TOBAT MUBTADI'AH
Ditulis oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Sukaya Al Qudsy
Al Indonesy
-semoga Alloh memaafkannya-
Darul Hadits Dammaj
Yaman
-Semoga Alloh menjaganya-
بسم الله الرحمن الرحيم
Kata Pengantar
Segala pujian yang sempurna bagi Alloh. Dan aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Alloh dan bahwasanya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya. Wahai Alloh limpahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarganya, kemudian daripada itu:
Telah sampai kabar kepada kami tentang terjadinya perselisihan pendapat di antara para Salafiyyin di negeri kita Indonesia –semoga Alloh menjaganya- disebabkan oleh pengumuman tobat dari seorang pria yang dikenal punya pemikiran khowarij (berontak pada pemerintah) dan istihsanat (melakukan perkara yang tidak diajarkan oleh Al Qur'an, dan As Sunnah ataupun manhaj Salaf, hanya karena perkara itu dianggap baik menurut dirinya).
Akhuna Muhammad bin Umar -semoga Alloh menjaganya- berkata bahwa ada sebagian Salafiyyin yang bersegera menerima tobatnya, dan mengundangkan untuk muhadhoroh, dikarenakan Asy Syaikh Al 'Allamah Robi' Al Madkholy –semoga Alloh menjaganya- membolehkan untuk belajar kepadanya.
Adapun sebagian yang lain bersikap pelan-pelan dan berhati-hati dan tidak segera menerima tobat tadi dikarenakan masa lalunya yang telah diketahui bersama bahwasanya dia itu politikus, punya siasat yang banyak, juga kerasnya makar dia, peremehannya terhadap sebagian ulama Ahlussunnah, ketergesaan dirinya dalam masalah darah Muslimin.
Dan juga dikarenakan dirinya belum bertobat di hadapan Asy Syaikh Al 'Allamah Al Muhaddits Pemegang Bendera Sunnah dan Jarh-Ta'dil di Yaman: Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury –semoga Alloh menjaganya-, sementara dia itu telah terbukti membangkang terhadap nasihat-nasihat beliau. Lagipula Syaikh Yahya Al Hajury –semoga Alloh menjaganya- sampai sekarang juga belum mencabut tahdziran beliau terhadap orang ini. Nama orang ini masih terpampang di kitab beliau "Syar'iyyatun Nush waz Zajr" : "Orang ini sekarang bersama hizbiyyun. Dulunya dia punya dakwah di Indonesia, lalu balik bersama hizbiyyun sehingga berubahlah dia dan hancurlah dakwahnya. Dua punya pemikiran penumpahan darah sebagaimana kabar dari sebagian pelajar Indonesia yang dulu menjadi pasukannya. Dia juga berfoto tanpa darurat, sering duduk-duduk dengan para politikus, dan meninggalkan para saudaranya Ahlussunnah dan berpaling dari mereka, …" (hal. 46). Setelah Syaikh mendapatinya tak peduli nasihat yang benar berkatalah beliau pada kami,"Sholatilah dirinya sebagaimana sholat jenazah (yakni: harus ditinggalkan)."
Maka kami akan menyampaikan nasihat terhadap masalah ini, agar semuanya berjalan di atas manhaj Salaf –sebagaimana pengakuan kita semua- dan selamat dari kemungkinan tertipu untuk kali berikutnya . Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Ahlussunnah terhadap Muslimin. -semoga Alloh memberikan taufiq-:
Bab Pertama: Wajibnya Kembali Kepada Al Qur'an dan As Sunnah di dalam Perselisihan
Alloh ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59].
"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian pada Alloh, dan taatlah pada Rosul dan para pemerintah di kalangan kalian. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara pada kembalikanlah dia kepada Alloh dan Rosul-Nya jika kalian memang beriman pada Alloh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya." (QS An Nisa:59).
Maka wajib mencari hukum permasalahan kepada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- sebagaimana firman Alloh ta'ala:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء : 65]
"Maka demi Robbmu mereka itu tidak beriman hingga menjadikan dirimu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati di dalam diri mereka rasa berat terhadap apa yang engkau putuskan, dan tunduk dengan sebenar-benar ketundukan." (QS An Nisa:65).
Bab Dua: Keharusan Untuk Kembali Pada Manhaj Salaf
Alloh ta'ala berfirman:
﴿فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ﴾ [البقرة/137]
"Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian imani maka mereka pasti mendapatkan petunjuk. Tapi jika mereka berpaling maka mereka itu ada di dalam perpecahan." (QS Al Baqoroh: 137).
Alloh ta'ala:
﴿وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ... ﴾ [التوبة/100]
"Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan Alloh telah ridho pada mereka, dan merekapun telah ridho pada Alloh…" (QS At Taubah:100).
Alloh ta'ala berfirman:
﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾ [النساء/115]
"Dan barangsiapa menyelisihi Rosul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum mukminin, Kami akan memalingkannya kemanapun dia ingin berpaling, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali." (QS An Nisa:115)
'Irbadh bin Sariyah -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ: « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ». (أخرجه أبو داود (4609) وحسنه الإمام الوادعي رحمه الله في "الصحيح المسند" رقم (921)).
"Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- mengimami kami sholat pada suatu hari, lalu beliau berpaling menghadap ke arah kami, seraya memberikan petuah pada kami dengan petuah yang mendalam yang menyebabkan air mata kami berlinang, dan hati bergetar. Maka berkatalah seseorang,"Wahai Rosululloh seakan-akan ini merupakan petuah orang yang hendak berpisah. Maka apa wasiat Anda buat kami?" beliau bersabda: "Kuwasiatkan pada kalian untuk bertaqwa pada Alloh, juga mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah budak Ethiopia. Yang demikian itu dikarenakan bahwasanya orang yang dipanjangkan umurnya dari kalian sepeninggalku dia itu akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang terbimbing sepeninggalku. Genggamlah sunnah itu, dan gigitlah dengan geraham kalian. Dan hindarilah perkara-perkara yang baru karena setiap perkara yang baru itu bid'ah, dan setiap bid'ah itu kesesatan." (HR Abu Dawud (4609) dan dihasankan oleh Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (921)).
Abu Qotadah semoga -Alloh meridhoinya- berkata: Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
«فإن يطيعوا أبا بكر وعمر يرشدوا ».
"Andaikata mereka mau menaati Abu Bakr dan Umar niscaya mereka terbimbing." (HSR Muslim (681))
Imam Ahmad bin Hanbal -semoga Alloh merohmatinya- berkata:
أصول السنة عندنا: التمسك بما كان عليهِ أصحابُ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - والاقتداءُ بهم الخ.
"Pokok-pokok As Sunnah menurut kami adalah: berpegang dengan apa yang dulunya para Shohabat Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- ada di atasnya, dan meneladani mereka, …" ("Ushulus Sunnah"/Imam Ahmad/hal. 5)
Imam Al Auza'iy -semoga Alloh merohmatinya- berkata:
عليك بآثار من سلف، وإن رفضك الناس، وإياك وآراء الرجال، وإن زخرفوا لك بالقول اهـ.
"Kamu wajib untuk memegang jejak-jejak para Salaf meskipun manusia menolakmu. Dan jauhilah pendapat-pendapat para tokoh meskipun mereka menghiasinya di hadapanmu dengan perkataan." ("Asy Syari'ah"/Al Ajurry/no. 124/shohih)
BAB TIGA: SIKAP SALAF TERHADAP TOBAT AHLI BID'AH
Dikarenakan sedikitnya ahlu bid'ah yang mendapatkan taufiq untuk bertobat dan jujur dalam pengakuan tobatnya, maka para Salaf -semoga Alloh merohmati mereka- tidak mau menerima pengakuan tadi sampai jelas kejujurannya.
Sulaiman bin Yasar -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Ada seseorang dari Bani Tamim yang bernama Shobigh bin 'Isl tiba di Madinah dengan membawa beberapa kitab. Lalu mulailah dia bertanya tentang ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih (samar-samar) –untuk menimbulkan keraguan-. Lalu sampailah berita itu pada Umar, sehingga beliau mengutus orang untuk memanggilnya, dan beliau telah mempersiapkan pelepah kurma untuknya. Manakala dia masuk menghadap beliau dan duduk, bertanyalah beliau padanya,"Siapakah kamu?" Dia berkata,"Saya Shobigh." Umar berkata,"Aku Umar, hamba Alloh." Lalu beliau mendekatinya seraya memukulinya dengan pelepah kurma tadi hingga melukai kepalanya. Darahpun mengalir di wajahnya. Maka diapun berkata,"Cukup wahai Amirul Mukminin, demi Alloh, apa yang dulunya kudapati ada di kepalaku telah hilang." (Al Ibanatul Kubro/Ibnu Baththoh/2/hal. 309/shohih).
Dalam riwayat lain: "… lalu beliau menulis surat kepada penduduk Bashroh agar tidak duduk-duduk dengan Shobigh. Seandainya dia duduk di majelis kami dalam keadaan kami itu seratus orang niscaya kami semua meninggalkannya." (Al Ibanatul Kubro/Ibnu Baththoh/2/hal. 350/shohih).
Sisi pendalilannya adalah : bahwasanya Amirul Mukminin Umar Ibnul Khoththob -semoga Alloh meridhoinya- tidak merasa cukup dengan pengakuan rujuk si Shobigh, bahkan menulis surat agar semua memboikotnya sampai jelas kejujurannya.
Imam Ahmad -semoga Alloh merohmatinya- berkata tentang tobat ahli bid'ah, "Jika ahli bid'ah bertobat, penerimaan tobatnya itu ditunda setahun sampai benar tobatnya." ("Al Adabusy Syar'iyyah"/hal. 145).
Al Qodhi Abul Husain setelah menyebutkan riwayat ini dan yang lainnya berkata,"Lahiriyah dari perkataan ini adalah bahwasanya tobat orang tadi diterima setelah pengakuannya dan pemboikotan orang yang menemaninya, setelah satu tahun." ("Al Adabusy Syar'iyyah"/hal. 145).
Kukatakan –semoga Alloh memberiku taufiq-: Ukuran satu tahun itu tidaklah mutlak. Yang penting adalah jelasnya kejujuran orang yang mengaku tobat tadi.
Ibnu Hajar -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Adapun hukum yang kedua –yaitu kapankah jelasnya tobat pelaku maksiat?- maka para ulama itu berselisih pendapat juga. Ada yang berkata,"dilihat kebersihannya selama setahun". Ada yang berkata,"Enam bulan." Ada yang bilang, "Limapuluh hari sebagaimana dalam kisah Ka'ab -bin Malik-." Ada yang bilang,"Tiada batasan yang tertentu. Akan tetapi dia itu berdasarkan dengan ada faktor penyerta yang menunjukkan kejujuran pengakuan tobatnya. Akan tetapi yang demikian itu tidak cukup satu jam atau satu hari saja. Dan juga yang demikian itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kriminalitas dan pelakunya." Ad Dawudy membantah orang yang membatasinya dengan lima puluh hari karena mengambil kisah Ka'b. beliau berkata,"Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- tidak membatasinya dengan lima puluh hari. Namun beliau menunda berbicara dengan mereka sampai Alloh mengidzinkannya." Yaitu: Kisah itu merupakan kejadian khusus, maka tidak bisa dipakai untuk dalil umum.
An Nawawy berkata,"Adapun mubtadi' dan orang yang membikin suatu dosa besar dan dia belum bertobat darinya, maka dia itu jangan disalami, dan jangan dijawab salamnya, sebagaimana pendapat sekelompok ulama. Al Bukhory mendukung pendapat tadi dengan dalil kisah Ka'b bin Malik."
Pembatasan pendapat tadi dengan ucapan beliau "bagi orang yang belum bertobat" itu bagus. Akan tetapi pendalilannya dengan kisah Ka'b perlu diteliti lagi, karena Ka'b telah menyesali perbuatannya dan bertobat. Namun Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- menunda berbicara dengannya sampai Alloh menunda tobatnya . Maka kasusnya adalah bahwasanya dia itu tidak diajak bicara sampai tobatnya itu diterima .
Bisa kita menjawab: bahwasanya mungkin saja kita mengetahui penerimaan tobat di dalam kisah Ka'b. Adapun setelah Ka'b, maka cukuplah dengan penampakan alamat penyesalan, berhenti dari kejahatannya, dan adanya tanda kejujuran tobatnya." ("Fathul Bari"/17/hal. 485).
Syaikh Robi' -semoga Alloh menjaganya- berkata,"Jika Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk memboikot Shohabat yang tertinggal dari perang Tabuk sampai setelah tobatnya mereka, dalam keadaan mereka tidak bergelimang dalam fitnah ini, dan tidak menggerakkannya, bahkan mereka itu telah bertobat, menyesal, dan mengaku. Bersamaan dengan itu manakala mereka terjatuh di dalam penyelisihan perintah Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam-, karena mereka tertuduh di dalam kasus tersebut, dan bias jadi mereka tertuduh dengan kemunafikan." ("Al Mauqifush Shohih" /hal. 11).
Syaikh Robi' -semoga Alloh menjaganya- berkata,"Andaikata kita langsung mengambil pengakuan rujuk dan tobat yang batil dengan penuh penerimaan, tidak mungkin seorang pengikut kelompok sesat itu bisa dihukum berdasarkan kebid'ahan dan kesesatan yang ditulisnya di dalam kitab-kitabnya, karena dengan sangat mudah untuk dikatakan tentang seorang mubtadi' manapun yang menulis kebid'ahan: "Dia itu telah rujuk dari kebid'ahan tadi!" dan ini akan membuka pintu-pintu kerusakan yang tidak diketahui kecuali oleh Alloh." ("Adhwa'un Islamiyyah."/hal. 180)
BAB EMPAT: MASALAH BAIK SANGKA
Baik sangka terhadap orang yang aslinya baik itu wajib. Alloh ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ [الحجرات : 12]
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari persangkaan, karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu dosa." (QS Al Hujurot: 12)
Dari Abu Huroiroh -semoga Alloh meridhoinya-, dari Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- yang bersabda:
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث
"Hindarilah persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta." (HR Al Bukhori dan Muslim).
Akan tetapi orang yang telah jelas kejahatannya, dan para ulama telah menghukuminya sebagai ahli bid'ah, lalu dia menampakkan tobat, bukanlah merupakan manhaj Salaf pewajiban untuk baik sangka, sampai jelas kejujuran tobatnya. Lihatlah kembali bagaimana sikap Salaf terhadap mubtadi' yang mengaku tobat.
Kemudian kita dapati bahwasanya seruan untuk berbaik sangka kepada ahli bid'ah itu telah menjadi syiar para hizbiyyin dalam rangka menjatuhkan persaksian orang-orang yang bersaksi terhadap kebatilan mereka. Syaikh Robi' bin Hadi Al Madkholy -semoga Alloh menjaganya- telah menyebutkan syubhat 'Adnan 'Ar'ur: "Kita semestinya berangkat dari dasar baik sangka, bukannya buruk sangka…" ("Daf'u Baghyi 'Adnan"/hal. 7-8).
Di dalam bantahan beliau terhadap Abul Hasan Al Ma'riby berkatalah Syaikh Robi' bin Hadi Al Madkholy -semoga Alloh menjaganya-,"Memang benar, saudara itu perlu disikapi dengan baik sangka. Tapi jika dia menampakkan kejahatan dan kezholiman, maka di dalam agama yang manakah engkau mewajibkan baik sangka kepadanya? Tidakkah engkau ingat ucapan Kholifah yang lurus (Umar):
إن الناس كانوا يؤخذون بالوحي وإن الوحي قد انقطع فمن أظهر خيراً أمناه وقربناه وليس إلينا من سريرته شيء ، والله يحاسبه في سريرته ومن أظهر لنا سوءً لم نأمنه ولم نصدقه ، وإن قال : إن سريرته حسنة
"Sesungguhnya manusia itu dulunya dihukumi berdasarkan wahyu. Dan wahyu sekarang telah terputus. Maka barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mempercayainya dan mendekatkannya kepada kami. Dan rahasia pribadinya bukanlah urusan kami sedikitpun. Alllohlah yang akan memeriksanya atas rahasianya. Dan barangsiapa menampakkan kepada kami kejelekan, kamipun tak akan merasa aman dengannya dan tidak mempercayainya, meskipun dia bilang bahwasanya isi hatinya itu baik."
Apakah kamu lebih terbimbing dan lebih waro' (berhati-hati) daripada Kholifah yang terbimbing ini? Padahal Sang Kholifah ini tidaklah beliau menempuh suatu jalan yang lusa kecuali setan akan menempuh jalan luas yang lain .
Apakah kamu lebih terbimbing dan lebih waro' (berhati-hati) daripada Salaf yang mereka itu dulunya mengkhawatirkan diri mereka terjatuh ke dalam riya dan kemunafikan?" ("Majmu'atu Rududisy Syaikh Robi' 'ala Abil Hasan"/catatan kaki/hal. 414)
Beliau juga berkata,"Maka baik sangka kepada para penyeleweng, pelaku bid'ah dan kesesatan, merupakan penyelisihan terhadap manhaj Alloh -tabaroka wata'ala-. Maka wajib untuk berhati-hati terhadap mereka. Karena inilah maka Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
(( فإذا رأيتم من يتبع المتشابه فأولئك الذين لعن الله فاحذروهم )).
"Maka jika kalian melihat orang yang mengikuti ayat yang mengandung kesamaran, maka mereka itulah orang-orang yang dilaknat Alloh. Maka hati-hatilah dari mereka."
Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- tidak berkata,"maka berbaiksangkalah kalian pada mereka" sebagaimana perkataan kebanyakan pengekor hawa nafsu sekarang ini: "Kalian berbicara tentang niat orang, kalian berbicara tentang maksud hati orang".
Wahai saudaraku, jika kami lihat pada dirimu ada kerancuan dan kesesatan, maka kamu itu tertuduh. Alloh yang memperingatkan kami terhadap dirimu. Rosululloh juga memperingatkam kami terhadap dirimu. Maka bagaimana kami tidak bersikap waspada terhadapmu? Bagaimana kami berbaik sangka padamu sementara Alloh memperingatkan kami tentang jeleknya tujuanmu? Rosululloh juga memperingatkan kami terhadap dirimu.
Kenapa Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- tidak berbaik sangka pada mereka padahal mereka itu adalah para Shohabat, dan sebagiannya adalah pengikut perang Badr, dan mereka itu tertinggal dari perang karena suatu udzur, dan mereka telah menerangkan alasannya. Yang betul adalah "karena suatu sebab", kita tidak mengatakan "karena suatu udzur". Mereka telah menjelaskan hakikat ketertinggalan mereka pada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- sesuai kenyataan. Amak beliaupun bersabda:
أما هؤلاء فقد صدقوا ولكن نكل أمرهم إلى الله عز وجل، وحتى يقضي الله فيهم ما أراد سبحانه وتعالى
"Adapun mereka, maka mereka telah berkata jujur, tapi kita menyerahkan urusan mereka pada Alloh 'azza wajalla, sampai Alloh memutuskan tentang mereka apa yang dikehendakinya."
Maka Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk memboikot mereka sampai empat puluh hari. Dan setelah itu beliau mengirimkan utusan pada mereka agar menjauhi istri-istri mereka. Seluruh masyarakat memboikot mereka secara total. Sama sekali tiada orang yang mengajak mereka bicara. Istri-istri mereka tinggal bersama mereka dan bergaul bersama mereka. Lalu Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan mereka untuk menjauhi istri-istri mereka. Alloh yang sangat penyayang dan penuh belas kasihan, dan juga Rosul-Nya -shollallohu 'alaihi wasallam- yang penyayang dan belas kasihan memerintahkan mereka untuk mensikapi mereka dengan sikap seperti ini. Maka kehati-hatian terhadap ahli bid'ah, kebencian terhadap mereka, pemboikotan terhadap mereka, pemutusan hubungan dengan mereka inilah jalan yang benar demi menjaga orang-orang yang sehat dari kalangan Ahlussunnah agar tidak terjatuh ke dalam fitnah mereka.
Adapun bermudah-mudah kumpul dengan mereka, berbaik sangka dengan mereka, dan condong kepada mereka merupakan awal jalan kesesatan dan penyimpangan
﴿ولا تركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم النار﴾ ("الموقف الصحيح" ص11-12)
"Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zholim sehingga kalian tersentuh api neraka."
("Al Muqifush shohih" hal. 11-12)
Beliau -semoga Alloh menjaganya- juga berkata pada halaman 13-14:"Yang menghormati manhaj Salaf, menghormati aqidah salafiyyah, dan menghormati ahli manhaj ini –yang terdahulu ataupun yang belakangan- bagaimana berbaik sangka dan condong kepada ahli batil? Kalau kamu berkata: "Kitabulloh" maka justru Kitabulloh membantahmu. Jika kamu berkata: "Sunnah Rosululloh" maka dia itu justru argumentasi yang mengalahkan kamu. Jika kamu berkata: "Para imam Muslimin" maka justru sikap mereka telah diketahui bersama. Tulisan dan karya-karya mereka terkenal dalam bersikap keras terhadap ahli bid'ah, membenci mereka, dan memperingatkan umat dari mereka –terutama para imam Sunnah- seperti Malik, Al Auza'y, Asy Syafi'y, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin 'Uyainah, Abu Hatim, Abu Zur'ah, para imam Islam dan gunung (tokoh besar) sunnah. Mereka adalah teladan umat. Barangsiapa tidak meneladani mereka dan justru menyimpang dari jalan mereka maka -demi Alloh- dia itu benar-benar pengikut jalan setan dan bergelimang di dalam medan setan, meskipun dia mengaku-aku bagaimanapun juga."
Baik sangka terhadap orang yang punya tanda-tanda jelek merupakan sebab timbulnya bahaya
Alloh ta'ala berfirman:
﴿ اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ الله¬ [المجادلة/16]
"Dan mereka menjadikan sumpah mereka sebagai tameng, lalu mereka menghalangi orang dari jalan Alloh." (QS Al Mujadilah:16)
Imam Asy Syinqithy -semoga Alloh merohmatinya- berkata di dalam tafsir ayat ini: "Yaitu: dengan sebab mereka menjadikan sumpah mereka sebagai tameng untuk merahasiakan kekufuran mereka yang tersembunyi, mereka bisa menghalangi sebagian orang dari jalan Alloh, karena umat Islam menyangka mefreka itu adalah saudara dalam keadaan mereka itu musuh. Dan musuh yang paling jelek adalah orang yang kamu kira dia itu adalah teman dekat (padahal sebaliknya). Karena itulah Alloh memperingatkan nabi-Nya terhadap bahaya mereka dengan firman-Nya:
﴿ هُمُ العدو فاحذرهم﴾ [ المنافقون: 4]
"Mereka adalah musuh, maka waspadailah mereka." (QS Al Munafiqun: 4)
(kitab "Adhwa'ul Bayan" hal. 1801).
Dan sikap baik sangka yang salah tempat inilah yang menyebabkan racun Jama'ah Tabligh tersebar di muka bumi. Fadhilatusy Syaikh Hamud At Tuwaijry -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Maka hendaknya diketahui juga bahwasanya memberikan dukungan buat Tablighiyyun adalah suatu kesalahan dan merupakan bentuk dukungan kepada kebatilan yang telah disebutkan ada pada mereka. Dan dukungan yang diberikan oleh orang awam dan orang lain yang dianggap berilmu maka sebabnya adalah tertipunya mereka dengan Tablighiyyun, berbaik sangka pada mereka, dan terpesona dengan lahiriyyah perkataan mereka …" ("Al Qoulul Baligh" hal. 26).
Manhaj yang benar dalam persangkaan
Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
« الحلال بين والحرام بين ، وبينهما مشبهات لا يعلمها كثير من الناس ، فمن اتقى المشبهات استبرأ لدينه وعرضه ، ومن وقع فى الشبهات كراع يرعى حول الحمى ، يوشك أن يواقعه . ألا وإن لكل ملك حمى ، ألا إن حمى الله فى أرضه محارمه ، ألا وإن فى الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله . ألا وهى القلب »
Imam Ibnu Rojab Al Hanbaly -semoga Alloh merohmatinya- berkata dalam syaroh hadits ini
قال الإمام ابن رجب الحنبلي رحمه الله في شرح حديث « فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ»: وفي هذا دليل على أن من ارتكب الشبهات، فقد عرَّض نفسه للقدح فيه والطعن، كما قال بعض السلف: من عرَّض نفسه للتهم، فلا يلومنَّ من أساء به الظن اهـ ("جامع العلوم والحكم" /شرح حديث: "ومن اتق الشبهات فقد استبرء لدينه وعرضه")
Barangsiapa ingin pemahaman yang benar tentang dalil-dalil yang melarang buruk sangka, maka hendak nya dia kembali kepada penjelasan para imam.
Imam Ibnu Hajar -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Larangan buruk sangka itu hanyalah berlaku terhadap Muslim yang selamat dalam agamanya dan kehormatannya. Dulu Ibnu Umar berkata:
إِنَّا كُنَّا إِذَا فَقَدْنَا الرَّجُل فِي عِشَاء الْآخِرَة أَسَأْنَا بِهِ الظَّنّ ، وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يَغِيب إِلَّا لِأَمْرٍ سَيِّئ إِمَّا فِي بَدَنه وَإِمَّا فِي دِينه. ("فتح الباري" - (ج 17 / ص 236))
"Dulu kami jika tidak mendapati seseorang dalam sholat 'Isya yang terakhir kamipun berburuk sangka padanya."
Maknanya adalah: tidak ada orang yang bolos sholat 'Isya yang terakhir kecuali karena ada perkara yang buruk, baik itu dalam agamanya (ada kemunafikan) atau pada badannya (tubuhnya sakit)." ("Fathul Bari"/17/hal. 326)
Imam Ibnu Muflih -semoga Alloh merohmatinya- menyebutkan perkataan Al Mahdawy yang menukil pendapat mayoritas ulama bahwasanya persangkaan yang buruk terhadap orang yang lahiriyyahnya baik itu tidak boleh. Adapun dugaan yang jelek terhadap orang yang lahiriyyahnya jelek itu tidak mengapa.
Lalu beliau menukil ucapan Ibnu Hubairoh Al Wazir Al Hanbaly -semoga Alloh merohmatinya-: "Demi Alloh, tidaklah halal kita berbaik sangka pada orang menampakkan madzhab Rofidhoh, ataupun orang yang menyelisihi syariat sama sekali." (Al Adabusy Syari'ah/2/hal. 60).
Imam Abdurrohman As Sa'dy -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Sesungguhnya buruk sangka bersamaan dengan adanya faktor penyerta yang menunjukkan benarnya persangkaan tadi itu tidaklah terlarang dan tidak harom, karena Ya'qub berkata pada anak-anaknya setelah tidak mau melepaskan Yusuf bersama mereka hingga mereka membujuknya dengan memelas, [hingga akhirnya beliau melepaskannya bersama mereka], lalu mereka datang dan mendakwakan bahwasanya serigala telah memakannya, maka beliau berkata pada mereka:
﴿ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا﴾
"Bahkan hawa nafsu kalianlah yang menghiasi agar kalian berbuat sesuatu yang buruk" [QS Yusuf:18]
Dan beliau berkata pada mereka di dalam kasus saudara yang lain:
﴿هَلْ آمَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ﴾
"Bahkan hawa nafsu kalianlah yang menghiasi agar kalian berbuat sesuatu yang buruk" [QS Yusuf:83]
Ketika Yusuf menahan saudaranya itu di sisinya (di Mesir), dan datanglah para saudaranya kepada ayahnya (di Palestina, mengabarkan bahwasanya anaknya tak bias dibawa pulang sebagaimana yang dijanjikan), berkatalah sang ayah pada mereka:
﴿هَلْ آمَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ﴾
"Bahkan hawa nafsu kalianlah yang menghiasi agar kalian berbuat sesuatu yang buruk" [QS Yusuf:83]
Padahal mereka pada kali yang kedua ini –meskipun kali ini tidak bersalah- terjadi pada mereka perkara yang mengharuskan ayah mereka untuk mengucapkan perkataan tersebut, dan beliau tidak berdosa dan tidak disalahkan dengan ucapan tadi." ("Taisirul Karimir Rohman"/1/hal. 407)
Dan juga firman Alloh ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ [الحجرات : 12]
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari persangkaan, karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu dosa." (QS Al Hujurot: 12)
Tidaklah menunjukkan bahwasanya seluruh persangkaan itu terlarang.
Imam Ibnul 'Utsaimin -semoga Alloh merohmatinya- dalam tafsir ayat ini berkata,"Namun di dalam ayat ini Alloh ta'ala berfirman: "jauhilah kebanyakan dari persangkaan" bukannya berfirman: "jauhilah seluruh persangkaan", karena dugaan yang dibangun di atas (qoro'in) faktor-faktor penyerta itu tidak apa-apa. Dan ini merupakan tabiat manusia: jika dia mendapati faktor-faktor penyerta yang kuat yang mengharuskan baik sangka, atau buruk sangka, maka mau tidak mau dia akan tunduk
Kepada faktor-faktor penyerta ini. Dan yang demikian itu tidak mengapa, …" ("Syaroh Riyadhush Sholihin"/di bawah hadits (1570)).
Adapun dugaan yang kosong dari bukti ataupun faktor penguat, maka yang demikian itu bisa sangat berbahaya.
Abdulloh bin Umar -semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku mendengar Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ الله رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ».
"… dan barangsiapa berkata tentang seorang mukmin dengan suatu perkara yang tidak ada pada dirinya, maka Alloh akan menjadikan dia tinggal di dalam perasan penduduk neraka sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya." (HR Abu Dawud (3592) dan dishohihkan Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (755)).
BAB LIMA: TOBAT YANG JUJUR ITU DITERIMA
Banyak sekali pengekor hawa nafsu yang mengaku tobat pada saat terdesak atau dalam rangka mencari perhatian dan simpati orang. Tapi pada saat terbuka kesempatan diapun sengaja melakukan kebatilan lagi.
Pada saat Ahlussunnah Wal Jama'ah memperingatkan manusia agar berhati-hati terhadap pengakuan tobat dari orang yang belum jelas kejujurannya, ramai-ramailah para hizbiyyun menuduh Ahlussunnah sebagai kelompok kejam yang tidak menerima tobat orang yang bertobat. Padahal tidak demikian.
Orang yang bertobat dengan tulus, memenuhi syarat-syarat tobat, jujur di dalam pengakuannya, maka sungguh Alloh itu maha menyayangi dan maha menerima tobat. Alloh ta'ala berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rohmat Alloh, sesingguhnya Alloh itu mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia itulah Al Ghofur (Yang Maha Menerima Tobat) dan Ar Rohim (Yang Maha Penyayang)" [QS Az Zumar:53]
Imam Ibnul 'Utsaimin -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Akan tetapi permohonan ampunan itu bukanlah sekedar seseorang itu berkata,"Ya Alloh ampunilah aku." Bahkan tobatnya itu harus jujur, dengannya dia bertobat kepada Alloh 'Azza Wajalla." Dan tobat yang jujur itu adalah tobat yang di dalamnya terkumpul lima syarat:
Syarat pertama: orang tersebut harus ikhlas kepada Alloh 'Azza Wajalla di dalam tobatnya, dan bukanlah tobatnya itu dalam rangka mencari penglihatan manusia ataupun pendengaran mereka, dan bukan pula untuk mendekatkan diri pada mereka dengan suatu apapun. Hanyalah dia itu menginginkan tobat untuk rujuk pada Alloh secara hakikat. Ikhlas merupakan syarat untuk seluruh amalan. Dan di antara amal yang sholih adalah: tobat kepada Alloh 'Azza Wajalla sebagaimana firman Alloh ta'ala:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ (النور:31) .
"Dan bertobatlah kalian semua kepada Alloh wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung." [QS. An Nur: 31]
Syarat kedua: menyesali dosa yang dia terjatuh ke dalamnya, yaitu dalam bentuk bersedih, menyesalinya, dan tahu bahwasanya dia telah melakukan kesalahan sehingga dia menyesalinya. Adapun jika di sisinya sama saja antara berbuat salah ataupun tidak, maka ini ini bukanlah tobat. Maka dia harus menyesali dosa dengan hatinya dengan penyesalan yang dia itu berangan-angan untuk tidak terjatuh ke dalam dosa tersebut.
Syarat ketiga: Dia harus berhenti dari dari dosa tersebut. Tidak sah tobat yang disertai sikap terus-terusan di dalam dosa, sebagaimana firman Alloh ta'ala:
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ﴾ (آل عمران:135)
"Dan mereka tidak terus-menerus di dalam perbuatan mereka tadi dalam keadaan mereka mengetahuinya." [QS. Ali 'Imron: 135]
Adapun jika dia berkata bahwasanya dia itu telah bertobat dari dosa tadi tapi dia masih terus-menerus di dalam dosa tadi, maka dia itu adalah pendusta yang mengejek Alloh 'Azza Wajalla. Misalnya adalah jika dia berkata: Aku bertobat kepada Alloh dari ghibah. Tapi setiap kali dia duduk di suatu majelis dia menggunjing para hamba Alloh, maka dia itu dusta dalam tobatnya. Jika dia berkata: Aku bertobat pada Alloh dari riba. Tapi dia terus-menerus di dalam riba tadi, menjual dengan riba, membeli dengan riba, maka dia itu dusta dalam tobatnya. Jika dia berkata: Aku bertobat pada Alloh dari mendengar musik. Tapi dia terus-menerus mendengarnya, maka dia itu dusta dalam tobatnya. Jika dia berkata: "Aku bertobat pada Alloh dari mendurhakai Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam- dalam memelihara jenggot", dulu dia sering mencukurnya, dan dia berkata: "Aku bertobat pada Alloh dari mencukur jenggot" maka dia itu pendusta. Demikianlah seluruh maksiat jika seseorang it uterus-menerus mengerjakannya maka sungguh pengakuan tobatnya itu dusta, dan tobatnya tidak diterima.
Dan termasuk bentuk berhenti dan melepaskan diri dari dosa adalah: mengembalikan sesuatu yang dizholimi kepada orang yang berhak, jika maksiat tadi berkaitan dengan hak para hamba. Jika maksiat tadi dalam bentuk mengambil harta, maka dia wajib mengembalikan harta tadi kepada orang yang diambil hartanya. Jika si korban telah meninggal, maka wajib untuk mengembalikan harta tadi pada ahli warisnya. Jika tidak bisa untuk mengetahui ahli warisnya, atau pelakunya sudah lupa, dia pergi ke suatu tempat yang tak mungkin diketahui, misalnya orang itu adalah orang asing yang sudah pulang ke negrinya dan tidak diketahui di manakah dia. Maka dalam kondisi seperti ini hendaknya orang yang bertobat tadi menshodaqohkan harta tadi dengan niat untuk si pemilik harta yang mencarinya.
Jika dosa tadi adalah ghibah (gunjingan), dan si korban gunjingan tahu bahwasanya orang ini menggunjinginya, maka wajib baginya untuk mendatangi si korban dan minta dimaafkan. Dan seyogyanya si korban tadi jika saudaranya itu telah datang untuk minta maaf agar menerimanya dan memaafkannya. Jika saudaramu datang untuk minta maaf dan mengakui dosanya, maka maafkanlah dia.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ (المائدة:13)
"Sesungguhnya Alloh itu cinta orang yang berbuat kebaikan." [QS. Al Maidah: 13]
Tapi jika dia tidak mau menerima untuk memaafkan gunjingannya tadi kecuali dengan sedikit uang, maka berilah dia uang sampai merasa puas dan memaafkanmu.
Demikian pula jika maksiat dalam bentuk saling mencaci antara dirimu dan seseorang hingga engkau memukulnya misalkan, maka bentuk tobatnya adalah dengan cara engkau mendatanginya dan minta dimaafkan, dan engkau berkata: "Sekarang saya ada di hadapanmu, pukkullah saya sebagaimana saya memukulmu." Sampai dia memaafkanmu. Yang penting adalah: bahwasanya di antara bentuk melepaskan diri dari maksiat jika urusannya adalah dengan manusia hendaknhya engkau minta dimaafkan, sama saja kezholimannya itu harta, atau badan atau kehormatan.
Syarat keempat: bertekad untuk tidak mengulangi dosa tadi di masa yang akan datang. Jika dia bertobat dan berhenti dari dosa, tapi di dalam hatinya dia berniat jika datang kesempatan dia akan mengulangi dosanya. Maka yang demikian itu tidak diterima tobatnya. Ini adalah tobat yang yang bermain-main.
Jika dia bertekad untuk tidak mengulanginya, tapi ditaqdirkan bahwasanya hawa nafsunya menghiasinya untuk mengulanginya lagi setelah itu sehingga dia mengerjakan lagi dosa tadi, maka yang demikian itu tidak mengurangi tobatnya yang terdahulu, hanya saja dia butuh tobat yang baru dari dosa pada kali yang kedua.
Syarat kelima: tobat tadi dilakukan pada waktu yang di situ tobat masih diterima. Jika waktunya telah lewat maka tobat tadi tidak bermanfaat. Dan lewatnya waktu tobat adalah jika kematian telah datang. Jika kematian telah tiba maka tobat tidak sah, dan jika dia bertobat maka tidak bermanfaat baginya, karena firman Alloh ta'ala:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ﴾ (النساء:18)
"Dan tidaklah ada tobat bagi orang-orang yang selalu mengerjakan kejelekan, hingga pada saat kematian menghampiri salah seorang dari mereka dia berkata: "Sekarang aku bertobat."" [QS. An Nisa: 18]
Sekarang tobat tidak lagi berfaidah. Oleh karena itulah manakala Fir'aun ditengelamkan:
قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرائيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ﴾ (يونس:90)
"Dia berkata: Aku beriman bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Dzat yang disembah Bani Isroil, dan aku termasuk dari Muslimin." [QS. Yunus: 90]
Maka dikatakanlah padanya:
آلْآنَ﴾
"Sekarang"
Yaitu: Apakah kamu baru mengatakannya sekarang
وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ﴾ (يونس:91)
"dalam keadaan engkau telah durhaka sebelumnya, dan engkau termasuk dari para perusak." [QS. Yunus: 90]
Waktunya telah lewat. Oleh karena itu wajib bagi manusia untuk bersegera bertobat, Karen dia itu tidak tahu kapankah kematian datang dan mengejutkannya. Berapa banyak orang yang mati secara mendadak dan tiba-tiba. Maka hendaknya dia bertobat kepada Alloh sebelum lewat waktunya –sampai pada ucapan beliau:-
Inilah lima syarat tobat, yang tak mungkin tobat itu diterima kecuali dengannya. Maka wajib bagimu wahai saudaraku untuk bersegera bertobat kepada Alloh, kembali kepadanya, selama engkau masih di zaman yang lapang, sebelum engkau tidak lagi mendapatinya. Dan ketahuilah, jika engkau bertobat kepada Alloh dengan tobat yang Nashuh (jujur dan pasti), maka sungguh Alloh itu akan menerima tobatmu, dan bisa jadi akan mengangkatmu ke posisi yang lebih tinggi daripada posisimu sekarang, …" ("Syaroh Riyadhush Sholihin"/12/hal. 70-73).
Maka barangsiapa memenuhi syarat-syarat tobat, pastilah Alloh akan menerima tobatnya sekalipun terulang-ulang. Abu Huroiroh -semoga Alloh meridhoinya- berkata: Dari Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- yang meriwayatkan dari Robbnya 'Azza Wajalla:
«أذنب عبد ذنبا فقال: اللهم اغفر لي ذنبي فقال تبارك وتعالى أذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب فقال أي رب اغفر لي ذنبي فقال تبارك وتعالى عبدي أذنب ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب فقال أي رب اغفر لي ذنبي فقال تبارك وتعالى أذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب اعمل ما شئت فقد غفرت لك». ( صحيح مسلم - (2758))
"Ada seorang hamba berbuat dosa, lalu dia berkata: "Wahai Alloh ampunilah dosaku." Maka Alloh –tabaroka wata'ala- berfirman: "Hamba-Ku melakukan suatu dosa, lalu dia tahu bahwasanya dia punya Robb yang mengampuni dosa dan menghukum dikarenakan dosa." Lalu dia kembali membikin dosa, kemudian dia berkata: "Wahai Alloh ampunilah dosaku." Maka Alloh –tabaroka wata'ala- berfirman: "Hamba-Ku melakukan suatu dosa, lalu dia tahu bahwasanya dia punya Robb yang mengampuni dosa dan menghukum dikarenakan dosa." Lalu dia kembali membikin dosa, kemudian dia berkata: "Wahai Alloh ampunilah dosaku." Maka Alloh –tabaroka wata'ala- berfirman: "Hamba-Ku melakukan suatu dosa, lalu dia tahu bahwasanya dia punya Robb yang mengampuni dosa dan menghukum dikarenakan dosa. Maka silakan engkau beramal apa yang aku inginkan, aku telah mengampunimu." (HR. Muslim (2758)).
Imam An Nawawy -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Tobat dari dosa itu sah walaupun dia masih mengerjakan dosa yang lain. Jika dia bertobat dengan tobat yang shohih dengan syarat-syarat, lalu dia mengulang lagi dosa tadi, dicatatlah baginya dosa yang kedua.dan tobatnya tidak batal. Inilah madzhab Ahlisssunnah dalam dua masalah ini. Dan Mu'tazilah menyelisihi dalam dua masalah tadi. Para sahabat kami berkata,"Meskipun dosanya diulang lagi dan tobatnyapun terulang, maka tobatnya itu sah". …" ("Syarhun Nawawy 'ala Shohih Muslim"/9/hal. 107).
Al Qurthuby -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Hadits ini menunjukkan besarnya faidah istighfar, agungnya karunia Alloh, luasnya rohmat-Nya, kesabaran-Nya, dan kederwananan-Nya. Tidak diragukan bahwasanya istighfar ini bukanlah yang dia itu diucapkan dengan lidah saja, namun dia itu adalah istighfar yang maknanya kokoh di dalam hati sehingga dengannya terurailah simpul ishror (terus-terusan di dalam dosa), dan muncullah penyesalan atas dosa-dosa yang terjadi di masa silam. Jika demikian, maka istighfar ini merupakan penerjemah dari tobat dan ungkapan dari tobat … -sampai ucapan beliau:- adapun orang yang mengucapkan dengan lidahnya "Aku mohon ampun pada Alloh" tapi hatinya tetap terus di dalam kedurhakaannya, maka istighfarnya tadi membutuhkan istighfar, dan dosa kecilnya akan menyusul dosa besar, karena tiada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tiada dosa besar jika dimintakan ampunan." ("Al Mufhim"/7/di bawah nomor (2679)).
Ucapan Al Qurthuby -semoga Alloh merohmatinya- ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam "Fathul Bari" (21/hal. 89) secara makna dan didukungnya.
BAB ENAM: SYARIAT INI DITURUNKAN SEBAGAI ROHMAT
Perlu ditanamkan kepada umat ini bahwasanya Alloh ta'ala itu sangat penyayang kepada para hamba-Nya. Alloh ta'ala berfirman:
فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِين [يوسف : 64]
"Maka Alloh itulah yang terbaik sebagai penjaga, dan Dia itu Arhamur Rohimin (Yang Paling penyayang di antara para penyayang)." [QS. Yusuf: 64]
Alloh ta'ala itu lebih sayang kepada kita daripada diri kita sendiri. Umar Ibnul Khoththob -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
قدم على النبي صلى الله عليه و سلم سبي فإذا امرأة من السبي قد تحلب ثديها تسقي إذا وجدت صبيا في السبي أخذته فألصقته ببطنها وأرضعته فقال لنا النبي صلى الله عليه و سلم ( أترون هذه طارحة ولدها في النار ) . قلنا لا وهي تقدر على أن لا تطرحه فقال ( لله أرحم بعباده من هذه بولدها )
"Ada serombongan tawanan yang datang kepada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam-. Tiba-tiba ada seorang wanita dari tawanan tadi yang memeras susunya dan memberikan minum anak-anak. Jika dia mendapati seorang bayi diambillah bayi tadi dan ditempelkan ke perutnya dan disusuinya. Maka Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- berkata kepada kami: "Apakah kalian mengira bahwasanya wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam neraka?" Kami menjawab,"Tidak akan, dalam keadaan dia sanggup untuk tidak melemparkannya." Maka beliau bersabda: "Sungguh Alloh itu lebih penyayang kepada para hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya." (HR. Al Bukhory (5999) dan Muslim (2754)).
Umaimah binti Ruqoiqoh -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
بايعت رسول الله صلى الله عليه و سلم في نسوة فقال لنا فيما أستطعتن وأطقتن قلت الله ورسوله أرحم بنا منا بأنفسنا قلت يا رسول الله بايعنا قال سفيان تعني صافحنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنما قولي لمائة امرأة كقولي لامرأة واحدة
"Aku berbai'at kepada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersama sekelompok wanita, lalu beliau berkata kepada kami: "Sesanggup kalian dan semampu kalian." Maka aku berkata,"Alloh dan Rosulu-Nya lebih sayang kepada kami daripada kami kepada diri kami sendiri. Wahai Rosululloh, bai'atlah kami." –maksudnya adalah: "Jabatlah tangan kami."- maka Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda: "Ucapanku kepada seratus wanita itu sama dengan perkataan kepada satu wanita." (HR. At Tirmidzy (4/hal. 151) dan dishohihkan oleh Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (1531))
Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- kemudian menyebutkan tambahan dari riwayat Imam Ahmad:
إني لا أصافح النساء
"Sungguh aku tidak berjabatan tangan dengan wanita."
Abu Huroiroh -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
أتى النبي صلى الله عليه و سلم رجل ومعه صبي فجعل يضمه إليه فقال النبي صلى الله عليه و سلم أترحمه قال نعم قال فالله أرحم بك منك به وهو أرحم الراحمين.
"Ada seseorang mendatangi Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- dengan membawa bayi. Dipeluknya bayi itu. Maka Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- bertanya: "Apakah engkau menyayanginya?" dia menjawab,"Iya." Maka beliau bersabda: "Maka Alloh itu lebih penyayang kepadamu daripada engkau menyayangi anak itu. Dan Dia itu adalah Yang Paling penyayang di antara para penyayang." (HR Al Bukhory dalam "Adabul Mufrod" (1/hal. 137) dishohihkan oleh Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (1411)).
Jika demikian, maka Alloh ta'ala menurunkan syari'at-Nya adalah sebagai rohmat buat para hamba-Nya, bukan untuk menyusahkan mereka. Dialah yang menciptakan langit, bumi, dan manusia semuanya, dan Dialah yang paling tahu apa yang pantas, cocok, dan berguna buat mereka. Alloh ta'ala berfirman:
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى (2) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (3) تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَا [طه : 2 - 4]
"Tidaklah Kami turunkan kepadamu Al Qur'an agar kamu celaka, akan tetapi dia itu adalah peringatan bagi orang yang takut. Dia itu diturunkan dari Dzat yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi." (QS. Thoha:2-3).
Setelah menyebutkan keindahan syariat Islam, Imam Ibnul Qoyyim -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Maka perhatikanlah keserasian syariat yang sempurna ini yang keindahannya dan kesempurnaannya mengagumkan akal, fithroh bersaksi akan kedalaman hikmahnya, dan bahwasanya tidak ada syariat yang mengetuk alam ini yang lebih utama daripada syariat ini. Walaupun akal orang-orang yang berakal, dan fithroh orang yang pintar membikin suatu ide yang terbaik, tidaklah mungkin idenya tadi bisa mencapai apa yang dibawa oleh syariat ini." ("I'lamul Muwaqqi'in"/1/hal. 381).
Maka syariat di dalam penerimaan tobat bukanlah untuk menyusahkan umat, bahkan untuk menjaga umat agar tidak lagi tertipu secara harta atau jiwa dan agama oleh orang yang ternyata memakai topeng tobat sebagai siasat.
PENUTUP
Maka setelah kita sama-sama memperdalam memahami syariat dalam masalah tobat Mubtadi'ah, kami berharap para Muslimin menahan diri, dan jangan tergesa-gesa untuk menerima orang yang sudah keluar dari Salafiyyah, lalu beberapa tahun kemudian mengaku bertobat, hingga terbukti kejujurannya kembali ke manhaj Salaf secara bersih. Adapun jika dia justru menampilkan sikap yang mencurigakan seperti bekerja sama dengan sebagian Sururiyyun dan bergerombol menghadang pemerintah di depan umum, maka pernyataan tobatnya itu lebih pantas untuk dipertanyakan.
والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.
Akhir Jumadats Tsani 1431 H
Darul Hadits di Dammaj.
Ditulis oleh:
Abu Fairuz Abdurrohman bin Sukaya Al Qudsy
Al Indonesy
-semoga Alloh memaafkannya-
Darul Hadits Dammaj
Yaman
-Semoga Alloh menjaganya-
بسم الله الرحمن الرحيم
Kata Pengantar
Segala pujian yang sempurna bagi Alloh. Dan aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Alloh dan bahwasanya Muhammad itu adalah hamba dan utusan-Nya. Wahai Alloh limpahkanlah shalawat dan salam kepada Muhammad dan keluarganya, kemudian daripada itu:
Telah sampai kabar kepada kami tentang terjadinya perselisihan pendapat di antara para Salafiyyin di negeri kita Indonesia –semoga Alloh menjaganya- disebabkan oleh pengumuman tobat dari seorang pria yang dikenal punya pemikiran khowarij (berontak pada pemerintah) dan istihsanat (melakukan perkara yang tidak diajarkan oleh Al Qur'an, dan As Sunnah ataupun manhaj Salaf, hanya karena perkara itu dianggap baik menurut dirinya).
Akhuna Muhammad bin Umar -semoga Alloh menjaganya- berkata bahwa ada sebagian Salafiyyin yang bersegera menerima tobatnya, dan mengundangkan untuk muhadhoroh, dikarenakan Asy Syaikh Al 'Allamah Robi' Al Madkholy –semoga Alloh menjaganya- membolehkan untuk belajar kepadanya.
Adapun sebagian yang lain bersikap pelan-pelan dan berhati-hati dan tidak segera menerima tobat tadi dikarenakan masa lalunya yang telah diketahui bersama bahwasanya dia itu politikus, punya siasat yang banyak, juga kerasnya makar dia, peremehannya terhadap sebagian ulama Ahlussunnah, ketergesaan dirinya dalam masalah darah Muslimin.
Dan juga dikarenakan dirinya belum bertobat di hadapan Asy Syaikh Al 'Allamah Al Muhaddits Pemegang Bendera Sunnah dan Jarh-Ta'dil di Yaman: Syaikh Yahya bin Ali Al Hajury –semoga Alloh menjaganya-, sementara dia itu telah terbukti membangkang terhadap nasihat-nasihat beliau. Lagipula Syaikh Yahya Al Hajury –semoga Alloh menjaganya- sampai sekarang juga belum mencabut tahdziran beliau terhadap orang ini. Nama orang ini masih terpampang di kitab beliau "Syar'iyyatun Nush waz Zajr" : "Orang ini sekarang bersama hizbiyyun. Dulunya dia punya dakwah di Indonesia, lalu balik bersama hizbiyyun sehingga berubahlah dia dan hancurlah dakwahnya. Dua punya pemikiran penumpahan darah sebagaimana kabar dari sebagian pelajar Indonesia yang dulu menjadi pasukannya. Dia juga berfoto tanpa darurat, sering duduk-duduk dengan para politikus, dan meninggalkan para saudaranya Ahlussunnah dan berpaling dari mereka, …" (hal. 46). Setelah Syaikh mendapatinya tak peduli nasihat yang benar berkatalah beliau pada kami,"Sholatilah dirinya sebagaimana sholat jenazah (yakni: harus ditinggalkan)."
Maka kami akan menyampaikan nasihat terhadap masalah ini, agar semuanya berjalan di atas manhaj Salaf –sebagaimana pengakuan kita semua- dan selamat dari kemungkinan tertipu untuk kali berikutnya . Ini merupakan salah satu bentuk kasih sayang Ahlussunnah terhadap Muslimin. -semoga Alloh memberikan taufiq-:
Bab Pertama: Wajibnya Kembali Kepada Al Qur'an dan As Sunnah di dalam Perselisihan
Alloh ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا [النساء/59].
"Wahai orang-orang yang beriman taatlah kalian pada Alloh, dan taatlah pada Rosul dan para pemerintah di kalangan kalian. Jika kalian berselisih pendapat dalam suatu perkara pada kembalikanlah dia kepada Alloh dan Rosul-Nya jika kalian memang beriman pada Alloh dan Hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik dan lebih bagus kesudahannya." (QS An Nisa:59).
Maka wajib mencari hukum permasalahan kepada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- sebagaimana firman Alloh ta'ala:
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا [النساء : 65]
"Maka demi Robbmu mereka itu tidak beriman hingga menjadikan dirimu sebagai hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, lalu mereka tidak mendapati di dalam diri mereka rasa berat terhadap apa yang engkau putuskan, dan tunduk dengan sebenar-benar ketundukan." (QS An Nisa:65).
Bab Dua: Keharusan Untuk Kembali Pada Manhaj Salaf
Alloh ta'ala berfirman:
﴿فَإِنْ آَمَنُوا بِمِثْلِ مَا آَمَنْتُمْ بِهِ فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا هُمْ فِي شِقَاقٍ ﴾ [البقرة/137]
"Maka jika mereka beriman seperti apa yang kalian imani maka mereka pasti mendapatkan petunjuk. Tapi jika mereka berpaling maka mereka itu ada di dalam perpecahan." (QS Al Baqoroh: 137).
Alloh ta'ala:
﴿وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ... ﴾ [التوبة/100]
"Dan orang-orang yang terdahulu dan pertama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan Alloh telah ridho pada mereka, dan merekapun telah ridho pada Alloh…" (QS At Taubah:100).
Alloh ta'ala berfirman:
﴿وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا﴾ [النساء/115]
"Dan barangsiapa menyelisihi Rosul setelah jelas baginya petunjuk dan mengikuti selain jalan kaum mukminin, Kami akan memalingkannya kemanapun dia ingin berpaling, dan Kami akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu adalah sejelek-jelek tempat kembali." (QS An Nisa:115)
'Irbadh bin Sariyah -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ ثُمَّ أَقْبَلَ عَلَيْنَا فَوَعَظَنَا مَوْعِظَةً بَلِيغَةً ذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ وَوَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ فَقَالَ قَائِلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا فَقَالَ: « أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ». (أخرجه أبو داود (4609) وحسنه الإمام الوادعي رحمه الله في "الصحيح المسند" رقم (921)).
"Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- mengimami kami sholat pada suatu hari, lalu beliau berpaling menghadap ke arah kami, seraya memberikan petuah pada kami dengan petuah yang mendalam yang menyebabkan air mata kami berlinang, dan hati bergetar. Maka berkatalah seseorang,"Wahai Rosululloh seakan-akan ini merupakan petuah orang yang hendak berpisah. Maka apa wasiat Anda buat kami?" beliau bersabda: "Kuwasiatkan pada kalian untuk bertaqwa pada Alloh, juga mendengar dan taat walaupun yang memimpin kalian adalah budak Ethiopia. Yang demikian itu dikarenakan bahwasanya orang yang dipanjangkan umurnya dari kalian sepeninggalku dia itu akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang dengan sunnahku dan sunnah Khulafaur Rosyidin yang terbimbing sepeninggalku. Genggamlah sunnah itu, dan gigitlah dengan geraham kalian. Dan hindarilah perkara-perkara yang baru karena setiap perkara yang baru itu bid'ah, dan setiap bid'ah itu kesesatan." (HR Abu Dawud (4609) dan dihasankan oleh Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (921)).
Abu Qotadah semoga -Alloh meridhoinya- berkata: Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
«فإن يطيعوا أبا بكر وعمر يرشدوا ».
"Andaikata mereka mau menaati Abu Bakr dan Umar niscaya mereka terbimbing." (HSR Muslim (681))
Imam Ahmad bin Hanbal -semoga Alloh merohmatinya- berkata:
أصول السنة عندنا: التمسك بما كان عليهِ أصحابُ رسول الله - صلى الله عليه وسلم - والاقتداءُ بهم الخ.
"Pokok-pokok As Sunnah menurut kami adalah: berpegang dengan apa yang dulunya para Shohabat Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- ada di atasnya, dan meneladani mereka, …" ("Ushulus Sunnah"/Imam Ahmad/hal. 5)
Imam Al Auza'iy -semoga Alloh merohmatinya- berkata:
عليك بآثار من سلف، وإن رفضك الناس، وإياك وآراء الرجال، وإن زخرفوا لك بالقول اهـ.
"Kamu wajib untuk memegang jejak-jejak para Salaf meskipun manusia menolakmu. Dan jauhilah pendapat-pendapat para tokoh meskipun mereka menghiasinya di hadapanmu dengan perkataan." ("Asy Syari'ah"/Al Ajurry/no. 124/shohih)
BAB TIGA: SIKAP SALAF TERHADAP TOBAT AHLI BID'AH
Dikarenakan sedikitnya ahlu bid'ah yang mendapatkan taufiq untuk bertobat dan jujur dalam pengakuan tobatnya, maka para Salaf -semoga Alloh merohmati mereka- tidak mau menerima pengakuan tadi sampai jelas kejujurannya.
Sulaiman bin Yasar -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Ada seseorang dari Bani Tamim yang bernama Shobigh bin 'Isl tiba di Madinah dengan membawa beberapa kitab. Lalu mulailah dia bertanya tentang ayat-ayat Qur'an yang mutasyabih (samar-samar) –untuk menimbulkan keraguan-. Lalu sampailah berita itu pada Umar, sehingga beliau mengutus orang untuk memanggilnya, dan beliau telah mempersiapkan pelepah kurma untuknya. Manakala dia masuk menghadap beliau dan duduk, bertanyalah beliau padanya,"Siapakah kamu?" Dia berkata,"Saya Shobigh." Umar berkata,"Aku Umar, hamba Alloh." Lalu beliau mendekatinya seraya memukulinya dengan pelepah kurma tadi hingga melukai kepalanya. Darahpun mengalir di wajahnya. Maka diapun berkata,"Cukup wahai Amirul Mukminin, demi Alloh, apa yang dulunya kudapati ada di kepalaku telah hilang." (Al Ibanatul Kubro/Ibnu Baththoh/2/hal. 309/shohih).
Dalam riwayat lain: "… lalu beliau menulis surat kepada penduduk Bashroh agar tidak duduk-duduk dengan Shobigh. Seandainya dia duduk di majelis kami dalam keadaan kami itu seratus orang niscaya kami semua meninggalkannya." (Al Ibanatul Kubro/Ibnu Baththoh/2/hal. 350/shohih).
Sisi pendalilannya adalah : bahwasanya Amirul Mukminin Umar Ibnul Khoththob -semoga Alloh meridhoinya- tidak merasa cukup dengan pengakuan rujuk si Shobigh, bahkan menulis surat agar semua memboikotnya sampai jelas kejujurannya.
Imam Ahmad -semoga Alloh merohmatinya- berkata tentang tobat ahli bid'ah, "Jika ahli bid'ah bertobat, penerimaan tobatnya itu ditunda setahun sampai benar tobatnya." ("Al Adabusy Syar'iyyah"/hal. 145).
Al Qodhi Abul Husain setelah menyebutkan riwayat ini dan yang lainnya berkata,"Lahiriyah dari perkataan ini adalah bahwasanya tobat orang tadi diterima setelah pengakuannya dan pemboikotan orang yang menemaninya, setelah satu tahun." ("Al Adabusy Syar'iyyah"/hal. 145).
Kukatakan –semoga Alloh memberiku taufiq-: Ukuran satu tahun itu tidaklah mutlak. Yang penting adalah jelasnya kejujuran orang yang mengaku tobat tadi.
Ibnu Hajar -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Adapun hukum yang kedua –yaitu kapankah jelasnya tobat pelaku maksiat?- maka para ulama itu berselisih pendapat juga. Ada yang berkata,"dilihat kebersihannya selama setahun". Ada yang berkata,"Enam bulan." Ada yang bilang, "Limapuluh hari sebagaimana dalam kisah Ka'ab -bin Malik-." Ada yang bilang,"Tiada batasan yang tertentu. Akan tetapi dia itu berdasarkan dengan ada faktor penyerta yang menunjukkan kejujuran pengakuan tobatnya. Akan tetapi yang demikian itu tidak cukup satu jam atau satu hari saja. Dan juga yang demikian itu berbeda-beda sesuai dengan perbedaan kriminalitas dan pelakunya." Ad Dawudy membantah orang yang membatasinya dengan lima puluh hari karena mengambil kisah Ka'b. beliau berkata,"Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- tidak membatasinya dengan lima puluh hari. Namun beliau menunda berbicara dengan mereka sampai Alloh mengidzinkannya." Yaitu: Kisah itu merupakan kejadian khusus, maka tidak bisa dipakai untuk dalil umum.
An Nawawy berkata,"Adapun mubtadi' dan orang yang membikin suatu dosa besar dan dia belum bertobat darinya, maka dia itu jangan disalami, dan jangan dijawab salamnya, sebagaimana pendapat sekelompok ulama. Al Bukhory mendukung pendapat tadi dengan dalil kisah Ka'b bin Malik."
Pembatasan pendapat tadi dengan ucapan beliau "bagi orang yang belum bertobat" itu bagus. Akan tetapi pendalilannya dengan kisah Ka'b perlu diteliti lagi, karena Ka'b telah menyesali perbuatannya dan bertobat. Namun Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- menunda berbicara dengannya sampai Alloh menunda tobatnya . Maka kasusnya adalah bahwasanya dia itu tidak diajak bicara sampai tobatnya itu diterima .
Bisa kita menjawab: bahwasanya mungkin saja kita mengetahui penerimaan tobat di dalam kisah Ka'b. Adapun setelah Ka'b, maka cukuplah dengan penampakan alamat penyesalan, berhenti dari kejahatannya, dan adanya tanda kejujuran tobatnya." ("Fathul Bari"/17/hal. 485).
Syaikh Robi' -semoga Alloh menjaganya- berkata,"Jika Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk memboikot Shohabat yang tertinggal dari perang Tabuk sampai setelah tobatnya mereka, dalam keadaan mereka tidak bergelimang dalam fitnah ini, dan tidak menggerakkannya, bahkan mereka itu telah bertobat, menyesal, dan mengaku. Bersamaan dengan itu manakala mereka terjatuh di dalam penyelisihan perintah Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam-, karena mereka tertuduh di dalam kasus tersebut, dan bias jadi mereka tertuduh dengan kemunafikan." ("Al Mauqifush Shohih" /hal. 11).
Syaikh Robi' -semoga Alloh menjaganya- berkata,"Andaikata kita langsung mengambil pengakuan rujuk dan tobat yang batil dengan penuh penerimaan, tidak mungkin seorang pengikut kelompok sesat itu bisa dihukum berdasarkan kebid'ahan dan kesesatan yang ditulisnya di dalam kitab-kitabnya, karena dengan sangat mudah untuk dikatakan tentang seorang mubtadi' manapun yang menulis kebid'ahan: "Dia itu telah rujuk dari kebid'ahan tadi!" dan ini akan membuka pintu-pintu kerusakan yang tidak diketahui kecuali oleh Alloh." ("Adhwa'un Islamiyyah."/hal. 180)
BAB EMPAT: MASALAH BAIK SANGKA
Baik sangka terhadap orang yang aslinya baik itu wajib. Alloh ta'ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ [الحجرات : 12]
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari persangkaan, karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu dosa." (QS Al Hujurot: 12)
Dari Abu Huroiroh -semoga Alloh meridhoinya-, dari Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- yang bersabda:
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث
"Hindarilah persangkaan, karena sesungguhnya persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta." (HR Al Bukhori dan Muslim).
Akan tetapi orang yang telah jelas kejahatannya, dan para ulama telah menghukuminya sebagai ahli bid'ah, lalu dia menampakkan tobat, bukanlah merupakan manhaj Salaf pewajiban untuk baik sangka, sampai jelas kejujuran tobatnya. Lihatlah kembali bagaimana sikap Salaf terhadap mubtadi' yang mengaku tobat.
Kemudian kita dapati bahwasanya seruan untuk berbaik sangka kepada ahli bid'ah itu telah menjadi syiar para hizbiyyin dalam rangka menjatuhkan persaksian orang-orang yang bersaksi terhadap kebatilan mereka. Syaikh Robi' bin Hadi Al Madkholy -semoga Alloh menjaganya- telah menyebutkan syubhat 'Adnan 'Ar'ur: "Kita semestinya berangkat dari dasar baik sangka, bukannya buruk sangka…" ("Daf'u Baghyi 'Adnan"/hal. 7-8).
Di dalam bantahan beliau terhadap Abul Hasan Al Ma'riby berkatalah Syaikh Robi' bin Hadi Al Madkholy -semoga Alloh menjaganya-,"Memang benar, saudara itu perlu disikapi dengan baik sangka. Tapi jika dia menampakkan kejahatan dan kezholiman, maka di dalam agama yang manakah engkau mewajibkan baik sangka kepadanya? Tidakkah engkau ingat ucapan Kholifah yang lurus (Umar):
إن الناس كانوا يؤخذون بالوحي وإن الوحي قد انقطع فمن أظهر خيراً أمناه وقربناه وليس إلينا من سريرته شيء ، والله يحاسبه في سريرته ومن أظهر لنا سوءً لم نأمنه ولم نصدقه ، وإن قال : إن سريرته حسنة
"Sesungguhnya manusia itu dulunya dihukumi berdasarkan wahyu. Dan wahyu sekarang telah terputus. Maka barangsiapa menampakkan kebaikan, kami akan mempercayainya dan mendekatkannya kepada kami. Dan rahasia pribadinya bukanlah urusan kami sedikitpun. Alllohlah yang akan memeriksanya atas rahasianya. Dan barangsiapa menampakkan kepada kami kejelekan, kamipun tak akan merasa aman dengannya dan tidak mempercayainya, meskipun dia bilang bahwasanya isi hatinya itu baik."
Apakah kamu lebih terbimbing dan lebih waro' (berhati-hati) daripada Kholifah yang terbimbing ini? Padahal Sang Kholifah ini tidaklah beliau menempuh suatu jalan yang lusa kecuali setan akan menempuh jalan luas yang lain .
Apakah kamu lebih terbimbing dan lebih waro' (berhati-hati) daripada Salaf yang mereka itu dulunya mengkhawatirkan diri mereka terjatuh ke dalam riya dan kemunafikan?" ("Majmu'atu Rududisy Syaikh Robi' 'ala Abil Hasan"/catatan kaki/hal. 414)
Beliau juga berkata,"Maka baik sangka kepada para penyeleweng, pelaku bid'ah dan kesesatan, merupakan penyelisihan terhadap manhaj Alloh -tabaroka wata'ala-. Maka wajib untuk berhati-hati terhadap mereka. Karena inilah maka Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
(( فإذا رأيتم من يتبع المتشابه فأولئك الذين لعن الله فاحذروهم )).
"Maka jika kalian melihat orang yang mengikuti ayat yang mengandung kesamaran, maka mereka itulah orang-orang yang dilaknat Alloh. Maka hati-hatilah dari mereka."
Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- tidak berkata,"maka berbaiksangkalah kalian pada mereka" sebagaimana perkataan kebanyakan pengekor hawa nafsu sekarang ini: "Kalian berbicara tentang niat orang, kalian berbicara tentang maksud hati orang".
Wahai saudaraku, jika kami lihat pada dirimu ada kerancuan dan kesesatan, maka kamu itu tertuduh. Alloh yang memperingatkan kami terhadap dirimu. Rosululloh juga memperingatkam kami terhadap dirimu. Maka bagaimana kami tidak bersikap waspada terhadapmu? Bagaimana kami berbaik sangka padamu sementara Alloh memperingatkan kami tentang jeleknya tujuanmu? Rosululloh juga memperingatkan kami terhadap dirimu.
Kenapa Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- tidak berbaik sangka pada mereka padahal mereka itu adalah para Shohabat, dan sebagiannya adalah pengikut perang Badr, dan mereka itu tertinggal dari perang karena suatu udzur, dan mereka telah menerangkan alasannya. Yang betul adalah "karena suatu sebab", kita tidak mengatakan "karena suatu udzur". Mereka telah menjelaskan hakikat ketertinggalan mereka pada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- sesuai kenyataan. Amak beliaupun bersabda:
أما هؤلاء فقد صدقوا ولكن نكل أمرهم إلى الله عز وجل، وحتى يقضي الله فيهم ما أراد سبحانه وتعالى
"Adapun mereka, maka mereka telah berkata jujur, tapi kita menyerahkan urusan mereka pada Alloh 'azza wajalla, sampai Alloh memutuskan tentang mereka apa yang dikehendakinya."
Maka Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan untuk memboikot mereka sampai empat puluh hari. Dan setelah itu beliau mengirimkan utusan pada mereka agar menjauhi istri-istri mereka. Seluruh masyarakat memboikot mereka secara total. Sama sekali tiada orang yang mengajak mereka bicara. Istri-istri mereka tinggal bersama mereka dan bergaul bersama mereka. Lalu Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- memerintahkan mereka untuk menjauhi istri-istri mereka. Alloh yang sangat penyayang dan penuh belas kasihan, dan juga Rosul-Nya -shollallohu 'alaihi wasallam- yang penyayang dan belas kasihan memerintahkan mereka untuk mensikapi mereka dengan sikap seperti ini. Maka kehati-hatian terhadap ahli bid'ah, kebencian terhadap mereka, pemboikotan terhadap mereka, pemutusan hubungan dengan mereka inilah jalan yang benar demi menjaga orang-orang yang sehat dari kalangan Ahlussunnah agar tidak terjatuh ke dalam fitnah mereka.
Adapun bermudah-mudah kumpul dengan mereka, berbaik sangka dengan mereka, dan condong kepada mereka merupakan awal jalan kesesatan dan penyimpangan
﴿ولا تركنوا إلى الذين ظلموا فتمسكم النار﴾ ("الموقف الصحيح" ص11-12)
"Dan janganlah kalian condong kepada orang-orang yang zholim sehingga kalian tersentuh api neraka."
("Al Muqifush shohih" hal. 11-12)
Beliau -semoga Alloh menjaganya- juga berkata pada halaman 13-14:"Yang menghormati manhaj Salaf, menghormati aqidah salafiyyah, dan menghormati ahli manhaj ini –yang terdahulu ataupun yang belakangan- bagaimana berbaik sangka dan condong kepada ahli batil? Kalau kamu berkata: "Kitabulloh" maka justru Kitabulloh membantahmu. Jika kamu berkata: "Sunnah Rosululloh" maka dia itu justru argumentasi yang mengalahkan kamu. Jika kamu berkata: "Para imam Muslimin" maka justru sikap mereka telah diketahui bersama. Tulisan dan karya-karya mereka terkenal dalam bersikap keras terhadap ahli bid'ah, membenci mereka, dan memperingatkan umat dari mereka –terutama para imam Sunnah- seperti Malik, Al Auza'y, Asy Syafi'y, Sufyan Ats Tsaury, Sufyan bin 'Uyainah, Abu Hatim, Abu Zur'ah, para imam Islam dan gunung (tokoh besar) sunnah. Mereka adalah teladan umat. Barangsiapa tidak meneladani mereka dan justru menyimpang dari jalan mereka maka -demi Alloh- dia itu benar-benar pengikut jalan setan dan bergelimang di dalam medan setan, meskipun dia mengaku-aku bagaimanapun juga."
Baik sangka terhadap orang yang punya tanda-tanda jelek merupakan sebab timbulnya bahaya
Alloh ta'ala berfirman:
﴿ اتَّخَذُوا أَيْمَانَهُمْ جُنَّةً فَصَدُّوا عَنْ سَبِيلِ الله¬ [المجادلة/16]
"Dan mereka menjadikan sumpah mereka sebagai tameng, lalu mereka menghalangi orang dari jalan Alloh." (QS Al Mujadilah:16)
Imam Asy Syinqithy -semoga Alloh merohmatinya- berkata di dalam tafsir ayat ini: "Yaitu: dengan sebab mereka menjadikan sumpah mereka sebagai tameng untuk merahasiakan kekufuran mereka yang tersembunyi, mereka bisa menghalangi sebagian orang dari jalan Alloh, karena umat Islam menyangka mefreka itu adalah saudara dalam keadaan mereka itu musuh. Dan musuh yang paling jelek adalah orang yang kamu kira dia itu adalah teman dekat (padahal sebaliknya). Karena itulah Alloh memperingatkan nabi-Nya terhadap bahaya mereka dengan firman-Nya:
﴿ هُمُ العدو فاحذرهم﴾ [ المنافقون: 4]
"Mereka adalah musuh, maka waspadailah mereka." (QS Al Munafiqun: 4)
(kitab "Adhwa'ul Bayan" hal. 1801).
Dan sikap baik sangka yang salah tempat inilah yang menyebabkan racun Jama'ah Tabligh tersebar di muka bumi. Fadhilatusy Syaikh Hamud At Tuwaijry -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Maka hendaknya diketahui juga bahwasanya memberikan dukungan buat Tablighiyyun adalah suatu kesalahan dan merupakan bentuk dukungan kepada kebatilan yang telah disebutkan ada pada mereka. Dan dukungan yang diberikan oleh orang awam dan orang lain yang dianggap berilmu maka sebabnya adalah tertipunya mereka dengan Tablighiyyun, berbaik sangka pada mereka, dan terpesona dengan lahiriyyah perkataan mereka …" ("Al Qoulul Baligh" hal. 26).
Manhaj yang benar dalam persangkaan
Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
« الحلال بين والحرام بين ، وبينهما مشبهات لا يعلمها كثير من الناس ، فمن اتقى المشبهات استبرأ لدينه وعرضه ، ومن وقع فى الشبهات كراع يرعى حول الحمى ، يوشك أن يواقعه . ألا وإن لكل ملك حمى ، ألا إن حمى الله فى أرضه محارمه ، ألا وإن فى الجسد مضغة إذا صلحت صلح الجسد كله ، وإذا فسدت فسد الجسد كله . ألا وهى القلب »
Imam Ibnu Rojab Al Hanbaly -semoga Alloh merohmatinya- berkata dalam syaroh hadits ini
قال الإمام ابن رجب الحنبلي رحمه الله في شرح حديث « فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ وَعِرْضِهِ»: وفي هذا دليل على أن من ارتكب الشبهات، فقد عرَّض نفسه للقدح فيه والطعن، كما قال بعض السلف: من عرَّض نفسه للتهم، فلا يلومنَّ من أساء به الظن اهـ ("جامع العلوم والحكم" /شرح حديث: "ومن اتق الشبهات فقد استبرء لدينه وعرضه")
Barangsiapa ingin pemahaman yang benar tentang dalil-dalil yang melarang buruk sangka, maka hendak nya dia kembali kepada penjelasan para imam.
Imam Ibnu Hajar -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Larangan buruk sangka itu hanyalah berlaku terhadap Muslim yang selamat dalam agamanya dan kehormatannya. Dulu Ibnu Umar berkata:
إِنَّا كُنَّا إِذَا فَقَدْنَا الرَّجُل فِي عِشَاء الْآخِرَة أَسَأْنَا بِهِ الظَّنّ ، وَمَعْنَاهُ أَنَّهُ لَا يَغِيب إِلَّا لِأَمْرٍ سَيِّئ إِمَّا فِي بَدَنه وَإِمَّا فِي دِينه. ("فتح الباري" - (ج 17 / ص 236))
"Dulu kami jika tidak mendapati seseorang dalam sholat 'Isya yang terakhir kamipun berburuk sangka padanya."
Maknanya adalah: tidak ada orang yang bolos sholat 'Isya yang terakhir kecuali karena ada perkara yang buruk, baik itu dalam agamanya (ada kemunafikan) atau pada badannya (tubuhnya sakit)." ("Fathul Bari"/17/hal. 326)
Imam Ibnu Muflih -semoga Alloh merohmatinya- menyebutkan perkataan Al Mahdawy yang menukil pendapat mayoritas ulama bahwasanya persangkaan yang buruk terhadap orang yang lahiriyyahnya baik itu tidak boleh. Adapun dugaan yang jelek terhadap orang yang lahiriyyahnya jelek itu tidak mengapa.
Lalu beliau menukil ucapan Ibnu Hubairoh Al Wazir Al Hanbaly -semoga Alloh merohmatinya-: "Demi Alloh, tidaklah halal kita berbaik sangka pada orang menampakkan madzhab Rofidhoh, ataupun orang yang menyelisihi syariat sama sekali." (Al Adabusy Syari'ah/2/hal. 60).
Imam Abdurrohman As Sa'dy -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Sesungguhnya buruk sangka bersamaan dengan adanya faktor penyerta yang menunjukkan benarnya persangkaan tadi itu tidaklah terlarang dan tidak harom, karena Ya'qub berkata pada anak-anaknya setelah tidak mau melepaskan Yusuf bersama mereka hingga mereka membujuknya dengan memelas, [hingga akhirnya beliau melepaskannya bersama mereka], lalu mereka datang dan mendakwakan bahwasanya serigala telah memakannya, maka beliau berkata pada mereka:
﴿ بَلْ سَوَّلَتْ لَكُمْ أَنْفُسُكُمْ أَمْرًا﴾
"Bahkan hawa nafsu kalianlah yang menghiasi agar kalian berbuat sesuatu yang buruk" [QS Yusuf:18]
Dan beliau berkata pada mereka di dalam kasus saudara yang lain:
﴿هَلْ آمَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ﴾
"Bahkan hawa nafsu kalianlah yang menghiasi agar kalian berbuat sesuatu yang buruk" [QS Yusuf:83]
Ketika Yusuf menahan saudaranya itu di sisinya (di Mesir), dan datanglah para saudaranya kepada ayahnya (di Palestina, mengabarkan bahwasanya anaknya tak bias dibawa pulang sebagaimana yang dijanjikan), berkatalah sang ayah pada mereka:
﴿هَلْ آمَنُكُمْ عَلَيْهِ إِلا كَمَا أَمِنْتُكُمْ عَلَى أَخِيهِ مِنْ قَبْلُ﴾
"Bahkan hawa nafsu kalianlah yang menghiasi agar kalian berbuat sesuatu yang buruk" [QS Yusuf:83]
Padahal mereka pada kali yang kedua ini –meskipun kali ini tidak bersalah- terjadi pada mereka perkara yang mengharuskan ayah mereka untuk mengucapkan perkataan tersebut, dan beliau tidak berdosa dan tidak disalahkan dengan ucapan tadi." ("Taisirul Karimir Rohman"/1/hal. 407)
Dan juga firman Alloh ta'ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ [الحجرات : 12]
"Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari persangkaan, karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu dosa." (QS Al Hujurot: 12)
Tidaklah menunjukkan bahwasanya seluruh persangkaan itu terlarang.
Imam Ibnul 'Utsaimin -semoga Alloh merohmatinya- dalam tafsir ayat ini berkata,"Namun di dalam ayat ini Alloh ta'ala berfirman: "jauhilah kebanyakan dari persangkaan" bukannya berfirman: "jauhilah seluruh persangkaan", karena dugaan yang dibangun di atas (qoro'in) faktor-faktor penyerta itu tidak apa-apa. Dan ini merupakan tabiat manusia: jika dia mendapati faktor-faktor penyerta yang kuat yang mengharuskan baik sangka, atau buruk sangka, maka mau tidak mau dia akan tunduk
Kepada faktor-faktor penyerta ini. Dan yang demikian itu tidak mengapa, …" ("Syaroh Riyadhush Sholihin"/di bawah hadits (1570)).
Adapun dugaan yang kosong dari bukti ataupun faktor penguat, maka yang demikian itu bisa sangat berbahaya.
Abdulloh bin Umar -semoga Alloh meridhoi keduanya- berkata: Aku mendengar Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda:
وَمَنْ قَالَ فِى مُؤْمِنٍ مَا لَيْسَ فِيهِ أَسْكَنَهُ الله رَدْغَةَ الْخَبَالِ حَتَّى يَخْرُجَ مِمَّا قَالَ».
"… dan barangsiapa berkata tentang seorang mukmin dengan suatu perkara yang tidak ada pada dirinya, maka Alloh akan menjadikan dia tinggal di dalam perasan penduduk neraka sampai dia keluar dari apa yang diucapkannya." (HR Abu Dawud (3592) dan dishohihkan Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (755)).
BAB LIMA: TOBAT YANG JUJUR ITU DITERIMA
Banyak sekali pengekor hawa nafsu yang mengaku tobat pada saat terdesak atau dalam rangka mencari perhatian dan simpati orang. Tapi pada saat terbuka kesempatan diapun sengaja melakukan kebatilan lagi.
Pada saat Ahlussunnah Wal Jama'ah memperingatkan manusia agar berhati-hati terhadap pengakuan tobat dari orang yang belum jelas kejujurannya, ramai-ramailah para hizbiyyun menuduh Ahlussunnah sebagai kelompok kejam yang tidak menerima tobat orang yang bertobat. Padahal tidak demikian.
Orang yang bertobat dengan tulus, memenuhi syarat-syarat tobat, jujur di dalam pengakuannya, maka sungguh Alloh itu maha menyayangi dan maha menerima tobat. Alloh ta'ala berfirman:
قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَى أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
"Katakanlah: Wahai para hamba-Ku yang melampaui batas dirinya sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rohmat Alloh, sesingguhnya Alloh itu mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia itulah Al Ghofur (Yang Maha Menerima Tobat) dan Ar Rohim (Yang Maha Penyayang)" [QS Az Zumar:53]
Imam Ibnul 'Utsaimin -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Akan tetapi permohonan ampunan itu bukanlah sekedar seseorang itu berkata,"Ya Alloh ampunilah aku." Bahkan tobatnya itu harus jujur, dengannya dia bertobat kepada Alloh 'Azza Wajalla." Dan tobat yang jujur itu adalah tobat yang di dalamnya terkumpul lima syarat:
Syarat pertama: orang tersebut harus ikhlas kepada Alloh 'Azza Wajalla di dalam tobatnya, dan bukanlah tobatnya itu dalam rangka mencari penglihatan manusia ataupun pendengaran mereka, dan bukan pula untuk mendekatkan diri pada mereka dengan suatu apapun. Hanyalah dia itu menginginkan tobat untuk rujuk pada Alloh secara hakikat. Ikhlas merupakan syarat untuk seluruh amalan. Dan di antara amal yang sholih adalah: tobat kepada Alloh 'Azza Wajalla sebagaimana firman Alloh ta'ala:
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعاً أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾ (النور:31) .
"Dan bertobatlah kalian semua kepada Alloh wahai orang-orang yang beriman agar kalian beruntung." [QS. An Nur: 31]
Syarat kedua: menyesali dosa yang dia terjatuh ke dalamnya, yaitu dalam bentuk bersedih, menyesalinya, dan tahu bahwasanya dia telah melakukan kesalahan sehingga dia menyesalinya. Adapun jika di sisinya sama saja antara berbuat salah ataupun tidak, maka ini ini bukanlah tobat. Maka dia harus menyesali dosa dengan hatinya dengan penyesalan yang dia itu berangan-angan untuk tidak terjatuh ke dalam dosa tersebut.
Syarat ketiga: Dia harus berhenti dari dari dosa tersebut. Tidak sah tobat yang disertai sikap terus-terusan di dalam dosa, sebagaimana firman Alloh ta'ala:
وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ﴾ (آل عمران:135)
"Dan mereka tidak terus-menerus di dalam perbuatan mereka tadi dalam keadaan mereka mengetahuinya." [QS. Ali 'Imron: 135]
Adapun jika dia berkata bahwasanya dia itu telah bertobat dari dosa tadi tapi dia masih terus-menerus di dalam dosa tadi, maka dia itu adalah pendusta yang mengejek Alloh 'Azza Wajalla. Misalnya adalah jika dia berkata: Aku bertobat kepada Alloh dari ghibah. Tapi setiap kali dia duduk di suatu majelis dia menggunjing para hamba Alloh, maka dia itu dusta dalam tobatnya. Jika dia berkata: Aku bertobat pada Alloh dari riba. Tapi dia terus-menerus di dalam riba tadi, menjual dengan riba, membeli dengan riba, maka dia itu dusta dalam tobatnya. Jika dia berkata: Aku bertobat pada Alloh dari mendengar musik. Tapi dia terus-menerus mendengarnya, maka dia itu dusta dalam tobatnya. Jika dia berkata: "Aku bertobat pada Alloh dari mendurhakai Rosul -shollallohu 'alaihi wasallam- dalam memelihara jenggot", dulu dia sering mencukurnya, dan dia berkata: "Aku bertobat pada Alloh dari mencukur jenggot" maka dia itu pendusta. Demikianlah seluruh maksiat jika seseorang it uterus-menerus mengerjakannya maka sungguh pengakuan tobatnya itu dusta, dan tobatnya tidak diterima.
Dan termasuk bentuk berhenti dan melepaskan diri dari dosa adalah: mengembalikan sesuatu yang dizholimi kepada orang yang berhak, jika maksiat tadi berkaitan dengan hak para hamba. Jika maksiat tadi dalam bentuk mengambil harta, maka dia wajib mengembalikan harta tadi kepada orang yang diambil hartanya. Jika si korban telah meninggal, maka wajib untuk mengembalikan harta tadi pada ahli warisnya. Jika tidak bisa untuk mengetahui ahli warisnya, atau pelakunya sudah lupa, dia pergi ke suatu tempat yang tak mungkin diketahui, misalnya orang itu adalah orang asing yang sudah pulang ke negrinya dan tidak diketahui di manakah dia. Maka dalam kondisi seperti ini hendaknya orang yang bertobat tadi menshodaqohkan harta tadi dengan niat untuk si pemilik harta yang mencarinya.
Jika dosa tadi adalah ghibah (gunjingan), dan si korban gunjingan tahu bahwasanya orang ini menggunjinginya, maka wajib baginya untuk mendatangi si korban dan minta dimaafkan. Dan seyogyanya si korban tadi jika saudaranya itu telah datang untuk minta maaf agar menerimanya dan memaafkannya. Jika saudaramu datang untuk minta maaf dan mengakui dosanya, maka maafkanlah dia.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴾ (المائدة:13)
"Sesungguhnya Alloh itu cinta orang yang berbuat kebaikan." [QS. Al Maidah: 13]
Tapi jika dia tidak mau menerima untuk memaafkan gunjingannya tadi kecuali dengan sedikit uang, maka berilah dia uang sampai merasa puas dan memaafkanmu.
Demikian pula jika maksiat dalam bentuk saling mencaci antara dirimu dan seseorang hingga engkau memukulnya misalkan, maka bentuk tobatnya adalah dengan cara engkau mendatanginya dan minta dimaafkan, dan engkau berkata: "Sekarang saya ada di hadapanmu, pukkullah saya sebagaimana saya memukulmu." Sampai dia memaafkanmu. Yang penting adalah: bahwasanya di antara bentuk melepaskan diri dari maksiat jika urusannya adalah dengan manusia hendaknhya engkau minta dimaafkan, sama saja kezholimannya itu harta, atau badan atau kehormatan.
Syarat keempat: bertekad untuk tidak mengulangi dosa tadi di masa yang akan datang. Jika dia bertobat dan berhenti dari dosa, tapi di dalam hatinya dia berniat jika datang kesempatan dia akan mengulangi dosanya. Maka yang demikian itu tidak diterima tobatnya. Ini adalah tobat yang yang bermain-main.
Jika dia bertekad untuk tidak mengulanginya, tapi ditaqdirkan bahwasanya hawa nafsunya menghiasinya untuk mengulanginya lagi setelah itu sehingga dia mengerjakan lagi dosa tadi, maka yang demikian itu tidak mengurangi tobatnya yang terdahulu, hanya saja dia butuh tobat yang baru dari dosa pada kali yang kedua.
Syarat kelima: tobat tadi dilakukan pada waktu yang di situ tobat masih diterima. Jika waktunya telah lewat maka tobat tadi tidak bermanfaat. Dan lewatnya waktu tobat adalah jika kematian telah datang. Jika kematian telah tiba maka tobat tidak sah, dan jika dia bertobat maka tidak bermanfaat baginya, karena firman Alloh ta'ala:
وَلَيْسَتِ التَّوْبَةُ لِلَّذِينَ يَعْمَلُونَ السَّيِّئَاتِ حَتَّى إِذَا حَضَرَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ إِنِّي تُبْتُ الْآنَ﴾ (النساء:18)
"Dan tidaklah ada tobat bagi orang-orang yang selalu mengerjakan kejelekan, hingga pada saat kematian menghampiri salah seorang dari mereka dia berkata: "Sekarang aku bertobat."" [QS. An Nisa: 18]
Sekarang tobat tidak lagi berfaidah. Oleh karena itulah manakala Fir'aun ditengelamkan:
قَالَ آمَنْتُ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرائيلَ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِينَ﴾ (يونس:90)
"Dia berkata: Aku beriman bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Dzat yang disembah Bani Isroil, dan aku termasuk dari Muslimin." [QS. Yunus: 90]
Maka dikatakanlah padanya:
آلْآنَ﴾
"Sekarang"
Yaitu: Apakah kamu baru mengatakannya sekarang
وَقَدْ عَصَيْتَ قَبْلُ وَكُنْتَ مِنَ الْمُفْسِدِينَ﴾ (يونس:91)
"dalam keadaan engkau telah durhaka sebelumnya, dan engkau termasuk dari para perusak." [QS. Yunus: 90]
Waktunya telah lewat. Oleh karena itu wajib bagi manusia untuk bersegera bertobat, Karen dia itu tidak tahu kapankah kematian datang dan mengejutkannya. Berapa banyak orang yang mati secara mendadak dan tiba-tiba. Maka hendaknya dia bertobat kepada Alloh sebelum lewat waktunya –sampai pada ucapan beliau:-
Inilah lima syarat tobat, yang tak mungkin tobat itu diterima kecuali dengannya. Maka wajib bagimu wahai saudaraku untuk bersegera bertobat kepada Alloh, kembali kepadanya, selama engkau masih di zaman yang lapang, sebelum engkau tidak lagi mendapatinya. Dan ketahuilah, jika engkau bertobat kepada Alloh dengan tobat yang Nashuh (jujur dan pasti), maka sungguh Alloh itu akan menerima tobatmu, dan bisa jadi akan mengangkatmu ke posisi yang lebih tinggi daripada posisimu sekarang, …" ("Syaroh Riyadhush Sholihin"/12/hal. 70-73).
Maka barangsiapa memenuhi syarat-syarat tobat, pastilah Alloh akan menerima tobatnya sekalipun terulang-ulang. Abu Huroiroh -semoga Alloh meridhoinya- berkata: Dari Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- yang meriwayatkan dari Robbnya 'Azza Wajalla:
«أذنب عبد ذنبا فقال: اللهم اغفر لي ذنبي فقال تبارك وتعالى أذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب فقال أي رب اغفر لي ذنبي فقال تبارك وتعالى عبدي أذنب ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب فقال أي رب اغفر لي ذنبي فقال تبارك وتعالى أذنب عبدي ذنبا فعلم أن له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب اعمل ما شئت فقد غفرت لك». ( صحيح مسلم - (2758))
"Ada seorang hamba berbuat dosa, lalu dia berkata: "Wahai Alloh ampunilah dosaku." Maka Alloh –tabaroka wata'ala- berfirman: "Hamba-Ku melakukan suatu dosa, lalu dia tahu bahwasanya dia punya Robb yang mengampuni dosa dan menghukum dikarenakan dosa." Lalu dia kembali membikin dosa, kemudian dia berkata: "Wahai Alloh ampunilah dosaku." Maka Alloh –tabaroka wata'ala- berfirman: "Hamba-Ku melakukan suatu dosa, lalu dia tahu bahwasanya dia punya Robb yang mengampuni dosa dan menghukum dikarenakan dosa." Lalu dia kembali membikin dosa, kemudian dia berkata: "Wahai Alloh ampunilah dosaku." Maka Alloh –tabaroka wata'ala- berfirman: "Hamba-Ku melakukan suatu dosa, lalu dia tahu bahwasanya dia punya Robb yang mengampuni dosa dan menghukum dikarenakan dosa. Maka silakan engkau beramal apa yang aku inginkan, aku telah mengampunimu." (HR. Muslim (2758)).
Imam An Nawawy -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Tobat dari dosa itu sah walaupun dia masih mengerjakan dosa yang lain. Jika dia bertobat dengan tobat yang shohih dengan syarat-syarat, lalu dia mengulang lagi dosa tadi, dicatatlah baginya dosa yang kedua.dan tobatnya tidak batal. Inilah madzhab Ahlisssunnah dalam dua masalah ini. Dan Mu'tazilah menyelisihi dalam dua masalah tadi. Para sahabat kami berkata,"Meskipun dosanya diulang lagi dan tobatnyapun terulang, maka tobatnya itu sah". …" ("Syarhun Nawawy 'ala Shohih Muslim"/9/hal. 107).
Al Qurthuby -semoga Alloh merohmatinya- berkata,"Hadits ini menunjukkan besarnya faidah istighfar, agungnya karunia Alloh, luasnya rohmat-Nya, kesabaran-Nya, dan kederwananan-Nya. Tidak diragukan bahwasanya istighfar ini bukanlah yang dia itu diucapkan dengan lidah saja, namun dia itu adalah istighfar yang maknanya kokoh di dalam hati sehingga dengannya terurailah simpul ishror (terus-terusan di dalam dosa), dan muncullah penyesalan atas dosa-dosa yang terjadi di masa silam. Jika demikian, maka istighfar ini merupakan penerjemah dari tobat dan ungkapan dari tobat … -sampai ucapan beliau:- adapun orang yang mengucapkan dengan lidahnya "Aku mohon ampun pada Alloh" tapi hatinya tetap terus di dalam kedurhakaannya, maka istighfarnya tadi membutuhkan istighfar, dan dosa kecilnya akan menyusul dosa besar, karena tiada dosa kecil jika dilakukan terus-menerus, dan tiada dosa besar jika dimintakan ampunan." ("Al Mufhim"/7/di bawah nomor (2679)).
Ucapan Al Qurthuby -semoga Alloh merohmatinya- ini juga dinukil oleh Ibnu Hajar di dalam "Fathul Bari" (21/hal. 89) secara makna dan didukungnya.
BAB ENAM: SYARIAT INI DITURUNKAN SEBAGAI ROHMAT
Perlu ditanamkan kepada umat ini bahwasanya Alloh ta'ala itu sangat penyayang kepada para hamba-Nya. Alloh ta'ala berfirman:
فَاللَّهُ خَيْرٌ حَافِظًا وَهُوَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِين [يوسف : 64]
"Maka Alloh itulah yang terbaik sebagai penjaga, dan Dia itu Arhamur Rohimin (Yang Paling penyayang di antara para penyayang)." [QS. Yusuf: 64]
Alloh ta'ala itu lebih sayang kepada kita daripada diri kita sendiri. Umar Ibnul Khoththob -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
قدم على النبي صلى الله عليه و سلم سبي فإذا امرأة من السبي قد تحلب ثديها تسقي إذا وجدت صبيا في السبي أخذته فألصقته ببطنها وأرضعته فقال لنا النبي صلى الله عليه و سلم ( أترون هذه طارحة ولدها في النار ) . قلنا لا وهي تقدر على أن لا تطرحه فقال ( لله أرحم بعباده من هذه بولدها )
"Ada serombongan tawanan yang datang kepada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam-. Tiba-tiba ada seorang wanita dari tawanan tadi yang memeras susunya dan memberikan minum anak-anak. Jika dia mendapati seorang bayi diambillah bayi tadi dan ditempelkan ke perutnya dan disusuinya. Maka Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- berkata kepada kami: "Apakah kalian mengira bahwasanya wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam neraka?" Kami menjawab,"Tidak akan, dalam keadaan dia sanggup untuk tidak melemparkannya." Maka beliau bersabda: "Sungguh Alloh itu lebih penyayang kepada para hamba-Nya daripada wanita ini kepada anaknya." (HR. Al Bukhory (5999) dan Muslim (2754)).
Umaimah binti Ruqoiqoh -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
بايعت رسول الله صلى الله عليه و سلم في نسوة فقال لنا فيما أستطعتن وأطقتن قلت الله ورسوله أرحم بنا منا بأنفسنا قلت يا رسول الله بايعنا قال سفيان تعني صافحنا فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم إنما قولي لمائة امرأة كقولي لامرأة واحدة
"Aku berbai'at kepada Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersama sekelompok wanita, lalu beliau berkata kepada kami: "Sesanggup kalian dan semampu kalian." Maka aku berkata,"Alloh dan Rosulu-Nya lebih sayang kepada kami daripada kami kepada diri kami sendiri. Wahai Rosululloh, bai'atlah kami." –maksudnya adalah: "Jabatlah tangan kami."- maka Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- bersabda: "Ucapanku kepada seratus wanita itu sama dengan perkataan kepada satu wanita." (HR. At Tirmidzy (4/hal. 151) dan dishohihkan oleh Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (1531))
Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- kemudian menyebutkan tambahan dari riwayat Imam Ahmad:
إني لا أصافح النساء
"Sungguh aku tidak berjabatan tangan dengan wanita."
Abu Huroiroh -semoga Alloh meridhoinya- berkata:
أتى النبي صلى الله عليه و سلم رجل ومعه صبي فجعل يضمه إليه فقال النبي صلى الله عليه و سلم أترحمه قال نعم قال فالله أرحم بك منك به وهو أرحم الراحمين.
"Ada seseorang mendatangi Rosululloh -shollallohu 'alaihi wasallam- dengan membawa bayi. Dipeluknya bayi itu. Maka Nabi -shollallohu 'alaihi wasallam- bertanya: "Apakah engkau menyayanginya?" dia menjawab,"Iya." Maka beliau bersabda: "Maka Alloh itu lebih penyayang kepadamu daripada engkau menyayangi anak itu. Dan Dia itu adalah Yang Paling penyayang di antara para penyayang." (HR Al Bukhory dalam "Adabul Mufrod" (1/hal. 137) dishohihkan oleh Imam Al Wadi'y -semoga Alloh merohmatinya- dalam "Ash Shohihul Musnad" (1411)).
Jika demikian, maka Alloh ta'ala menurunkan syari'at-Nya adalah sebagai rohmat buat para hamba-Nya, bukan untuk menyusahkan mereka. Dialah yang menciptakan langit, bumi, dan manusia semuanya, dan Dialah yang paling tahu apa yang pantas, cocok, dan berguna buat mereka. Alloh ta'ala berfirman:
مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآَنَ لِتَشْقَى (2) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى (3) تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمَاوَاتِ الْعُلَا [طه : 2 - 4]
"Tidaklah Kami turunkan kepadamu Al Qur'an agar kamu celaka, akan tetapi dia itu adalah peringatan bagi orang yang takut. Dia itu diturunkan dari Dzat yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi." (QS. Thoha:2-3).
Setelah menyebutkan keindahan syariat Islam, Imam Ibnul Qoyyim -semoga Alloh merohmatinya- berkata: "Maka perhatikanlah keserasian syariat yang sempurna ini yang keindahannya dan kesempurnaannya mengagumkan akal, fithroh bersaksi akan kedalaman hikmahnya, dan bahwasanya tidak ada syariat yang mengetuk alam ini yang lebih utama daripada syariat ini. Walaupun akal orang-orang yang berakal, dan fithroh orang yang pintar membikin suatu ide yang terbaik, tidaklah mungkin idenya tadi bisa mencapai apa yang dibawa oleh syariat ini." ("I'lamul Muwaqqi'in"/1/hal. 381).
Maka syariat di dalam penerimaan tobat bukanlah untuk menyusahkan umat, bahkan untuk menjaga umat agar tidak lagi tertipu secara harta atau jiwa dan agama oleh orang yang ternyata memakai topeng tobat sebagai siasat.
PENUTUP
Maka setelah kita sama-sama memperdalam memahami syariat dalam masalah tobat Mubtadi'ah, kami berharap para Muslimin menahan diri, dan jangan tergesa-gesa untuk menerima orang yang sudah keluar dari Salafiyyah, lalu beberapa tahun kemudian mengaku bertobat, hingga terbukti kejujurannya kembali ke manhaj Salaf secara bersih. Adapun jika dia justru menampilkan sikap yang mencurigakan seperti bekerja sama dengan sebagian Sururiyyun dan bergerombol menghadang pemerintah di depan umum, maka pernyataan tobatnya itu lebih pantas untuk dipertanyakan.
والله تعالى أعلم، والحمد لله رب العالمين.
Akhir Jumadats Tsani 1431 H
Darul Hadits di Dammaj.