• If this is your first visit, be sure to check out the FAQ by clicking the link above. You may have to register before you can post: click the register link above to proceed. To start viewing messages, select the forum that you want to visit from the selection below.

إعـــــــلان

تقليص
لا يوجد إعلان حتى الآن.

Nasihat dan Ta'yiir

تقليص
X
 
  • تصفية - فلترة
  • الوقت
  • عرض
إلغاء تحديد الكل
مشاركات جديدة

  • Nasihat dan Ta'yiir

    h a k i k a t
    n a s e h a t
    karya:
    AL-IMAM AL-HAFIZH IBNU ROJAB AL-HANBALY a (MENINGGAL TAHUN 795 H)
    Judul Asli:
    الفرق بين النصيحة والتعيير
    Al-Farqu Bainan Nashihah wat Ta'yir
    Judul terjemahan:
    Hakikat Nasehat
    Penulis:
    AL-IMAM AL-HAFIZH IBNU ROJAB AL-HANBALY a
    Penerjemah:
    Abu Ja’far Al-Haritsbin Dasril Al-Minangkabawy s
    TIDAK DIPERKENANKAN DIPERBANYAK UNTUK DIPERJUAL BELIKAN
    TANPA IZIN DARI PENERJEMAH
    (MUQODDIMAH)
    بسم الله الرحمن الرحيم
    الحمد لله رب العالمين ، وصلاته وسلامه على إمام المتقين ، وخاتم النبيين وآله وصحبه أجمعين ، والتابعين لهم بإحسان إلى يوم الدين أما بعد :
    Segala puji hanya bagi Robbul ‘Alamin (Robb Alam Semesta), sholawat dan salamNya kepada imam orang-orang yang bertaqwa dan penutup para Nabi. Serta keluarga, para shohabatnya seluruhnya, dan para pengikut mereka dalam kebaikan sampai hari kiamat. Amma ba’du,
    Tulisan ini adalah sebuah kalimat yang ringkas, mencakup perbedaan-perbedaan antara nasehat dan ta’yir[1]. Karena kedua perkara ini bersatu dalam masalah, yaitu: “Membicarakan seseorang tentang perkara-perkara (pada dirinya) yang dibenci penyebutannya”. Sungguh perbedaan antara keduanya telah samar pada kebanyakan orang.
    Sesungguhnya Allohlah yang memberikan taufik kepada kebenaran.
    Ketahuilah, bahwasanya membicarakan seseorang tentang perkara-perkara (pada dirinya) yang tidak dia senangi, hukumnya adalah harom apabila tujuannya hanyalah semata-mata untuk mencela, menjelek-jelekkan dan merendahkan. Adapun jika pada perbuatan tersebut terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin keseluruhan atau terkhusus pada sebagian masyarakat, dan tujuan (pembicara) adalah untuk mencapai maslahat tersebut, maka hal itu bukanlah suatu keharoman bahkan hal itu merupakan perkara yang mandub (disenangi).
    Para ulama hadist telah mengikrarkan perkara ini di buku-buku mereka tentang Jarh wa Ta’dil. Mereka menyebutkan perbedaan antara perkara menjarh[2] para rowi hadist dengan perkara ghibah (gunjing). Mereka juga membantah orang-orang yang menyamakan kedua perkara tersebut, dari kelompok Al-Muta’abbidin[3] dan selain mereka yang dangkal keilmuannya. Tidak ada perbedaan antara perkara celaan pada rowi-rowi hadist -siapa diantara mereka yang diterima riwayatnya dan siapa diantara mereka yang ditolak- dengan perkara penjelasan kesalahan orang-orang yang keliru dalam memahami makna-makna yang terkandung di dalam Al-Kitab dan As-Sunnah, orang-orang memalingkan makna keduanya kepada selain maknanya yang benar, atau orang-orang yang berpegang kepada sesuatu yang tidak pantas untuk berpegang teguh dengannya. Hal ini dengan tujuan untuk memperingatkan orang-orang yang mengikuti mereka (orang-orang yang terjatuh pada kesalahan) dan kesalahan-kesalahan tersebut. Para ulama telah sepakat tentang bolehnya perkara tersebut.
    Karena itulah, kita dapatkan di buku-buku mereka, berupa karya tulis di berbagai cabang ilmu syari’ah, seperti ilmu tafsir, ilmu fiqih, syarah (penjelasan) hadist, perbedaan pendapat di kalangan ulama, serta bidang-bidang ilmu yang lain dipenuhi dengan diskusi-diskusi dan bantahan terhadap pendapat-pendapat yang muncul dari orang-orang yang pendapatnya lemah, baik dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan, dari kalangan shohabat, tabi’in dan orang-orang yang setelah mereka.
    Tidak seorang pun dari kalangan ulama yang meninggalkan perkara tersebut, dan tidak pernah mereka mengatakan kalau itu adalah sebuah cacian bagi orang yang perkataannya dibantah, bukan pula celaan, dan tidak juga perendahan harga diri. Kecuali jika penulis (bantahan) adalah seorang yang kasar dalam perkataannya dan jelek adabnya dalam mengungkapkan, maka kekasaran dan kejelekannyalah yang diingkari, bukan pokok bantahan atau bentuk penyelisihannya (terhadap orang yang dibantah) yang merupakan upaya penegakan hujjah yang syar’i dan dalil-dalil yang bernilai. Hal tersebut disebabkan karena para ulama seluruhnya sepakat untuk menampakkan kebenaran yang dengannya Alloh mengutus rosulNya Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam, agar penegakan agama ini semata-mata hanya bagi Alloh dan agar agamaNya terjunjung tinggi.
    Mereka (para ulama) semuanya mengakui kalau pelingkupan ilmu tanpa terdapat kekeliruan sedikitpun, bukanlah kedudukan yang bisa dicapai salah seorang diantara mereka. Tidak seorangpun dari kalangan ulama terdahulu maupun belakangan yang mengklaim (mengaku-ngaku) hal tersebut. Oleh karena itulah para imam salaf -yang diakui keilmuan dan keutamaannya- menerima kebenaran dari orang yang membawanya kepada mereka walau pun masih belia. Mereka mewasiatkan para murid-murid dan pengikutnya untuk menerima kebenaran apabila kebenaran itu terdapat pada pendapat orang lain selain pendapat mereka.
    Sebagaimana ‘Umar Rodhiyallohu‘anhu dalam masalah mahar bagi perempuan. Maka seorang wanita membantahnya dengan perkataan Alloh Ta’ala:
    ﴿وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (النساء:20)
    “Jika kalian ingin mengganti salah satu istri dengan istri yang lain, sementara kalian telah memberikan mahar berupa harta yang melimpah kepada salah satu dari mereka, maka janganlah kalian mengambil sedikitpun dari mahar tersebut. Apakah kalian akan mengambil kembali dengan cara tuduhan palsu dan menempuh dosa yang nyata?” (An Nisa’ 20)
    Maka ‘Umar pun rujuk (kembali) dari pendapatnya dan berkata "Wanita benar, dan lelaki (yang) keliru"[4]. Juga diriwayatkan bahwa beliau berkata: "Setiap orang lebih faqih dari Umar"[5].
    Dan sebagian (ulama) yang masyhur apabila berkata tentang sesuatu dengan pendapatnya, mereka berkata: “Ini adalah pendapat kami. Barangsiapa yang mendatangi kami dengan pendapat yang lebih baik, maka kami akan menerimanya”.
    Dahulu Asy-Syafi’i menekankan perkara ini dan mewasiatkan murid-muridnya untuk mengikuti kebenaran serta menerima As-Sunnah jika mereka melihat sunnah yang menyelisihi perkataannya (Asy-Syafi'i),lalu membuang perkataannya kebelakang. Beliau berkomentar tentang buku-bukunya: "Mesti didapati didalamnya yang menyelisihi Al-kitab dan As-Sunnah, karena Alloh berkata:
    ﴿وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
    "Kalau saja dari sisi selain Alloh, sungguh mereka akan mendapatkan perselisihan yang banyak" (An Nisa' 82)
    Yang lebih gamblang dari itu, bahwasanya beliau berkata: “Tidaklah seorang pun mendebatku, kemudian aku melayaninya, kecuali kebenaran akan terlihat pada ucapannya atau ucapanku”.
    Perkataan ini menunjukkan bahwa beliau tidak memiliki tujuan kecuali hanya untuk menampakkan kebenaran walaupun kebenaran itu muncul pada ucapan selain dirinya, dari kalangan orang yang mendebatnya atau menyelisihinya. Maka barangsiapa yang kondisinya seperti ini (yakni seperti Imam Asy-Syafi’i), maka tidak mengapa dibantah perkataannya dan dijelaskan sisi penyelisihannya terhadap As-Sunnah baik semasa hidupnya maupun setelah matinya. Ini pun bentuk persangkaan kepada yang lainnya dari kalangan Imam agama ini, yang terdahulu ataupun belakangan.
    Orang-orang yang membela agama ini dan menolongnya, tidaklah membenci penyelisihan dari orang yang menyelisihi mereka, yang datang dengan membawa dalil-dalil. Walaupun dalil tersebut bukanlah dalil yang kuat di sisi mereka (ulama yang dibantah), sehingga mereka (para ulama) bisa berpegang dengan dalil (yang dibawa pembantah) tersebut dan meninggalkan dalil-dalil mereka (yang mereka pegang selama ini).
    Karenanyalah, dahulu Imam Ahmad Rohimahulloh ketika membicarakan Ishaq bin Rohawaih[6], maka beliau menyanjung dan memujinya, seraya berkata: “Walaupun dia menyelisihi di beberapa perkara. Karena senantiasa manusia, sebagian mereka menyelisihi yang lain”, atau sebagaimana ucapan beliau. Juga sering didatangkan kepada beliau pendapat Ishaq dan yang lain dari para imam beserta pendalilannya, namun beliau tidak sepakat dengan pendapat mereka tersebut Meski demikian, beliau tidak mengingkari pendapat dan pendalilan mereka, walaupun dia tidak menyepakatinya secara keseluruhan. Sungguh Imam Ahmad menganggap baik perbuatan tersebut[7], sebagaimana dihikayatkan oleh Hatim Al-Ashom[8], bahwasanya dikatakan kepadanya (Hatim): ”Engkau adalah seorang a’jam[9], yang tidak fasih berbicara, namun tidak seorangpun orang yang mendebatmu kecuali engkau patahkan hujjah (alasan-alasan)nya. Dengan apa engkau bisa mengalahkan lawanmu?”. Beliau menjawab dengan tiga perkara: “Aku merasa senang kalau lawanku benar, aku sedih kalau dia keliru dan aku menjaga ucapanku dari apa-apa yang akan menyakitinya” atau perkataan semakna. Maka Imam Ahmad berkata: “Betapa berakalnya orang ini”.
    Dengan demikian, bantahan terhadap pendapat-pendapat yang lemah dan penjelasan kebenaran -yang berseberangan dengan pendapat tersebut- dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah termasuk perkara yang dibenci para ulama, bahkan termasuk perkara yang mereka cintai. Mereka memuji pelakunya dan menyanjungnya.
    Bukanlah perkara tersebut termasuk kedalam ghibah secara mutlak. Seandainya ada seseorang yang membenci pengungkapan kesalahannya yang menyelisihi kebenaran, maka kebenciannya terhadap pengungkapan tersebut tidaklah dianggap. Karena kebencian dengan nampaknya kebenaran jika berseberangan dengan perkataannya, bukanlah termasuk perkara yang terpuji. Bahkan wajib bagi seorang muslim untuk menyenangi pengungkapan kebenaran dan penjelasan hal tersebut kepada kaum muslimin, baik hal tersebut sesuai dengan pendapatnya atau menyelisihinya. Dan ini adalah bagian dari nasehat untuk Alloh, RosulNya,para pemimpin muslimin dan masyarakat awamnya. Demikianlah agama (Islam), sebagaimana telah dikabarkan oleh Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
    Adapun mengenai penjelasan kesalahan orang-orang yang keliru dari kalangan ulama sebelumnya, apabila orang yang menjelaskan tersebut beradab dalam penyampaian dan bersikap baik dalam membantah dan menjawab, maka tidak perlu bimbang, dan tidak akan ada umpatan yang akan mengarah kepadanya. Dan jika (dikhawatirkan) pada pendapat seseorang akan ada orang yang tertipu, maka tidak mengapa (pendapat tersebut dibantah). Sungguh dahulu sebagian salaf, jika sampai kepadanya sebuah perkataan yang dia ingkari, maka dia akan berkata: “Si Fulan telah berdusta”. Diantara contohnya adalah perkataan Nabi Sholallohu’ Alaihi wa Sallam: “Abus Sanabil telah berdusta”[10], ketika sampai kabar kepada beliau bahwa dia (Abus Sanabil) berfatwa bahwasanya wanita yang ditinggal mati suaminya, apabila dia dalam keadaan hamil, maka dia belum halal untuk dinikahi walupun telah melahirkan, sampai berlalu (masa ‘iddahnya) empat bulan dan sepuluh hari.
    Para Imam yang penuh sikap waro’[11], telah bersungguh-sungguh dalam mengingkari pendapat-pendapat yang lemah yang muncul dari sebagian ulama, kemudian membantahnya dengan sebenar-benar bantahan. Sebagaimana dahulu Imam Ahmad mengingkari Abu Tsaur[12] dan yang lainnya, menyangkut pendapat-pendapat lemah yang mereka menyendiri dengan pendapat tersebut.
    Beliau sungguh-sungguh dalam membantah mereka, itulah hukum yang terlihat secara lahiriyah. Adapun permasalahan (membantah pendapat lemah) ini, jika ditinjau dari segi batiniyah, maka apabila tujuannya hanyalah semata-mata untuk menjelaskan kebenaran dan agar masyarakat tidak tertipu dengan pendapat orang-orang yang keliru, maka tidak diragukan bahwasanya dia akan mendapat pahala atas maksudnya. Amalannya ini bersama niat tersebut, tergolong kepada perbuatan nasehat untuk Alloh, RosulNya,para pemimpin muslimin dan masyarakat awamnya.
    Baik orang yang menjelaskan kesalahan adalah (orang) kecil atau (orang) besar, karena sesungguhnya dia telah memiliki teladan dari kalangan ulama yang telah membantah pendapat ibnu ‘Abbas yang keliru, seperti dalam masalah nikah mut’ah, tukar menukar (dalam jual beli), umroh dua kali, dan sebagainya.
    Dan juga telah meneladani orang-orang yang membantah pendapat Sa’id bin Al Musayyab[13] yang berpendapat bolehnya seorang lelaki menikahi kembali wanita yang telah dicerainya sebanyak tiga kali, dengan sekedar akad dengan orang lain. Serta pendapat beliau selain itu yang menyelisihi As-sunnah yang jelas hukumnya.Juga bantahan terhadap Al Hasan[14] yang berpendapat tidak adanya ihdad (tidak berhias karena kematian suaminya) bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Juga bantahan terhadap ‘Atho’[15] atas pendapatnya yang membolehkan i'adatul furuj[16]. Juga terhadap pendapat Thowus[17] dalam berbagai masalah yang beliau menyendiri dari para ulama. Dan bantahan terhadap orang-orang selain mereka yang kaum muslimin telah sepakat dalam mengakui petunjuk dan keilmuan mereka, serta rasa simpati dan pujian terhadap mereka.
    Tak seorang pun dari mereka yang menganggap bahwasanya penyelisihan-penyelisihan terhadapnya di masalah-masalah tersebut dan yang semisal, merupakan celaan terhadap para imam tersebut, tidak juga menjelek-jelekkan mereka. Buku-buku ulama terdahulu ataupun belakangan dipenuhi penjelasan tentang pendapat-pendapat tersebut dan yang semisal. Seperti pendapat-pendapat pada buku-buku Asy-Syafi’i, Ishaq, Abu ‘Ubaid, Abu Tsaur, dan orang-orang yang setelah mereka dari kalangan imam fiqih, hadist dan selainnya, dari kalangan orang-orang yang memiliki pendapat yang keliru. Dan ini sangatlah banyak, yang seandainya saya sebutkan satu persatu tentulah akan menjadi pembahasan yang sangat panjang.
    Adapun jika tujuan pembantah dengan bantahannya tersebut untuk membuka kejelekan orang yang dibantahnya, merendahkan harga dirinya, menjelaskan kebodohan dan kekurangan ilmunya, serta tujuan yang semisal, maka perbuatan ini hukumnya haram, baik dia membantah langsung di depan orang yang dibantah atau membantahnya di belakang, baik semasa hidupnya atau pun selah matinya. Hal ini termasuk perkara yang Alloh Ta’ala cela di dalam kitabNya, serta ancaman terhadap perbuatan Hamz[18] dan Lamz[19], dan juga termasuk kedalam perkataan Nabi Sholallohu ‘Alaihi wa Sallam.
    « يا معشر من آمن بلسانه ولم يؤمن بقلبه لا تؤذوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته ومن يتبع الله عورته يفضحه ولو في جوف بيته »
    "Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya dan belum masuk keimanan ke dalam hatinya. Jangan kalian mengumpat muslimin. Dan jangan kalian mencari-cari aib mereka, karena sesungguhnya barangsiapa yang mencari-cari aib saudaranya yang muslim, Alloh akan mencari-cari aibnya. Dan barang siapa yang Alloh cari-cari aibnya maka Alloh akan memperlihatkannya walaupun (dikerjakan) di dalam rumahnya"[20]
    Semua penjelasan ini, berlaku pada haknya ulama yang dipanuti dalam agama, adapun bagi para pengikut bid’ah dan kesesatan, dan orang-orang yang berlagak ulama tapi bukan, maka diperbolehkan untuk menerangkan kebodohannya, dan membongkar kejelekannya sebagai bentuk peringatan bagi orang-orang yang mencontohnya.Dan bukanlah pembahasan kita sekarang (dalam buku ini) menyangkut sisi ini, wallohu a’lam.

    [1]Mempermalukan seseorang karena kesalahan yang dia perbuat

    [2]Menerangkan kejelekan atau kelemahan

    [3]Orang-orang yang gila ibadah tapi mengabaikan ilmu

    [4]Atsar Dho'if , sebagaimana dijelaskankan Syaikh Abu 'Amr di dalam bukunya tentang Haromnya Meninggalkan Mahar

    [5]Idem

    [6]Meninggal tahun 238 H. Beliau adalah Imam Besar, pemimpin para huffadz (penghapal hadist).
    Imam Ahmad -ketika ditanya tentang Ishaq-, beliau berkata: “Orang seperti Ishaq ditanya?? Disisiku dia adalah seorang Imam”.
    Abu Daud Al Khoffaf mengatakan: “Ishaq mendiktekan kepada kami sebelas ribu hadist dari hapalannya, kemudian membacakannya (kembali) kepada kami, tidak kurang atau berlebih sepatah katapun”. Beliau juga berkata, bahwasanya Ishaq mengatakan kepadanya: “Sungguh (saat ini) aku seolah-olah sedang melihat seratus ribu hadist yang ada di bukuku, tiga puluh ribunya, akan aku bacakan”

    [7]Yakni menerima kebenaran walau datang dari orang yang membantahnya

    [8] Meninggal tahun 137 H. Beliau adalah seorang orator ulung dan dikenal sebagai seorang yang bijaksana. Dahulu dijuliki sebagai Luqman (Al Hakim) umat ini.

    [9]Di luar Bangsa Arob

    [10]Hadist ini dishohihkan As Syaikh Al Albany Ash Shohihah nomor hadist 3274

    [11]Maknanya adalah: Meninggalkan perbuatan yang akan membahayakannya di akhirat

    [12]Meninggal tahun 125 H. Namanya 'Amr bin Qois, beliau seorang Imam Besar.

    [13]Meninggal Tahun 94 H. Imam Besar, salah seorang ulama Madinah, dan pemimpin para tabi’in di zamannya. Dahulu beliau sudah berfatwa, sementara para shohabat masih hidup.
    Ibnu ‘Umar berkata: “Demi Alloh, dia adalah salah seorang mufti (yang berhak berfatwa)”

    [14]Meninggal tahun 110 H. Al-Imam Al-Bashry. Seorang pemimpin dalam keilmuan dan amal di zamannya.

    [15]Meninggal tahun 115 H. Syaikhul Islam, Mufti Tanah Suci. Beliau berjumpa dengan 200 orang shohabat Rosululloh.

    [16]Saya telah memeriksa atsar-atsar Atho' Rohimahulloh yang berkaitan dengan masalah tersebut, namun qoddarulloh saya tidak menemukan makna sesuai yang diinginkan Ibnu Rojab Rohimahulloh. Wallohu A'lam

    [17]Meninggal tahun 106 H. Imam, faqih, seorang panutan dari ulama Yaman. Beliau berjumpa dengan 50 orang shohabat Rosululloh.
    ‘Atho’ meriwayatkan dari ibnu ‘Abbas, bahwasanya beliau berkata: “Aku sungguh menyangka bahwa Thowus adalah salah seorang penduduk surga”.

    [18]Ghibah dengan isyarat

    [19]Ghibah dengan kata-kata kasar dan keras

    [20]Ahmad 4/420, Abu Daud (4880)
    الملفات المرفقة
يعمل...
X