuk menutupi pintu maka masih terdapat jendela-jendela di samping kanan dan kiri yang juga transparan, kalaupun Muhammad Afifudin bin Husnunnuri As-Sidawi atau kakaknya (Agus Su’aidi bin Husnunnuri As-Sidawi) mengatakan bahwa kalau mengajar mereka tidak melihat maka bagaimana ketika masuk dan keluar dari Mushalla apa yang dilihat? Gadis nasrani yang berselok jahiliyyah? Atau gadis gaul yang berpakaian serba mini?. Dengan perbuatan dua pentolan ini maka cukup bagi orang yang masih bodoh akan beranggapan bahwa datangnya mereka ke lokasi yang transparan maksiatnya itu sebagai bukti kalau mereka membikin kekeruhan dalam dunia da’wah salafiyyah yang suci. Jika kedua pentolan itu mengatakan pengurus Mushallah yang mengundang kami maka kamipun menurutinya! Jika demikian alasannya maka jelas kalau mereka adalah paling bodohnya manusia yang mengaku-ngaku sebagai da’i!. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam berkata: لا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيةِ الخَالِقِ Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam memaksiati Al-Khaliq”. (HR. Hakim dari hadits Imran bin Husain, Al-Khatib dari hadits Anas, Ath-Thabrani dari hadits Nawwas bin Sam’an, Ad-Dailami dari hadits Ibnu ‘Abbas, dan yang selain mereka). Dengan upaya untuk bisa terselamatkan dari prangkap kerancuan dan kesamaran akan kebenaran yang hakiki, di tengah-tengah kesibukan menjalani kuliah tidaklah sedikitpun mematahkan niat dan tekad kami untuk terus mencari kebenaran, mengingat kehadiran untuk mengikuti kuliah itu harus 85 % (delapan puluh lima persen) tidak boleh kurang darinya maka kesempatan bagi kami 15 % (lima belas persen)nya kami gunakan sebagai peluang bolos, tujuan kami untuk mendatangi ma’had-ma’had (pesantren-pesantren) atau kami mendatangi daurah-daurah, ketika kami sudah selesai melanjutkan kuliah dan telah menerima ijazah kami sudah benar-benar mengokohkan niat dan tekad kami untuk mendalami ilmu agama di ma’had-ma’had, karena sebelum kami menerima ijazah kami sudah mengikuti seleksi di sebuah RS di Surabaya maka ketika kami sudah persiapan untuk ke ma’had tiba-tiba panggilan dari RS tersebut datang dan adanya pengabaran kepada kami bahwasanya kami sudah diterima sebagai tenaga kerja, Al-Hamdulillah dengan hidayah dan pertolongan dari Allah ‘Azza wa Jalla kami lebih memilih untuk meneruskan niat dan tekad kami. Dengan melihat fitnah yang terjadi di RS, sekolah dan kampus-kampus berupa ikhtilat yang sangat mengerikan itu maka sebelum kami ke ma’had kami menyempatkan menulis sebuah tulisan yang berjudul “Ikhtilat Wabah yang Mengerikan”, tulisan tersebut begitu pula ketidak pedulinya kami dengan panggilan pihak RS itu sebagai bukti yang jelas kalau kami telah taubat dan berlepas diri dari ikhtilat, Allah Ta’ala berkata dalam surat Al-Baqarah: إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا وَأَصْلَحُوا وَبَيَّنُوا فَأُولَئِكَ أَتُوبُ عَلَيْهِمْ وَأَنَا التَّوَّابُ الرَّحِيمُ “Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka bagi mereka itulah Aku menerima taubatnya mereka dan Akulah At-Tawwab (Yang Maha menerima taubat) lagi Ar-rahiim (Yang Maha Penyayang)”.
    MENCARI KETENANGAN DALAM MENIMBA ILMU
    Kami menjelaskan masalah ini sebagai jawaban terhadap orang-orang yang merasa sebagai asatidz yang mengelolah ma’had-ma’had yang pernah kami lalui atau juga selain mereka yang memberikan komentar kepada kami bahwa kami di Indonesia belajarnya tidak tetap atau bahasa mereka “tidak benar belajarnya”, sampai-sampai ada yang mengutip perkataan Asasuddin ketika masih di ma’had Magetan, bahwa Asasudin berkata: “Pindah-pindah ma’had adalah alamat mati konyol”. Maka sekaligus kami katakan: Justru Asasudinlah yang mati konyol, dialah orangnya yang paling banyak pindah-pindah, baik itu pindah da’wah atau bahkan pindah manhaj!, dari manhaj Ahlussunah (ketika di Dammaj) kemudian pindah ke manhaj LJ (laskar jahat), dari manhaj LJ pindah ke manhaj Siluman (maksudnya bermanhaj bersama Luqman Ba’abduh), dari manhaj Siluman sekarang pindah ke manhaj mumayyi’ yang buta. Anehnya sudah seperti itu keadaannya ikut mengatakan bahwa kawan-kawan kami adalah hizbiyyun karena mereka saling berselisih, maka kami berikan pertanyaan kepada Asasudin dan yang memiliki pemikiran sama sepertinya: Apakah Ali dan Mu’awiyyah Radhiyallahu’anhuma adalah hizbi karena keduanya berselisih?. Kemudian kami katakan pula kepada para da’i-da’i gadungan yang senangnya melarang-larang para santri untuk pindah agar bertaqwa kepada Allah Ta’ala, ketahuilah bahwa melarang-larang para santri untuk pindah ke ma’had lain itu bukanlah metode dan dakwah Ahlussunnah bahkan perbuatan melarang-larang itu jelas menyelisihi sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di dalam Shahih Al-Bukhari dijelaskan bahwa ada sekelompok para shahabat datang kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk belajar tidak lama kemudian mereka meminta izin untuk pulang ke keluarganya maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam tidak melarang mereka namun beliau memberi wasiat: ( لو رجعتم إلى أهليكم صلوا صلاة كذا في حين كذا صلوا صلاة كذا في حين كذا فإذا حضرة الصلاة فليؤذن أحدكم وليؤمكم أكبركم ) Kalau kalian kembali ke keluarga kalian maka shalatlah kalian seperti shalat demikian pada waktu demikian, shalatlah kalian seperti shalat demikian pada waktu demikian. Jika telah masuk waktu shalat maka hendaklah salah seorang dari kalian azan dan seseorang yang akbar mengimami kalian”. Akbarukum dijelaskan pada hadits yang lain yaitu yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya atau yang paling banyak mengetahui sunnah atau yang paling banyak ilmunya. Setelah kami memurnikan niat dan tekad kami untuk mendalami ilmu agama ma’had yang pertama kami tuju adalah ma’had Al-Bayyinah Sedayu-Gresik yang diasuh oleh dua beradik kakak yang bernama Muhammad Afifudin bin Husnunnuri As-Sidawi dan kakaknya (Agus Su’aidi bin Husnunnuri As-Sidawi), karena melihat keduanya rutin mengisi ta’lim di Mushalla Graha IPTEKDOK UNAIR dan senang da’wah keliling-keliling yang akibatnya banyak santri merasa tidak puas belajar bersama keduanya maka kami merencanakan untuk mencari ma’had yang lain, ketika itu ada kawan memberitakan bahwa sekitar berapa bulan yang lalu ustadz-ustadz dari ma’had Umar bin Al-Khaththab Lamongan datang menjelaskan tentang perihal mereka bahwasanya mereka telah berlepas diri dengan ma’had Al-Furqan Gresik dan mereka memiliki ma’had tersendiri, maka besoknya setelah shalat ashar kami berangkat ke ma’had Umar di Sugihan Lamongan sampai di ma’had menjelang maghrib. Selama dua pekan di ma’had Umar bin Al-Khaththab Sugihan Lamongan kami berkata kepada kawan kami, kami mau pindah ke ma’had lain, bersamaan dengan itu keluarga kami di Maluku meminta kami untuk pulang maka kami langsung pulang ke Maluku dan berniat setelah berjumpa dengan keluarga, kami akan berangkat ke ma’had As-Sunnah Bajirupa Makassar yang diasuh oleh Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi, pada tahun 2007 tepatnya pada awal Ramadhan kami ke ma’had tersebut, sekitar 5 (lima) atau 6 (enam) bulan kami di ma’had tersebut, sebelum kami pindah dari ma’had tersebut dengan pertolongan Allah Ta’ala kami sempat menulis terjemahan “Ushulussittah” yang kami sertai dengan beberapa tambahan keterangan pada footnote (catatan kaki) yang berisikan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan tulisan tersebut pernah diterbitkan oleh maktabah Al-Ghuraba’ Solo. Adapun sebab kami pindah dari ma’had tersebut karena banyak faktor diantaranya: - Ketidak sukaan kami terhadap Dzulqarnain bin Muhammad Sanusi, yang dia tenar dengan mondar-mandirnya ke Saudi Arabia karena urusan harta, yang pada akhirnya terfitnah. - Melihat ada seorang ustadz (pengajar) ma’had yang bernama Mustamin, Lc. pada hari jum’at ikut olah raga lari pagi dengan memakai pakaian olah raga yang ketat seperti guru PENJASKES (pendidikan jasmani dan kesehatan). - Setiap ada yang mau pindah maka Khidhir bin Muhammad Sanusi melarangnya untuk pindah dengan berbagai alasan. Dengan faktor-faktor tersebut yang kaitannya dengan ma’had, adapun dengan masalah pribadi ketika di Makassar adanya dari kawan-kawan kami yang terus menerus menghubungi kami supaya kami memanfaatkan ijazah kami dengan mengikuti seleksi PNS (pegawai negri sipil) atau bekerja di RS, karena menjaga hati jangan sampai terfitnah maka solusi terbaik bagi kami adalah pindah ma’had, berhubung ada dua kawan kami bersepakat dengan kami untuk pindah dan ma’had yang kami tuju adalah ma’had Umar Lamongan yang pernah kami ke sana, kami berkeinginan untuk kembali ke ma’had tersebut karena ada kawan kami mengabarkan bahwa ada seorang pengajar akan segera balik dari Dammaj, yang beliau di Dammaj sekitar 10 (sepuluh tahun) maka kami dan dua kawan kami langsung ke Jawa dengan tujuan ma’had tersebut, ketika kami sampai kami mengikuti pelajaran sebagaimana biasanya, dengan harapan menunggu seorang ustadz yang mau datang tersebut. Sebelum kami pindah dari ma’had Umar Lamongan tersebut kami sempat menulis sebuah tulisan dengan judul “Mengenal Hawa Nafsu dan Akibat dari Mengikutinya”. Berhubung Khaliful Hadi orangnya licik dan pandai mempengaruhi, sesuai yang tampak padanya masih terlihat ada baiknya dan karena promosinya bahwa ustadz yang 10 (sepuluh) tahun di Dammaj itu kalau pulang akan menjadi pengajar di ma’had barunya maka kami mengikutinya ke ma’had barunya tersebut. Ketika kami sudah mencapai 2 (dua) bulan di ma’had Umar Sugihan kami bertekad untuk pindah ke ma’had Darul Atsar Banyutengah Gresik yang diasuh oleh Khaliful Hadi maka kawan kami yang mengetahui bahwa kami belum memiliki uang untuk pindah, beliau memberitahukan bahwa ma’had baru yang diasuh oleh Khaliful Hadi membuka daurah nahwu dan membutuhkan orang yang mau memasak untuk peserta daurah maka kami berpesan kalau belum ada Insyaallah kami bersedia menjadi tukang masaknya, ternyata kawan kami langsung ke ma’had Darul Atsar dan menyampaikan ke Khaliful Hadi maka Khaliful Hadi langsung menelpon kami lalu kawan kami yang lain mengantar kami dengan sepeda motor ke ma’had tersebut. Setelah selesai daurah nahwu kami berhenti dari menjadi tukang masak dan kami mengambil kesibukan lain di sela-sela pelajaran diantaranya memasang instalasi listrik ke asrama dan masjid serta kesibukan lain bersama kawan-kawan dalam bekerja membangun ma’had baru tersebut, bila hari jum’at kebanyakannya kami ke Surabaya dan di Surabaya kami mengisi waktu dengan menulis, diantara tulisan kami ketika itu adalah: - Siwak Pembersih Mulut yang Diridhai Allah. - Tiga Pilar Utama. - Terjemah Aqidah Thahawiyyah disertai penjelasan berupa catatan kaki. - Terjemah Atsarudz Dzunub wal Ma’ashi. Waktu terus berjalan, tidak terasa ternyata kami sudah mencapai 5 (lima) atau 6 (enam) bulan di ma’had tersebut dengan waktu tersebut kami dapat mengenal sedikit kebobrokan dan kejelekan Khaliful Hadi dan permasalahan ini telah kami jelaskan dalam beberapa tulisan kami diantaranya tulisan kami yang berjudul “Mereka Adalah Hizbiyyun”. Di ma’had tersebut kami sempat pula mengenal Abu Sa’id Yahya Al-Maidani, yang kemudian orang tersebut menjadi tangan kanan Khaliful Hadi, adapun orang tersebut begitu pula Khaliful Hadi keduanya telah kami jelaskan kebobrokannya dalam tulisan kami yang berjudul “Tembakan Jitu Terhadap Syubhat yang Berliku-liku” dan kami sebutkan pula dalam tulisan kami “Buronan Berbaju Kemunafiqan Belajar dari Abdullah bin Abdurrahman yang Bermanhaj Syaithan”. Setelah jelas dengan gamblang tentang kebobrokan dan kelicikan Khaliful Hadi kami menyimpulkan untuk pindah ma’had, dan ma’had yang kami rencanakan untuk kami datangi adalah ma’had Dhiya’us Sunnah Cirebon yang diasuh oleh Muhammad Umar As-Sewed. Jika seseorang telah memahami tentang penting dan mulianya ilmu maka dia tidak akan pernah merasa puas dengan ilmu, hingga diapun berupaya untuk menjelajahi setiap penjuru untuk mencari ilmu, dia memahami akan perkataan Allah Ta’ala sebagaimana di dalam surat Yusuf: وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيمٌ “Dan di atas tiap-tiap orang yang berilmu itu ada lagi yang berilmu”. Dengan memahami ayat tersebut kami mencoba mencari di setiap ma’had tentang orang-orang yang memang memiliki ilmu namun setiap ma’had yang kami lalui tidaklah memberi kepuasan dalam ilmu. Bahkan pada ma’had Dhiya’us Sunnah Cirebon ini tidaklah seperti yang kami harapkan bahkan justru kekecewaan yang ada. Ketika kamu sudah hampir mencapai 2 (dua) bulan di ma’had tersebut kami mendapati pelajaran yang sangat memilukan dari seorang ustadz yang bernama Muhammad As-Sewed, yang bila ditinjau di tengah-tengah masyarakat awam maka tentu tidak didapati sama sekali prilaku sepertinya, dan prilaku jeleknya tersebut menjadi sebab utama bagi kami untuk pindah. Ketika itu kami sebagai santri di ma’had Dhiya’us Sunnah hanya 8 (delapan) atau 9 (Sembilan) orang, pada waktu itu As-Sewed mau menikahkan putrinya dengan Helmi atau Hilmi yang dikatakan alumni Dammaj, kami dan kawan-kawan digerakan oleh As-Sewed untuk bekerja sekitar 2 (dua) atau 3 (hari) di dekat rumahnya untuk persiapan acara pernikahan putrinya dengan tanpa diberi makan sampai kawan-kawan menyiapkan sendiri makanan dari ma’had, sangat dan patut dikasihani ada kawan kami naik sepeda motor harus membawa nampan dan setempat nasi untuk membantu kawan-kawannya yang banting tulang bekerja, karena kami baru pertama kali mendapat perlakuan sejelek itu maka kami bertanya kepada kawan-kawan kami apakah perlakuan seperti ini baru terjadi kali ini ataukah memang sudah menjadi prilaku jelek yang sudah berkesinambungan? Kawan-kawan kami mempersaksikan bahwa As-Sewed itu memang begitulah prilakunya. Dengan perlakuan jelek semisal itu maka ada dari kawan kami berkata: “Memang kalau keturunan Arab yang ada di tengah-tengah kita ini mereka merasa besar dan menjadikan kita ini seperti orang-orang rendahan, lihat dari sejak pertama yang dibesarkan orang-orang Arab semisal Ja’far Umar Thalib, Muhammad As-Sewed dan sekarang Luqman Ba’abduh padahal dari segi keilmuan masih ada selain keturuna Arab yang lebih berilmu”. Apakah demikian perlakuan seorang guru kepada murid-muridnya? Tidakkah dia pernah membaca surat Al-Kahfi ketika nabi Musa mengajak muridnya –'Alaihimassalam- untuk mencari seorang guru yang lebih berilmu dari mereka berdua?: {وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِفَتَاهُ لَا أَبْرَحُ حَتَّى أَبْلُغَ مَجْمَعَ الْبَحْرَيْنِ أَوْ أَمْضِيَ حُقُبًا (60) فَلَمَّا بَلَغَا مَجْمَعَ بَيْنِهِمَا نَسِيَا حُوتَهُمَا فَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ سَرَبًا (61) } {فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا (62) قَالَ أَرَأَيْتَ إِذْ أَوَيْنَا إِلَى الصَّخْرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ الْحُوتَ وَمَا أَنْسَانِيهُ إِلَّا الشَّيْطَانُ أَنْ أَذْكُرَهُ وَاتَّخَذَ سَبِيلَهُ فِي الْبَحْرِ عَجَبًا (63)} "Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu. Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; Sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini". Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mecari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaithan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali". Pada kisah tersebut sangat jelas tentang akhlaq seorang guru terhadap muridnya, mereka memiliki perbekalan, yang kemudian mereka ingin memakannya bersama-sama (makan jama'ah). Ingatlah pula pada kisah Salman Al-Farisi ketika beliau memberikan hadiah berupa korma kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam maka Rasulullah mengajak para murid-murid (shahabat)nya untuk makan bersama karena ketika itu mereka sedang sama-sama capek mengurus jenazah seorang shahabatnya? Maka dimanakah akhlaqmu wahai sang da'i? Dari kejadian tersebut kami sudah memutuskan untuk pindah lagi, Walhamdulillah dengan rencana tersebut bertepatan dengan adanya pemberian kabar gembira dari kakak kami bahwa sudah ada dana untuk kami bisa berangkat menuntut ilmu di pangkuan para ulama di negri Yaman, kamipun sangat bergembira dan langsung berpamitan dengan kawan-kawan untuk ke Maluku mempersiapkan berkas-berkas dan perbekalan untuk ke negri Yaman.
    PESAN DAN KESAN
    · Selama kami menjadi penuntut ilmu agama di negri kami Indonesia selama setahun lebih segudang pengalaman kami peroleh dan patut untuk kami syukuri karena benar kata orang “Pengalaman itu adalah guru yang terbaik” kalau pepatah Malaysia menyebutkannya “Pengalaman yang mengajarkan kita arti sebuah kehidupan”. · Sesungguhnya kepuasan itu tak kan pernah dirasa bila seseorang tak melakukan percobaan dan ketahuilah bahwa menuntut ilmu agama tidak ada penghujungnya dan tidak akan pernah puas bagi yang memang memiliki tekad dan niat yang tulus. · Seseorang bila telah merasa puas dari ilmu dan merasa cukup dengan ilmu yang ada pada dirinya serta tidak lagi membutuhkan ulama maka kepuasan dan sikap merasa cukupnya itu akan menenggelamkan dirinya di dalam kebuasan.

  • #2
    Ditulis oleh: Khidhir Al-Mulki
    -semoga Allah mengampuni dosa-dosanya-


    حمل الرسالة من المرفقات


    الملفات المرفقة

    تعليق

    يعمل...
    X