• If this is your first visit, be sure to check out the FAQ by clicking the link above. You may have to register before you can post: click the register link above to proceed. To start viewing messages, select the forum that you want to visit from the selection below.

إعـــــــلان

تقليص
لا يوجد إعلان حتى الآن.

Tujuh Kewajiban Mukmin

تقليص
X
 
  • تصفية - فلترة
  • الوقت
  • عرض
إلغاء تحديد الكل
مشاركات جديدة

  • Tujuh Kewajiban Mukmin




    Tujuh Kewajiban Seorang Mukmin
    Saat Datangnya Perintah Robbul Alamin



    Ditulis Oleh Al Faqir Ilalloh:
    Abu Fairuz Abdurrahman bin Soekojo Al-Jawiy Al-Indonesiy
    Semoga Alloh memberinya Taufiq



    بسم الله الرحمن الرحيم
    Pengantar Penulis

    الحمد لله وأسهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وسلم أما بعد:
    Dari puncak gedung yang dijadikan sebagai rumah sakit untuk merawat dan menampung ikhwah Ahlussunnah yang luka ataupun sampai cacat ini, sejenak saya memandang ufuk timur kota Shon’a. Semburat kuning kemerahan menandakan mentari sebentar lagi akan terbit menjalankan tugasnya menerangi jagat sambil terus berdzikir mengingat keagungan pencipta dirinya. Alloh ta’ala berfirman:
    تسبح له السموات السبع والأرض ومن فيهن وإن من شيء إلا يسبح بحمده ولكن لا تفقهون تسبيحهم إنه كان حليما غفورا
    “Seluruh langit yang tujuh dan bumi dan siapa saja yang ada di dalamnya bertasbih untuk Alloh. Dan tidak ada suatu apapun kecuali bertasbih dengan memuji Alloh, akan tetapi kalian tidak memahami tasbih mereka. Sesungguhnya Alloh senantiasa Halim (Maha Penyabar) dan Ghofur (Maha Pengampun).” (QS. Al Isro: 45)
    Alangkah indahnya pesona pagi, saat lentera angkasa tersebut semakin menguat cahayanya. Akan tetapi sebagus apapun dia, dia adalah hamba Alloh sebagaimana kita. Jangan sujud padanya, tapi sujudlah pada Sang Pencipta Yang Mahaagung lagi Maha Perkasa, Yang terus menerus memancangkan tanda-tanda kekuasaan-Nya di seluruh penjuru alam ini. Alloh ta’ala berfirman:
    ومن آياته الليل والنهار والشمس والقمر لا تسجدوا للشمس ولا للقمر واسجدوا لله الذي خلقهن إن كنتم إياه تعبدون.
    “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah malam dan siang, matahari dan bulan. Janganlah kalian bersujud pada matahari ataupun pada bulan, tapi sujudlah pada Alloh Yang menciptakan mereka jika kalian memang hanya beribadah pada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37).
    Adapun orang yang lemah akalnya dan hatinya mudah ditipu oleh setan, maka dia akan terpedaya oleh keindahan matahari yang memenuhi pandangan matanya sehingga dia sujud pada matahari itu. Itu adalah ketololan yang nyata yang burung saja tahu batilnya aqidah mereka. Alloh ta’ala mengabadikan perkataan burung Hudhud tentang penduduk Saba di Ma’rib ribuan tahun yang silam:
    وجدتها وقومها يسجدون للشمس من دون الله وزين لهم الشيطان أعمالهم فصدهم عن السبيل فهم لا يهتدون.
    “Saya mendapati ratu itu dan kaumnya bersujud pada matahari, bukan pada Alloh, dan setan menghiasi untuk mereka amalan mereka sehingga setan menghalangi mereka dari jalan yang lurus sehingga mereka tidak mendapatkan petunjuk.” (QS. An Naml: 24).
    Perhatikanlah bagaimana komentar burung tadi terhadap mereka, perhatikanlah ucapan selanjutnya:
    ألا يسجدوا لله الذي يخرج الخبأ في السموات والأرض ويعلم ما تخفون وما تعلنون. الله لا إله إلا هو رب العرش العظيم.
    “Mereka tidak mau sujud pada Alloh Yang mengeluarkan rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kalian rahasiakan dan apa yang kalian nyatakan. Dialah Alloh Yang tiada sesembahan yang benar selain Dia, Pemilik Arsy yang agung.” (QS. An Naml: 25-26).
    Siapakah yang mengambil keuntungan dari ketololan tadi? Setanlah oknumnya, karena dia ingin disembah oleh manusia. Ibnu Umar rodhiyallohu’anhuma berkata: Rosululloh shollallohu’alaihiwasallam bersabda:
    لا تحروا بصلاتكم طلوع السمش ولا غروبها، فإنها تطلع بقرن شيطان.
    “Janganlah kalian menyengaja mencari waktu terbitnya matahari ataupun saat terbenamnya untuk sholat kalian karena sesungguhnya dia itu terbit disertai tanduk setan.” (HR. Muslim (1925)).
    Dalam hadits Amr bin Abasah As Sulamiy rodhiyallohu’anhu, Rosululloh shollallohu’alaihiwasallam menjelaskan:
    وحينئذ يسجد لها الكفار.
    “… karena sesungguhnya saat itu orang-orang kafir sujud pada matahari.” (HR. Muslim (1930)).
    Itulah hasil kebodohan dan kesesatan sebagian manusia, padahal Alloh telah memancangkan dalil-dalil yang banyak di alam semesta ini. Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Alloh Yang Mahasuci telah memancangkan untuk kebenaran yang ada dan disyariatkan itu alamat-alamat dan tanda-tanda yang menunjukkan dan menjelaskannya. Alloh ta’ala berfirman:
    وألقى في الأرض رواسي أن تميد بكم وأنهارا وسبلا لعلكم تهتدون وعلامات وبالنجم هم يهتدون.
    “Dan Alloh melemparkan gunung-gunung yang kokoh di bumi agar bumi itu tidak bergoncang dengan kalian. Dan Alloh membuat sungai-sungai dan jalan-jalan agar kalian mendapatkan petunjuk. Dan membuat alamat-alamat. Dan dengan bintang mereka juga mendapatkan petunjuk.”
    (Selesai penukilan dari kitab “Ath Thuruqul Hukmiyyah”/hal. 116/cet. Darul Arqom).
    Maka alangkah mahalnya hidayah taufiq itu. Kecerdasan manusia semata tidak cukup dan memang bukan jaminan. Maka kita memang harus terus mengulang-ulang doa yang amat wajib untuk dibaca:
    اهدنا الصراط المستقيم
    “Tunjukilah kami jalan yang lurus.”
    Al Imam Al Hafizh Al Mufassir As Salafiy muhammad bin Ali Al Qoshshob rohimahulloh berkata: “firman Alloh: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” ini adalah dalil yang meniadakan kemampuan manusia (secara sendirian) karena jalan yang lurus adalah agama yang Alloh ridhoi itu, dan kitab-Nya yang Dia turunkan. Maka barangsiap tidak sanggup sampai kepada jalan tadi kecuali dengan hidayah dari Alloh, berarti dia itu tidak punya kesanggupan dengan sendirinya. Dan “firman Alloh: “Tunjukilah kami jalan yang lurus” ini merealisasikan itu, sehingga jadilah jalan mereka tadi adalah dengan kenikmatan dari Robb mereka, bukan semata-mata dengan kerinduan mereka pada jalan tadi dan kemampuan diri mereka sendiri.” (“Nukatul Qur’an”/1/hal. 87-88/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
    Di dalam ayat tadi juga ada bantahan terhadap sebagian Jama’ah Tabligh yang berusaha menanamkan keraguan di hati manusia dengan syubhat mereka: “Jika kita memang telah di atas jalan yang lurus, kenapa kita masih saja disuruh minta hidayah?”
    Jama’ah Tabligh itu kaum yang banyak kesyirikan dan kebid’ahan. Pantas saja sesat dan bodoh, dan berusaha menyeret muslimin pada kebodohan, kesyirikan dan kesesatan yang lain. Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini hidayah itu ada dua: hidayah menuju ke shiroth dan hidayah di atas shiroth. Hidayah ke shiroth adalah hidayah untuk masuk Islam. Hidayah di atas shiroth adalah hidayah di dalam Islam agar paham sunnah dan selamat dari bid’ah, cinta taat dan benci maksiat, tahu jawaban yang benar dari perselisihan-perselisihan yang ada. Itu semua bertingkat-tingkat. Lihat penjelasannya di awal-awal “Madarijus Salikin” karya Ibnul Qoyyim.
    Sampai disini dulu surat ini, InsyaAllah dilanjutkan besok pagi. Semoga Allah memberkahi para hamba Alloh dalam ibadah mereka dan istirahat mereka. Dan semoga Allah mengampuniku, jika mengganggu jadwal tidur mereka.
    Kamis, 5 Jumadil Ula 1435 H, 02:07 wib

    Senja telah tiba, sinar matahari makin redup. Alloh ta’ala menampilkan ayat-ayat-Nya yang agung yang tak mungkin ditiru oleh siapapun. Kemanakah sinar putih yang menerangi jagat tadi? Dia telah sirna di saat jubah kegelapan mengurung angkasa. Alloh ta’ala berfirman:
    وآية لهم الليل نسلخ منه النهار فإذا هم مظلمون. والشمس تجري لمستقر لها ذلك تقريد العزيز العليم. والقمر قدرناه منازل حتى عاد كالعرجون القديم.
    “Dan tanda kebesaran Alloh untuk mereka adalah malam. Kami tanggalkan darinya siang, maka tiba-tiba saja mereka berada di dalam kegelapan. Dan matahari beredar menuju tempat menetapnya. Dan yang demikian itu adalah ketetapan dari Al Aziz (Yang Maha Perkasa) lagi Al Alim (Yang Maha Mengetahui). Dan bulan, Kami telah tetapkan dia memiliki fase-fase sampai dia kembali kepada bentuk bagaikan tandan yang tua.” (QS. Yasin: 37-39).
    Siapakah yang mau merenungkan ayat yang setiap hari tampil membentang tadi? Sekian banyak mobil terus hilir mudik menderu di jalan raya dengan suara riuh. Sebagian hamba yang lain mendatangi masjid untuk tunduk sujud pada Penguasa Alam. Maka sungguh beruntung orang-orang yang tanggap dengan peredaran ayat-ayat alamiyah tadi. Alloh ta’ala berfirman:
    إن في خلق السموات والأرض واختلاف الليل والنهار لآيات لأولي الألباب. الذين يذكرون الله قياما وقعودا وعلى جنوبهم ويتفكرون في خلق السموات والأرض ربنا ما خلقت هذا باطلا سبحانك وقنا عذاب النار.
    “Sesungguhnya di dalam penciptaan langit dan bumi, juga pergantian siang dan malam itu benar-benar ada ayat-ayat Alloh bagi orang-orang yang punya mata hati. Yaitu orang-orang yang mengingat Alloh dalam keadaan berdiri dan duduk dan saat berbaring, dan memikirkan penciptaan langit dan bumi. Mereka berkata: “Wahai Robb kami, tidaklah Engkau menciptakan ini sia-sia. Mahasuci Engkau, dan lindungilah Kami dari siksaan Neraka.” (QS. Ali Imron: 190-191).
    Malam semakin gelap. Sungguh besar penyesalan terhadap orang-orang yang sibuk dengan mobil-mobil mereka yang di jalan raya terus menderu riuh rendah dan lalai merenungkan ayat-ayat Robb mereka. Alloh ta’ala berfirman:
    وكأي من آية في السموات والأرض يمرون عليها وهم عنها معرضون.
    “Dan berapa banyaknyakah ayat yang ada di langit dan bumi mereka lewati dalam keadaan mereka lalai darinya.” (QS. Yusuf: 105).
    Padahal matahari yang sedemikian perkasa tidak lalai dari dzikir dan sujud pada Alloh.
    عن أبي ذر رضي الله عنه قال: كنت مع النبي صلى الله عليه وسلم عند غروب الشمس فقال: يا أبا ذر أتدري أين تغرب الشمس؟ قلت: الله ورسوله أعلم. قال: فإنها تذهب حتى تسجد تحت العرش. فذلك قوله تعالى: ﴿والشمس تجري لمستقر لها ذلك تقدير العزيز العليم﴾
    “Dari Abu Dzarr rodhiyallohu’anhu yang berkata: aku pernah bersama Nabi shollallohu’alaihi wasallam ketika matahari terbenam. Lalu beliau bersabda: “Wahai Abu Dzarr, tahukah engkau ke mana matahari terbenam?” Aku menjawab: “Alloh dan Rosul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Maka sesungguhnya matahari itu pergi sampai bersujud di bawah Arsy. Maka yang demikian itu adalah firman Alloh ta’ala: “Dan matahari beredar menuju ke tempat menetapnya. Yang demikian itu adalah ketetapan Al Aziz Al Alim.” (HR. Al Bukhoriy (4802) dan Muslim (159)).
    Maka hakikat akal bukanlah keahlian seseorang untuk berdagang atau membikin alat yang canggih ataupun kepandaian untuk menipu orang lain. Akan tetapi akal yang sejati adalah akal yang dipakai untuk memikirkan ayat-ayat yang dipancangkan Alloh di pengembaran dia di dunia ini untuk sampai kepada Penciptanya dan tidak sesat jalan.
    Al Imam Al Qurthubiy rohimahulloh berkata: “Ulul Albab adalah orang-orang yang mempergunakan akal-akal mereka untuk merenungkan dalil-dalil.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/4/hal. 310).
    Orang-orang yang berakal tahu bahwasanya mereka ini sedang di tengah jalan menuju terminal kematian untuk berjumpa dengan Robb mereka. Alloh ta’ala berfirman:
    يا أيها الإنسان إنك كادح إاى ربك كدحا فملاقيه.
    ”Wahai manusia, sesungguhnya engkau itu bekerja menuju kepada Robbmu, lalu engkau akan berjumpa dengan-Nya.” (QS. Al Insyiqoq: 6).
    Dan mereka memahami bahwasanya berbagai fenomena musibah dalam kehidupan mereka itu adalah petuah dari Alloh agar mereka memperbagus bekal dalam menyongsong kematian, dan kehidupan setelah mati. Alloh ta’ala berfirman:
    الذي خلق الموت والحياة ليبلوكم أيكم أحسن عملا وهو العزيز الغفور.
    “Dialah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian siapakan dari kalian yang terbaik amalannya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al Mulk: 2).
    Al Imam Muhammad Al Qoshshob rohimahulloh berkata: ” (ayat ini) merupakan dalil bahwasanya mempersiapkan diri menghadapi kematian adalah petuah yang terbesar dari Alloh jalla jalaluh, dan sebagai penolong yang bagus untuk beramal sholih, karena mempersiapkan diri menghadapi kematian menyebabkan sang hamba itu pendek angan-angannya, meringankan bagi dirinya beratnya musibah-musibah, dan pahitnya menelan kemiskinan.” (“Nukatul Qur’an”/4/hal. 374/cet. Dar Ibnil Qoyyim).
    Sampai di sini dulu surat ini, insya Alloh dilanjutkan besok pagi. Semoga Alloh memberkahi para hamba Alloh dalam ibadah mereka dan istirahat mereka. Dan semoga Alloh mengampuni saya jika mengganggu jadwal tidur mereka.
    Jum’at , 6 Jumadil Ula 1435 H, 02:07 wib.


    Matahari pagi kembali menyingsing menerangi alam. Burung-burung berkicau di puncak-puncak gedung, diiringi suara deru mobil-mobil yang melaju menuju ke tujuan masing-masing. Alloh ta’ala berfirman:
    إن سعيكم لشتى.
    “Sesungguhnya upaya kalian benar-benar bermacam-macam.” (QS. Al Lail: 4).
    Orang mukmin yang pintar, dia beribadah pada Alloh dengan tekun dan baik, dan bahkan menjadikan adat dan pekerjaannya itu bernilai ibadah sehingga semakin menambah pahalanya, dengan lurusnya niat dan bagusnya langkah.
    Adapun orang yang bodoh, dia menjadikan ibadahnya sebagai rutinitas belaka, dan menjadikan adat kebiasaannya justru menambah dosa karena rusaknya niat, buruknya langkah dan lemahnya muroqobah (merasa diawasi Alloh). Barokallohufikum. Maka sungguh penting sekali untuk kita tahu kewajiban dalam mensikapi suatu perintah dari Alloh agar bisa mencapai ridho-Nya.
    Al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab At Tamimiy rohimalloh menuliskan tanya jawab yang penting.
    Beliau berkata: soal ke empat puluh satu: apakah yang menjadi kewajiban bagi saya jika Alloh memerintahkan saya dengan suatu perintah?
    Lalu beliau menjawab sendiri: Engkau wajib menjalankan tujuh tingkatan :
    • Yang pertama: mengilmui perintah tadi.
    • Yang kedua: mencintai perintah tadi.
    • Yang ketiga: bertekad untuk mengerjakan perintah tadi.
    • Yang keempat: mengerjakannya.
    • Yang kelima: pengerjaannya harus sesuai dengan yang disyariatkan, dalam keadaan ikhlas dan benar.
    • Yang keenam: memperingatkan diri dari berbuat sesuatu yang bisa menggugurkan amalan tadi.
    • Yang ketujuh: kokoh di atas amalan tadi.
    (Selesai dari kitab “Dalailut Tauhid”/hal. 19).

    Bab Satu: Pentingnya Ilmu Dalam Suatu Amalan

    Adapun tingkatan yang pertama dalam merealisasikan amalan tadi adalah: mengilmuinya. Apa itu ilmu?
    Abu Hilal Al Askariy rohimahulloh berkata: “Ilmu adalah keyakinan terhadap suatu perkara sesuai dengan kenyataannya sampai pada tingkat percaya kepadanya.” (“Al Furuqul Lughowiyyah”/karya Abu Hilal/hal. 94/cet. Daul Kutubil Ilmiyyah).
    Al Imam Al Hadizh Ibnul Wazir rohimahulloh berkata: “Maka ilmu yang benar adalah ilmu yang mengumpulkan kepastian hati akan perkara tadi, kesesuaiannya dengan kenyataannya, dan kekokohan jiwa terhadap pengetahuan tadi di saat ada upaya yang membikin keraguan.” (“Itsarul Haqq ‘alal Kholq”/Ibnul Wazir/hal. 120).
    Tentu saja ilmu terhadap suatu perkara itu tidak tegak kecuali di atas suatu dalil. Makanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh berkata: “ilmu itu adalah perkara yang dalil itu tegak padanya. Dan ilmu yang bermanfaat adalah apa yang dibawa oleh Rosul. Maka yang terpenting adalah kita itu berkata dengan ilmu, yaitu penukilan yang telah dibenarkan dan penelusuran yang telah dipastikan. Karena yang selain itu, sekalipun sebagian orang menghiasi semisalnya, maka itu adalah bagaikan tembikar (tanah liat yang dibakar) yang dipalsukan. Jika tidak demikian, maka dia adalah kebatilan yang mutlak.” (“Majmu’ul Fatawa”/6/hal. 388).
    Sampai di sini dulu, semoga Alloh memberkahi.
    Jum’at, 06 Jumadil Ula 1435 H, 12:11 wib

    Malam Sabtu di Shon’a terus merambat mendekati pertengahan. Sementara di luar gedung terdengar raungan mobil silih berganti melaju cepat menembus mantel kegelapan. Terbayangkan olehku kehidupan ulama-ulama Shon’a dan sekitarnya ratusan tahun yang silam sebelum adanya mobil ataupun motor, mereka mengembara mencari ilmu warisan Nabi shollallohu ’alaihiwasallam dengan jalan kaki.
    Mereka adalah para ulama yang ikhlas memegang sunnah tanpa mau dibelenggu oleh rantai taqlid sekalipun banyak ditentang oleh masyarakat saat itu.
    Di antara mereka adalah Al Imam Muhammad bin Ibrohim ibnul Wazir رحمه الله تعالى yang hapalannya mengungguli gabungan hapalan seluruh guru beliau. Tapi dengan sebab kekokohan beliau menegakkan sunnah beliau banyak dimusuhi oleh para guru dan masyarakat syiah saat itu. Bahkan harus berpindah dari gunung ke gunung.
    Begitu pula Al Imam Muhammad Ibnul Amir Ash Shon’aniy رحمه الله, sang mujtahid mutlak yang berkali-kali hendak dibunuh oleh kelompok rofidhoh.
    Begitu pula Al Imam Muhammad bin Ali Asy Syaukaniy رحمه الله, yang berkali-kali mengalami ujian mirip dengan Ash Shon’aniy sesuai dengan mimpi beliau sebelum itu.
    Begitu pula murid beliau yang utama: Ahmad bin Yusuf Ar Riba’iy رحمه الله dan yang lainnya.
    Sebagaimana dijelaskan oleh Al Imam Al Wadi’iy rohimahulloh di sebagian kitab beliau, syiah masuk ke Yaman sekitar tahun empat ratus hijriyyah, lalu semakin mendominasi pemikiran raja dan masyarakat selama jangka waktu seribu tahun. Sekalipun demikian banyak sekali ulama sunnah di Yaman yang kokoh mengumandangkan kebenaran dan tabah menghadapi pahitnya sikap zholim umat pada mereka.
    Al Imam Asy Syaukaniy rohimahulloh berkata: “sesungguhnya di dalam negri-negri Zaidiyyah ada para imam Al Kitab dan As Sunnah yang tak terhitung banyaknya, yang mereka itu setia mengamalkan nash-nash dalil dan bertopang pada dalil yang shohih dari kitab-kitab hadits induk dan literatur-literatur Islam yang mencakup sunnah pemimpin manusia -shollallohu’alaihiwasallam, dan mereka tidak mau mengikuti taqlid serta tidak mau mencampuri agama mereka dengan kebid’ahan sedikitpun yang mana para pengikur madzhab-madzhab tidak selamat darinya. Bahkan para imam tadi berjalan di atas jalur Salafush Sholih dalam mengamalkan apa yang ditunjukkan oleh Kitabulloh dan apa yang shohih dari sunnah Rosululloh bersamaan dengan kesibukan mereka dengan ilmu-ilmu yang menjadi alat untuk memahami ilmu kitab dan sunnah.” (“Al Badruth Tholi’”/2/hal. 77).
    Al Imam Asy Syaukaniy rohimahulloh juga menjelaskan kebiasaan buruk penduduk Yaman di masa itu yang cenderung memusuhi orang yang setia dengan sunnah. Beliau berkata dalam biografi Al Hafizh Al Kabir Al Allamah Abdurrohman bin Muhammad bin Nahsyal Al Haimiy rohimahulloh: “… akan tetapi beliau tidak selamat dari cobaan yang datang dari penduduk di zaman beliau disebabkan oleh kesibukan beliau dengan kitab-kitab induk sunnah dalam masalah ilmu, pengamalan, pengajaran. Dan itu bukan perkara baru, ujian tadi memang sudah menjadi kebiasaan masyarakat negri ini sejak masa-masa terdahulu.” (“Al Badruth Tholi’”/1/hal. 323).
    Dari sini kita tahu betapa pentingnya ilmu terhadap syariat Alloh, sehingga tahu perincian kebenaran, tahu syarat dan rukun suatu ibadah, tahu pembatal-pembatal amalan, tahu keringanan-keringanan yang Alloh berikan pada para hamba yang tidak perlu diingkari jika diambil, juga tahu apa saja batasan minimal dan maksimal dari suatu ibadah agar tidak jatuh dalam sikap kurang ataupun berlebihan.
    Maka para hamba amat butuh pada ilmu untuk meluruskan amalan mereka. Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Ilmu adalah imam bagi amalan dan menjadi pemimpinnya. Amalan itu mengikuti ilmu dan menurut padanya.” (“Miftah Daris Sa’adah”/1/hal. 104).
    Makanya Alloh ta’ala berfirman:
    فاعلم أنه لا إله إلا الله واستغفر لذنبك
    “Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Alloh, dan mohonkanlah ampunan untuk dosamu.” (QS. Muhammad: 19).
    Ibnul Munir rohimahulloh berkata: “Dimaukan bahwasanya ilmu itu adalah syarat sahnya ucapan dan amalan. Maka keduanya tidak teranggap kecuali dengan ilmu. Maka ilmu itu didahulukan di atas keduanya karena ilmu itulah yang menshohihkan niat yang menyebabkan shohihnya amalan.” (“Fathul Bari”/Ibnu Hajar/1/hal. 108).
    Malam semakin larut, insyaAlloh kita lanjutkan di lain kesempatan. Semoga Alloh memberkahi ilmu yang Alloh karuniakan pada kita.
    Sabtu, 7 Jumadil Ula 1435 H, 02:09 wib

    Bab Dua: Keharusan Mencintai Syariat Alloh

    Kewajiban yang kedua di saat datangnya perintah Alloh adalah hendaknya kita mencintai perintah tadi. Perintah itu diturunkan untuk kebaikan kita sendiri, agar terus terjalin hubungan erat antara hamba dan Robbnya Yang Maha Penyayang, agar terus mendapatkan kemaslahatan dan selamat dari tipu daya setan yang mencelakakan. Alloh ta’ala berfirman:
    طه ما أنزلنا عليك القرآن لتشقى إلا تذكرة لمن يخشى تزنيلا ممن خلق الأرض والسموات العلى.
    “Thoha. Tidaklah Kami turunkan kepadamu Al Qur’an agar engkau celaka. Akan tetapi dia adalah sebagai peringatan bagi orang yang takut. Al Qur’an diturunkan oleh Dzat Yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi.” (QS. Thoha 1-4).
    Sang Pencipta alam semesta tentu saja maha mengetahui kebutuhan dan kemaslahatan para hamba-Nya. Kalau Alloh mau, bisa saja Dia membebani kita dengan sholat lima puluh kali dalam sehari semalam karena Dia punya hak untuk diibadahi setiap detiknya sebagaimana dia memberi kita beraneka ragam nikmat setiap detik dari kehidupan kita. Tapi Dia Maha penuh belas kasihan pada kita yang lemah ini tapi sering lupa diri dan tinggi hati. Alloh ta’ala berfirman:
    ولو شاء الله لأعنتكم إن الله عزيز حكيم.
    “Dan kalau Alloh menghendaki niscaya Dia akan menimpakan kesulitan untuk kalian. Sungguh Alloh Maha perkasa lagi Penuh hikmah.” (QS. Al Baqoroh: 220).
    Al Imam Ibnu Jarir Ath Thobariy rohimahulloh berkata: “Alloh Yang tinggi penyebutan-Nya menginginkan dengan ayat tadi adalah: bahwasanya Alloh itu Maha Perkasa dalam kekuasaan-Nya, tiada seorangpun yang sanggup menghalangi hukuman Dia timpakan pada kalian andaikata Alloh menyusahkan kalian dengan memberikan kewajiban-kewajiban yang memayahkan kalian dalam menjalankannya lalu kalian kurang dalam melaksanakannya. Dan tiada seorangpun yang sanggup menolak jika Alloh menghendaki yang demikian tadi ataupun yang lain terhadap sesuatu yang Alloh lakukan terhadap kalian atau yang selain kalian andaikata Dia melakukannya.
    Akan tetapi Alloh dengan keutamaan rohmat-Nya memberikan karunia pada kalian dengan tidak membebani kalian dengan yang demikian tadi. Dan Dia itu Hakim -Penuh hikmah- dalam syariat yang demikian tadi andaikata berbuat itu pada kalian dan dalam hukum-hukum dan pengaturan-Nya yang lain. Tiada cacat ataupun kekurangan ataupun aib dalam perbuatan-perbuatan Alloh, karena dia adalah perbuatan Dzat Yang memiliki hikmah, yang tahu akibat-akibat dari seluruh perkara…” (“Jami’ul Bayan”/4/hal. 361).
    Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Syariat ini bangunannya dan asasnya ada di atas hikmah-hikmah dan kemaslahatan para hamba dalam dunia dan akhirat mereka. Dan syariat itu semuanya adil, semuanya rohmat, semunya maslahat semuanya hikmah. Maka setiap masalah yang keluar dari keadilan kepada kecurangan, dan dari rohmat kepada kebalikannya, dan dari maslahat kepada kerusakan, dan dari hikmah kepada kesia-siaan maka itu bukanlah bagian dari syariat ini.” (“I’lamul Muwaqqi’in”/3/hal. 5).
    Maka bagaimana sampai kita tidak mencintai Alloh? Andaikata iman kita sehat niscaya kita benar-benar cinta pada Alloh, Dzat-Nya, nama-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya serta syariat-Nya.
    Seharusnya kita bangga dengan syariat yang menyebabkan kita semakin baik dan mulia ini. Alloh ta’ala berfirman:
    لقد أنزنا إليكم كتابا فيه ذكركم أفلا تعقلون.
    “Sungguh Kami telah turunkan suatu kitab yang di dalamnya ada kemuliaan untuk kalian. Maka mengapa kalian tidak memikirkannya.” (QS. Al Anbiya: 10).
    Al Imam Al Baghowiy rohimahulloh berkata: “Yaitu: di dalamnya ada kemuliaan untuk kalian. Sebagaimana firman Alloh:
    وإنه لذكر لك ولقومك
    “Dan sungguh Qur’an itu adalah kemuliaan untukmu dan untuk kaummu.” (QS. Az Zukhruf: 44).
    Dan Qur’an adalah kemuliaan bagi orang yang beriman kepadanya.”
    (“Ma’alimut Tanzil”/5/hal. 311).
    Maka orang yang tidak cinta pada syariat Alloh maka dia itu rusak keimanannya sebagaimana telah saya jelaskan dengan taufiq Alloh semata dalam risalah “Syaroh Nawaqidhil Islam” dengan dalil-dalilnya dan tafsir para ulama tentangnya.
    Demikian pula orang yang mengerjakan suatu perintah Alloh tapi hati membenci perintah tadi, maka amalannya tadi tertolak. Alloh ta’ala berfirman:
    وما منعهم أن تقبل منهم نفقاتهم إلا أنهم كفروا بالله وبرسوله ولا يأتون الصلاة إلا وهم كسالى ولا ينفقوم إلا وهم كارهون.
    “Dan tidak ada yang menghalangi mereka agar nafkah-nafkah mereka itu diterima kecuali karena mereka kufur pada Alloh dan pada Rosul-Nya, dan mereka tidak mendatangi sholat kecuali dalam keadaan mereka malas, dan tidaklah mereka berinfaq kecuali dalam kondisi mereka itu benci.” (QS. At Taubah: 54).
    Dan kebencian tadi bisa menyebabkan orang itu kekal di neraka sebagai mana Alloh jelaskan sebab kekalnya orang-orang kafir di neraka:
    إِنَّ الْمُجْرِمِينَ فِي عَذَابِ جَهَنَّمَ خَالِدُونَ –إلى قوله:- لقد جئناكم بالحق ولكن أكثركم للحق كارهون.
    Sesungguhnya orang-orang yang jahat itu kekal di dalam siksaan Jahannam –sampai firman Alloh:- Sungguh Kami telah mendatangkan kebenaran pada kalian akan tetapi kebanyakan dari kalian membenci kebenaran tadi.” (QS. Az Zukhruf: 74 - 78).
    Al Imam Asy Syaukaniy rohimahulloh berkata: “Dan yang dimaksudkan dengan kebenaran adalah seluruh perkara yang Alloh perintahkan melalui lisan para Rosul dan Alloh turunkan di dalam kitab-kitab-Nya.” (“Fathul Qodir”/6/hal. 417).
    Matahari mulai meninggi. Saya cukupkan sampai di sini, insya Alloh dilanjutkan di lain kesempatan. Semoga Alloh menambahkan hidayah-Nya pada kita semua.
    Sabtu, 7 Jumadil Ula 1435 H, 11:41 wib


    Bab Tiga: Kewajiban Untuk Bertekad Menjalankan Perintah Alloh

    Kewajiban yang ketiga ketika perintah Alloh datang adalah: ‘azm (tekad) untuk mengerjakannya.
    Ar Roghib Al Ashfahaniy rohimahulloh berkata: “Yang namanya ‘ azm dan ‘azimah adalah kebulatan hati untuk menjalankan suatu perkara.” (“Mufrodat Alfazhil Qur’an”/hal. 334).
    Yang namanya ‘azm tadi adalah suatu keinginan kuat dari hati sebelum terjadi perbuatan. Makanya Syaikhul Islam rohimahulloh berkata: “Sang hamba dalam masalah perkara yang diperintah itu punya dua kondisi: kondisi sebelum mengerjakan perbuatan tadi, dan itulah ‘azm (tekad) untuk melaksanakannya , dan mohon pertolongan pada Alloh untuk menjalankannya. Dan kondisi setelah terjadinya perbuatan tadi, yaitu hendaknya dia mohon ampun atas kekurangan yang terjadi, dan bersyukur pada Alloh atas kebaikan yang dikaruniakan-Nya padanya.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 76).
    Kemudian hendaknya kita tahu bahwasanya ‘azm untuk menjalankan perintah Alloh tadi amat penting dalam syariat, karena dia adalah bagian dari tingkatan pengagungan pada perintah Alloh, sementara pengagungan perintah menunjukkan adanya pengagungan pada Yang memerintahkan, dan ini adalah wajib.
    Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Sesungguhnya kaki Islam itu tidak kokoh kecuali di atas derajat taslim (penyerahan diri), dan yang demikian itu mengharuskan kita mengagungkan Robb ta’ala, perintah-Nya, dan larangan-Nya. Maka iman itu tidak sempurna kecuali dengan pengagungan pada Alloh. Dan tidak sempurna pengagungan pada-Nya kecuali dengan pengagungan pada perintah dan larangan-Nya. Maka sesuai dengan kadar pengagungan hamba pada Alloh subhanah itulah dia mengagungkan perintah dan larangan-Nya. Pengagungan pada perintah itu menunjukkan pengagungan pada Dzat Yang memerintahkan. Dan tingkatan pertama dalam pengagungan perintah adalah: membenarkannya. Kemudian tekad yang pasti untuk melaksanakannya. Kemudian bersegera untuk menjalankannya sekalipun banyak faktor penghalang dan rintangan. Kemudian mencurahkan kerja keras dan kesetiaan di dalam menjalankannya dalam bentuk yang paling sempurna.
    Kemudian dia mengerjakannya dikarenakan hal itu memang Alloh perintahkan, bukan karena orang tadi bergantung pada pengetahuan akan hikmah-Nya, yang mana jika dia tahu hikmah dari perintah tadi dia mengerjakannya, tapi jika dia tidak tahu maka dia menelantarkannya. Ini berarti dia tidak mengagungkan-Nya di dalam hatinya. Justru dia itu harus pasrah pada perintah Alloh dan hikmah-Nya dalam keadaan dia mengerjakannya, sama saja apakah hikmah-Nya tadi nampak ataukah tidak nampak.
    Jika syariat mendatangkan penyebutan hikmah dari perintah tadi atau hikmah tadi bisa dipahami oleh akal maka hal itu menjadi tambahan bashiroh (ilmu dan keyakinan) dan semakin menyerunya untuk menjalankannya.
    Jika hikmah tadi tidak nampak maka hal itu tidak melemahkannya dari ketaatan, dan tidak mencoreng pelaksanaannya.
    Orang yang mengagungkan perintah Alloh itu menjalankan perintah dan larangan sesuai dengan datangnya syariat tadi, dan bukannya membikin-bikin alasan yang melemahkan syariat tadi dan mencoreng keindahan wajah perintah dan larangan tadi, lebih-lebih untuk menentangnya dengan alasan-alasan yang menyebabkan terjadinya penyelisihan terhadap perintah dan larangan tadi.
    Upaya penentangan tadi adalah sifat para pewaris iblis, sementara kepasrahan, ketaatan dan penerimaan syariat adalah sifat para pewaris Nabi.”
    (Selesai dari “Ash Showa’iqul Mursalah”/2/hal. 371-372).
    Kita lanjutkan pembahasan ‘azm (tekad) untuk melaksanakan perintah Alloh. Kita harus membulatkan tekad dalam menegakkan agama ini dan bersabar memikulnya di jalan ini sampai berjumpa dengan Alloh dengan penuh kemenangan dan kemuliaan. Tapi bagaimana cara agar tekad itu menjadi bulat dan kuat? Kembali pada kekuatan cinta dan kedalaman ilmu terhadap Alloh dan syariat-Nya. Dan dua perkara tadi telah kita bahas sebelumnya.
    Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh berkata: “Maka tekad untuk berjalan itu menjadi kuat dengan kekuatan istibshor (mengarahkan pandangan mata hati untuk mencari petunjuk) karena hal itu menajamkan pandangan untuk merenungkan perkara yang bisa menggerakkan perkara yang dituntut, karena tuntutan itu adalah cabang dari perasaan. Setiap kali perasaan pada perkara yang dicintai tadi menguat, perjalanan hati kepadanyapun semakin menguat. Dan setiap kali dia menyibukkan pikiran dengan perkara tadi, bertambahlah perasaannya dengan perkara tadi, dan bertambahlah ilmu dia tentang itu, serta bertambah juga ingatannya tentang perkara tadi.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 444).
    Apa kesimpulan dari bab ini?
    Kesimpulannya adalah kita wajib punya tekad untuk melaksanakan perintah Alloh.
    Apa dalilnya?
    Di antara dalilnya adalah perintah-perintah Alloh untuk mengambil syariat dengan kuat.
    Al Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh: “Dan sungguh Alloh subhanahu wata’ala telah memerintahkan untuk menerima perintah-perintah-Nya dengan ‘azm (kokohnya keinginan) dan jidd (kuatnya amalan), maka Alloh ta’ala berfirman:
    خذوا ما آتيناكم يقوة.
    “Ambillah apa yang Kami berikan pada kalian dengan kuat.” (QS. Al Baqoroh: 63).
    Dan Alloh berfirman:
    وكتبنا له في الألواح من كل شيء موعظة وتفصيلا لكل شيء فخذها بقوة.
    “Dan Kami telah menulis untuknya di dalam papan-papan kayu itu dari segala sesuatu sebagai petuah dan perincian untuk segala sesuatu, maka ambillah dia dengan kuat.” (QS. Al A’rof: 145).
    Alloh juga berfirman:
    يا يحيى خذ الكتاب بقوة.
    “Ya Yahya, ambillah Al Kitab dengan kuat.” (QS. Maryam: 12).
    Yaitu: dengan kesungguhan, pencurahan kemampuan dan tekad, bukan seperti orang yang mengambil apa yang diperintahkan tapi dengan ragu-ragu dan kemalasan.”
    (Selesai dari “Madarijus Salikin”/1/hal. 470).
    Sampai di sini dulu, matahari telah terbenam di balik gunung-gunung Shon’a.
    (Senin, 09 Jumadil Ula 1435 H, 22:26 wib)

    Bab Empat: Mengamalkan Perintah Alloh

    Kewajiban yang keempat di saat datangnya perintah Alloh adalah: menjalankan perintah tersebut. Dan memang inilah inti yang diinginkan dari datangnya perintah Alloh. bukan sekedar untuk diketahui lalu tidak dikerjakan.
    Alloh سبحانه وتعالى berfirman:
    {فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلَا يَضِلُّ وَلَا يَشْقَى * وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى * قَالَ رَبِّ لِمَ حَشَرْتَنِي أَعْمَى وَقَدْ كُنْتُ بَصِيرًا * قَالَ كَذَلِكَ أَتَتْكَ آيَاتُنَا فَنَسِيتَهَا وَكَذَلِكَ الْيَوْمَ تُنْسَى} [طه: 123 - 126]
    “Maka apabila datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka barangsiapa mengikuti petunjuk-Ku, maka dia tidak akan tersesat dan tidak akan celaka. Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh dia akan mendapatkan penghidupan yang sempit, dan Kami akan menggiringnya pada hari kiamat dalam keadaan buta. Dia berkata: “Wahai Robbku, kenapa Engkau menggiringku dalam keadaan buta padahal dulu saya bisa melihat?” Alloh menjawab: “Demikianlah, telah datang kepadamu ayat-ayat Kami tapi engkau meninggalkannya. Maka demikian pula pada hari ini engkau pun dilupakan.”
    Dalil-dalil tentang wajibnya mengamalkan ilmu terlalu banyak untuk disebutkan.
    Dan jangan sampai kita menjadi seperti Bani Isroil yang fasiq, yang tidak mau menjalankan perintah-perintah Alloh, bahkan mereka mendurhakai-Nya sehingga merekapun terkena berbagai hukuman.
    Alloh ta’ala berfirman:
    {وَإِذْ أَخَذْنَا مِيثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّورَ خُذُوا مَا آتَيْنَاكُمْ بِقُوَّةٍ وَاسْمَعُوا قَالُوا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَأُشْرِبُوا فِي قُلُوبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهِ إِيمَانُكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ } [البقرة: 93]
    “Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian yang teguh dari kalian dan Kami angkat ke atas kalian gunung: “Ambillah dengan kuat apa (syariat) yang Kami berikan pada kalian, dan dengarkanlah.” Mereka menjawab: “Kami mendengar dan kami mendurhakai.” Dan diserapkan ke dalam hati mereka kecintaan pada anak sapi disebabkan oleh kekufuran mereka. Katakanlah pada mereka: “Alangkah buruknya apa yang diperintahkan oleh keimanan kalian jika kalian memang orang-orang yang beriman”
    Abul Hasan Ali Al Khozin رحمه الله berkata dalam tafsir ayat ini: ““Dan ingatlah ketika Kami mengambil perjanjian yang teguh dari kalian dan Kami angkat ke atas kalian gunung: “Ambillah dengan kuat apa (syariat) yang Kami berikan pada kalian, dan dengarkanlah.”” Yaitu: penuhilah dan taatilah apa yang diperintahkan kepada kalian. “Mereka menjawab: “Kami mendengar” yaitu: “Kami mendengar firman-Mu. “Dan kami mendurhakai.” Yaitu: “Kami mendurhakai perintah-Mu.” (“Tafsirul Khozin”/1/hal. 68).
    Kaum Yahudi itu tahu bahwasanya Alloh menghendaki dari mereka untuk mendengar dengan pendengaran yang mengandung ketaatan, akan tetapi mereka memilih untuk sekedar mendengar lalu mendurhakai.
    Pendengaran itu ada tiga macam:
    1. pendengaran telinga semata
    2. pendengaran telinga yang mengandung pemahaman hati
    3. pendengaran telinga yang mengandung pemahaman hati dan dilanjutkan dengan ketaatan dan ketundukan.
    Yang terakhir inilah yang dituntut oleh Alloh dari para hamba-Nya, bukannya agar mereka hidup bagaikan binatang ternak yang mendengar tapi tidak paham, atau paham dan berilmu tapi tidak mau mengamalkannya.
    Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Pendengaran itu ada tiga macam: pendengaran yang bermakna menangkap suara dengan indra telinga, pendengaran yang bermakna pemahaman, dan pendengaran yang mengandung penerimaan dan pelaksanaan tuntutan.” (“Madarijus Salikin”/1/hal. 483).
    Jika demikian, maka pada hakikatnya manusia itu terbagi menjadi empat golongan:
    Yang pertama: orang yang sama sekali tidak mau mendengarkan perintah Alloh.
    Yang kedua: orang yang mau mendengarkan tapi tidak memahaminya.
    Yang ketiga: orang yang mendengar dan paham tapi malas menjalankan perintah tadi.
    Yang keempat: orang yang mendengar dan paham, lalu menjalankan perintah tadi. Yang terakhir inilah mukmin sejati.
    Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Pokok pendengaran yang diperintahkan oleh Alloh adalah: mendengarkan apa yang dibawa oleh Rosul صلى الله عليه وسلم , pendengaran yang mengandung pemahaman dan penerimaan. Oleh karena itulah maka manusia dalam masalah tersebut terbagi menjadi empat golongan: golongan yang berpaling dan tidak mau mendengarkan wahyu yang beliau bawa, golongan yang mendengarkan suara tapi tidak paham maknanya, golongan yang memahaminya tapi tidak mau menerimanya, dan yang keempat adalah golongan yang mendengarnya dengan pendengaran yang mengandung pemahaman dan penerimaan.” (“Majmu’ul Fatawa”/8/hal. 16).
    Orang yang mendengarkan ilmu lalu memahaminya dan dihasilkan dalam dirinya kecintaan dan takut pada Alloh, tahu hakikat dunia sehingga tidak tertipu dengannya, dan yakin akan akhirat sehingga merindukannya, dan ilmu tadi membuahkan ketaatan anggota badan, maka orang inilah orang alim faqih yang sebenarnya.
    Al Imam Al Hasan Al Bashriy رحمه الله berkata: “Hanyalah orang faqih itu adalah orang yang zuhud terhadap dunia, cinta dan berhasrat kuat terhadap akhirat, punya ilmu yang mendalam dan keyakinan kokoh dalam urusan agamanya, senantiasa rutin beribadah pada Alloh عز وجل .” (“Akhlaqul Ulama”/Al Ajurriy/no. 47/dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy/cet. Darul Atsar).
    Adapun orang yang telah diberi ilmu tapi tidak mau mengamalkannya, maka dia adalah orang bodoh, karena orang bodoh yang sejati adalah orang yang tidak tahu kebesaran Dzat Yang memberikan perintah tadi, tidak tahu agungnya manfaat perintah tadi, dan justru menyia-nyiakan sebab kemuliaannya itu.
    Bukankah dia telah mendengar bahwasanya Alloh berfirman:
    ﴿مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴾ [النحل/97]
    “Barangsiapa beramal sholih baik dia itu lelaki ataupun perempuan dalam keadaan dia itu mukmin, pastilah Kami akan memberinya kehidupan yang bagus, dan pastilah Kami akan membalasi mereka pahala mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang dulu mereka lakukan.”
    Al Imam Sufyan bin ‘Uyainah رحمه الله berkata: “Orang yang paling bodoh adalah orang yang meninggalkan apa yang diketahuinya. Orang yang paling berilmu adalah orang yang mengamalkan apa yang diketahuinya. Orang yang paling utama adalah orang yang paling khusyu’ pada Alloh.” (“Muqoddimah Sunan Ad Darimiy”/no. 343/ dishohihkan oleh Syaikhuna Yahya Al Hajuriy dalam “Al ‘Urful Wardiy” hal. 159/cet. Darul Atsar).

    Bab Kelima: Menjalankan Perintah Dengan Niat Ikhlas Dan Di Atas Jalur Yang Benar

    Al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab An Najdiy رحمه الله menyebutkan bahwasanya kewajiban yang kelima saat datangnya perintah adalah keikhlasan niat dan kebenaran cara yang ditempuh. Dua syarat ini adalah realisasi syahadatain:
    أشهد أن لا إله إلا الله وأشهد أن محمدا رسول الله
    “Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar selain Alloh, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh.”
    Syahadat yang pertama menuntut pemurnian niat ibadah untuk Alloh semata. Dan syahadat yang kedua menuntut kesetiaan pada bimbingan Rosululloh صلى الله عليه وسلم dalam beribadah.
    Syarat yang pertama: keikhlasan niat

    Kita wajib ikhlas untuk Alloh semata dalam beramal. Alloh ta’ala berfirman:
    ﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا الله مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ [البينة: 5].
    "Dan tidaklah mereka diperintahkan kecuali agar mereka beribadah kepada Alloh dalam keadaan memurnikan ketaatan kepada-Nya dan condong dari kesyirikan kepada tauhid”
    Dan Alloh Yang Mahasuci berfiman:
    ﴿قُلْ إِنِّي أُمِرْتُ أَنْ أَعْبُدَ الله مُخْلِصًا لَهُ الدِّينَ * وَأُمِرْتُ لِأَنْ أَكُونَ أَوَّلَ الْمُسْلِمِينَ * قُلْ إِنِّي أَخَافُ إِنْ عَصَيْتُ رَبِّي عَذَابَ يَوْمٍ عَظِيمٍ * قُلِ الله أَعْبُدُ مُخْلِصًا لَهُ دِينِي * فَاعْبُدُوا مَا شِئْتُمْ مِنْ دُونِهِ قُلْ إِنَّ الْخَاسِرِينَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ وَأَهْلِيهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَلَا ذَلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ﴾ [الزمر: 11 - 15].
    “Katakanlah: Sesungguhnya aku diperintahkan untuk beribadah pada Alloh dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya. Dan aku diperintahkan menjadi orang yang pertama masuk Islam (dari umat ini). Katakanlah: sesungguhnya aku takut siksaan pada hari yang besar jika aku mendurhakai Robbku. Katakanlah: Hanya Alloh saja yang aku sembah dalam keadaan aku memurnilah agamaku untuk-Nya. Maka sembahlah oleh kalian selain Dia semau kalian. Katakanlah: sesungguhnya orang-orang yang rugi adalah orang-orang yang kehilangan diri mereka sendiri dan keluarga mereka pada hari Kiamat. Ketahuilahyang demikian itu adalah kerugian yang nyata.”
    Dari Ubaiyy bin Ka’b رضي الله عنه dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda:
    «بشر هذه الأمة بالسناء والنصر والتمكين فمن عمل منهم عمل الآخرة للدنيا لم يكن له في الآخرة نصيب».
    “Berikanlah kabar gembira pada umat ini dengan cahaya, pertolongan, dan kekokohan. Maka barangsiapa beramal dari mereka dengan amalan akhirat tapi untuk mendapatkan dunia, dia tidak akan mendapatkan bagian di akhirat.” (HR. Ahmad (21261)/shohih).
    Syaikhul Islam رحمه الله : “Dan Alloh سبحانه وتعالى memerintahkan agar jangan ada yang disembah selain Dia, dan agar jangan ada agama kecuali untuk-Nya saja, dan agar loyalitas itu hanya karena Dia, dan permusuhan juga karena Dia. Dan agar jangan ada tawakkal selain kepada Dia, dan agar jangan ada yang dimintai pertolongan selain Dia. Maka seorang mukmin yang mengikuti para Rosul itu memerintahkan manusia dengan apa yang para Rosul memerintahkan mereka untuk itu, agar seluruh agama itu untuk Alloh, bukan untuk diri orang mukmin tadi. Dan jika ada seseorang selain dirinya memerintahkan yang semisal itu, dia mencintainya, menolongnya, dan senang dengan adanya perkara yang dicarinya. Dan jika dia berbuat baik pada manusia, maka hanyalah dia itu berbuat baik pada mereka dalam rangka mencari wajah Robb-Nya Yang Mahatinggi, dan dia mengetahui bahwasanya Alloh telah memberikan karunia padanya dengan menjadikannya sebagai orang yang berbuat baik, dan tidak menjadikannya sebagai orang yang berbuat jelek, maka dia memandang bahwasanya amalannya itu adalah untuk Alloh, dan bahwasanya dia itu adalah dengan pertolongan Alloh. Dan ini disebutkan di surat Al Fatihah, yang kami sebutkan bahwasanya seluruh makhluk butuh kepada surat Al Fatihah lebih besar daripada kebutuhan mereka kepada sesuatu apapun.
    Oleh karena itu diwajibkan pada mereka untuk membacanya di setiap sholat sholat, bukan surat-surat yang lain, dan tidak diturunkan dalam Tauroh ataupun dalam Injil, ataupun dalam Zabur, ataupun dalam Al Qur’an yang semisal dengan Al Fatihah, karena sesungguhnya di dalamnya:
    ﴿إياك نعبد وإياك نستعين
    “Hanya kepada-Mu sajalah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu sajalah kami mohon pertolongan”
    Maka seorang mukmin itu melihat bahwasanya amalannya itu untuk Alloh, karena dia hanya kepada-Nya beribadah, maka dia tidak meminta balasan ataupun syukur kepada orang yang dia berbuat baik padanya karena dia hanyalah beramal untuk Alloh, sebagaimana orang-orang yang berbakti berkata:
    ﴿إنما نطعمكم لوجه الله لا نريد منكم جزاء ولا شكورا﴾ [ الإنسان : 9 ] ،
    “Hanyalah kami memberi kalian makanan untuk mendapatkan wajah Alloh, kami tidak ingin dari kalian balasan ataupun syukur.”
    Dan tidak mann (menyebut-nyebut pemberian) kepadanya atau adza (menyakiti orang yang diberi), karena sesungguhnya dia telah mengetahui bahwasanya Alloh itulah Yang memberikan karunia kepadanya, karena Dialah yang membikinnya beramal dalam kebaikan, dan bahwasanya karunia adalah milik Alloh kepadanya, dan kepada orang tadi. Maka dia wajib bersyukur pada Alloh karena memudahkannya untuk jalan yang mudah (ke setiap kebaikan). Dan orang yang diberi harus bersyukur pada Alloh karena Alloh memudahkan untuknya orang yang memberikan padanya sesuatu yang bermanfaat untuknya yang berupa rizqi atau ilmu atau pertolongan, atau yang lain.
    Dan di antara manusia ada orang yang berbuat baik pada orang lain untuk menyebut-nyebut pemberian padanya, atau menginginkan perbuatan baik tadi agar orang taat kepadanya atau mengagungkannya, atau demi manfaat yang lain, dan terkadang dia menyebutkan jasa kepadanya seraya berkata: “Aku telah berbuat ini dan itu untukmu,” maka orang ini tidak menyembah Alloh dan tidak minta tolong pada-Nya, tidak beramal untuk Alloh, dan tidak beramal dengan minta tolong pada Alloh. Maka orang ini adalah pelaku riya. Dan Alloh telah membatalkan shodaqoh pelaku mann dan shodaqoh pelaku riya. Alloh ta’ala berfirman:
    ﴿يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى كالذي ينفق ماله رئاء الناس ولا يؤمن بالله واليوم الآخر فمثله كمثل صفوان عليه تراب فأصابه وابل فتركه صلدا لا يقدرون على شيء مما كسبوا والله لا يهدي القوم الكافرين ومثل الذين ينفقون أموالهم ابتغاء مرضات الله وتثبيتا من أنفسهم كمثل جنة بربوة أصابها وابل فآتت أكلها ضعفين فإن لم يصبها وابل فطل والله بما تعملون بصير﴾ [ البقرة : 264، 265 ] .
    “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian membatalkan shodaqoh-shodaqoh kalian dengan mann (menyebut-nyebut pemberian) dan adza (menyakiti orang yang diberi), seperti orang yang menginfaqkan hartanya karena ingin dilihat manusia dan dia tidak beriman pada Alloh dan Hari Akhir. Maka permisalannya adalah seperti batu halus yang di atasnya tanah, lalu dia tertimpa hujan deras, maka dia meninggalkan batu itu dalam keadaan keras dan kosong dari tanaman, mereka tidak berkuasa terhadap sedikitpun yang mereka kerjakan. Dan Alloh tidak memberi petunjuk pada orang-orang yang kafir. Dan permisalan orang-orang yang menginfaqkan harta-harta mereka dalam rangka mencari ridho Alloh dan pengokohan dari hati mereka adalah seperti permisalan kebun yang ada di dataran tinggi yang terkena hujan deras, maka kebun tadi mendatangkan buahnya dua kali lipat. Maka jika kebun tadi tidak terkena hujan deras, maka cukuplah gerimis, dan Alloh Maha Melihat apa yang kalian lakukan.”
    Qotadah berkata: ““Dan pengokohan dari hati mereka” yaitu mengharapkan pahala dari amalan diri mereka.” Asy Sya’biy berkata: “Keyakinan dan pembenaran dari diri mereka.” Demikian pula ucapan Al Kalbiy. Dikatakan: “Mereka mengeluarkan shodaqoh dengan suka rela dari diri mereka sendiri, berdasarkan keyakinan akan pahalanya, dan membenarkan janji Alloh, mereka mengetahui bahwasanya apa yang mereka keluarkan itu lebih baik daripada apa yang mereka tinggalkan.”
    Aku katakan: “Jika si pemberi itu mengharapkan pahala dari sisi Alloh dan membenarkan janji Alloh kepadanya, mencari dari sisi Alloh, tidak dari orang yang diberinya, maka dia tidak mengungkit-ungkit pemberiannya kepadanya. Sebagaimana jika seseorang berkata pada yang lain: “Berikanlah makanan ini pada para budak, dan aku akan memberimu biayanya.” Dia tidak mengungkit-ungkit pemberiannya kepada para budak, terutama jika dia mengetahui bahwasanya Alloh telah memberikan nikmat padanya dengan pemberian.”
    (selesai dari “Majmu’ul Fatawa”/14/hal. 329-331).
    Dan dari Sulaiman bin Yasar yang berkata: “Orang-orang telah berpencar meninggalkan Abu Huroiroh. Maka Natil, dari penduduk Syam, berkata: “Wahai Syaikh, berilah kami hadits yang Anda dengar dari Rosululloh صلى الله عليه وسلم . beliau menjawab: Baiklah, aku mendengar Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
    « إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ، فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ: جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ: عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ: قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِي فِي النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ الله عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا. قَالَ: فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا؟ قَالَ: مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ. قَالَ: كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ: هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ».
    "Sesungguhnya orang yang pertama kali diputuskan urusannya pada hari kiamat adalah orang yang dianggap mati syahid. Maka dia didatangkan dan diperlihatkan padanya nikmat-nikmat yang diberikan, dan diapun mengenalnya. Maka dia ditanya,"Apa yang kau kerjakan dengan nikmat tadi?" Dia menjawab,"Saya berperang di jalan-Mu sampai saya terbunuh syahid." Alloh berfirman: "Kamu bohong. Tapi kamu berperang agar dikatakan sebagai "Pemberani", dan hal itu telah dikatakan.” Maka diperintahkan agar dia diseret, maka diseretlah dia di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Dan (yang kedua) adalah orang yang mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al Qur'an. Maka dia didatangkan dan diperlihatkan padanya nikmat-nikmat yang diberikan, dan diapun mengenalnya. Maka dia ditanya,"Apa yang kau kerjakan dengan nikmat tadi?" Dia menjawab,"Saya mempelajari ilmu dan mengajarkannya, dan membaca Al Qur'an untuk-Mu." Alloh berfirman: "Kamu bohong. Tapi kamu belajar agar dikatakan sebagai "Alim", dan membaca Al Qur'an agar dikatakan "Dia adalah Qori'", dan hal itu telah dikatakan.” Maka diperintahkan agar dia diseret, maka diseretlah dia di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka. Dan (yang ketiga) adalah orang yang dikaruniai Alloh keluasan rizqi dan diberi-Nya beraneka macam harta semuanya. Maka dia didatangkan dan diperlihatkan padanya nikmat-nikmat yang diberikan, dan diapun mengenalnya. Maka dia ditanya,"Apa yang kau kerjakan dengan nikmat tadi?" Dia menjawab,"Tidaklah saya tinggalkan satu jalanpun yang Engkau sukai untuk diinfaqi di situ untuk-Mu." Alloh berfirman: "Kamu bohong. Tapi kamu lakukan itu agar dikatakan sebagai "Dermawan", dan hal itu telah dikatakan.” Maka diperintahkan agar dia diseret, maka diseretlah dia di atas mukanya sampai dilemparkan ke dalam neraka." (HSR Muslim (1906)).

    Syarat yang kedua: mengikuti jalan dan bimbingan Rosululloh صلى الله عليه وسلم

    Alloh ta'ala berfirman:
    ﴿الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الْأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوبًا عِنْدَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالْإِنْجِيلِ يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ فَالَّذِينَ آمَنُوا بِهِ وَعَزَّرُوهُ وَنَصَرُوهُ وَاتَّبَعُوا النُّورَ الَّذِي أُنْزِلَ مَعَهُ أُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ﴾ [الأعراف: 157].
    "Yaitu orang-orang yang mengikuti Sang Rosul Nabi yang ummi (tak bisa baca tulis) yang mereka dapati beliau tertulis di sisi mereka di dalam Taurot dan Injil, beliau memerintahkan mereka dengan yang ma'ruf dan melarang mereka dari yang munkar, menghalalkan makanan yang baik-baik, mengharomkan makanan yang buruk-buruk, dan menghilangkan dari mereka beban berat mereka dan belenggu-belenggu yang dulu ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman pada beliau, memuliakan beliau, menolong beliau dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama beliau, mereka itulah orang-orang yang beruntung."
    Al Imam As Sa'diy رحمه الله berkata: "Maka orang-orang yang beriman pada beliau, memuliakan beliau" yaitu: mengagungkan dan memuliakan beliau "menolong beliau dan mengikuti cahaya yang diturunkan bersama beliau" yaitu Al Qur'an yang digunakan untuk menerangi dalam kegelapan keraguan dan kebodohan, dan diteladani jika ucapan-ucapan saling bertabrakan, "mereka itulah orang-orang yang beruntung" orang-orang yang mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat, yang selamat dari kejelekan keduanya, karena mereka mendatangkan sebab keberuntungan yang terbesar. Adapun orang yang tidak beriman pada Nabi yang ummi ini, tidak memuliakan beliau, tidak menolong beliau dan tidak mengikuti cahaya yang diturunkan bersama beliau, mereka itulah orang-orang yang merugi." ("Taisirul Karimir Rohman"/hal. 305).
    Al ‘Irbadh bin Sariyah رضي الله عنه berkata:
    صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم، ثم أقبل علينا فوعظنا موعظة بليغة، ذرفت منها العيون ووجلت منها القلوب، فقال قائل: يا رسول الله كأن هذه موعظة مودّع، فماذا تعهد إلينا؟ فقال: «أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة وإن عبداً حبشيّاً، فإنه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلافا كثيراً فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء المهديين الراشدين، تمسكوا بها وعضّوا عليها بالنواجذ، وإياكم ومحدثات الأمور، فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة».
    Rosululloh صلى الله عليه وسلم pernah mengimami kami sholat pada suatu hari, kemudian beliau menghadapkan wajah pada kami, lalu menasihati kami dengan nasihat yang tajam, yang dengannya air mata berlinang, dan hati merasa takut. Maka seseorang berkata: “Wahai Rosululloh, seakan-akan ini adalah nasihat orang yang hendak berpisah, maka apakah perjanjian yang Anda ambil dari kami?” maka beliau bersabda: “Kuwasiatkan kalian untuk bertaqwa pada Alloh, dan mendengar dan taat kepada pemerintah, sekalipun dia itu adalah budak Habasyah, karena orang yang hidup di antara kalian sepeninggalku akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk memegang sunnahku dan sunnah Al Khulafaur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang teguhlah dia dan gigitlah dia dengan geraham kalian. Dan hindarilah setiap perkara yang muhdats karena yang muhdats itu bid’ah, dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Abu Dawud (4594) dan lainnya dihasankah oleh Al Wadi’iy -rohimahullohu- dalam “Ash Shohihul Musnad” (921)).
    Dan dari ‘Aisyah رضي الله عنها yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
    «مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ ».
    “Barangsiapa membikin dalam urusan agama kami perkara yang tidak ada dalam agama kami, maka dia itu tertolak.” (HR. Al Bukhoriy (2697) dan Muslim (1718)).
    Maka syarat diterimanya amalan setelah keikhlasan adalah kesesuaian dengan syariat Rosululloh صلى الله عليه وسلم . Inilah kandungan dalil-dalil di atas. Dan ini pula makna firman Alloh ta’ala:
    { بَلَى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ لِلَّهِ وَهُوَ مُحْسِنٌ فَلَهُ أَجْرُهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ} [البقرة: 112]
    “Bahkan orang yang memasrahkan wajahnya untuk Alloh dalam keadaan dia berbuat ihsan, maka dia akan mendapatkan pahalanya di sisi Robbnya, dan mereka tidak akan tertimpa ketakutan dan tidak pula bersedih hati.”
    Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Dan kedua sifat ini –yaitu menyerahkan wajah pada Alloh, dan berbuat ihsan- keduanya adalah dua dasar yang terdahulu. Keduanya adalah: keharusan untuk memurnikan amal untuk Alloh, dan keharusan agar amalan itu benar, yaitu mencocoki sunnah dan syariat.” (“Majmu’ul Fatawa”/28/hal. 175).

    Bab Keenam: Menghindari Perkara Yang Bisa Menggugurkan Amalan

    Kewajiban yang keenam terkait dengan perintah Alloh adalah: berhati-hati dan menghindarkan diri dari berbuat sesuatu yang bisa menggugurkan amalan tadi. Alloh ta’ala berfirman:
    { يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ } [محمد: 33]
    “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Alloh dan taatilah Rosul, dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian.”
    Al Imam Ibnu Jarir Ath Thobariy رحمه الله berkata: “Alloh Yang tinggi penyebutan-Nya berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman” kepada Alloh dan Rosul-Nya, “taatilah Alloh dan taatilah Rosul” dalam perintah dan larangan keduanya. “dan janganlah kalian membatalkan amalan-amalan kalian” Alloh berfirman: dan janganlah kalian pahala amal kalian dengan kedurhakaan kalian kepada keduanya, dan dengan kekufuran kalian, karena sesungguhnya kekufuran pada Alloh itu membatalkan amal sholih yang telah lalu.” (“Jami’ul Bayan”/22/hal. 187).
    Iya, sebagian kedurhakaan bisa menggugurkan pahala amal sholih, sebagiannya tidak disadari oleh pelakunya karena bodoh dan tidak mau mempelajarinya, dan sebagian disadarinya akan tetapi hawa nafsunya menyeretnya untuk tetap melakukan penggugur amalan tadi.
    Maka semangat untuk menguatkan bashiroh dan tekad baja untuk menjaga amalan tadi amat dibutuhkan oleh seorang hamba sebelum dia mengalami hari kerugian dan penyesalan.
    Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Sang hamba di sini butuh pada kesabaran dalam tiga kondisi, yang pertama: sebelum mulai amalan, dengan perbaikan niat dan keikhlasan, dan menjauhi seruan-seruan riya dan sum’ah, dan bertekad untuk menunaikan hak dari apa yang diperintahkan.
    Kondisi kedua: kesabaran ketika sedang beramal, maka sang hamba senantiasa bersabar menghadapi panggilan-panggilan untuk bersikap kurang dalam beramal, dan juga menekuni kesabaran untuk selalu mengingat niat dan hadirnya hati di hadapan Yang disembah, dan tidak melupakan-Nya dalam perintah-Nya. Maka bukanlah yang penting itu sekedar pelaksanaan perintah, akan tetapi yang terpenting adalah bahwasanya Dzat Yang memerintah tadi tidak dilupakan ketika di tengah pelaksanaannya, bahkan Dia selalu diingat di dalam perintah-Nya. Maka ini adalah ibadah para hamba yang ikhlas untuk Alloh. Maka dia butuh pada kesabaran untuk memenuhi hak ibadah dengan melaksanakannya dan memenuhi rukun-rukunnya, kewajibannya dan sunnahnya, dan butuh pada kesabaran untuk selalu mengingat Dzat Yang disembah di dalam amalan tadi, dan tidak disibukkan dari-Nya dengan ibadah kepada-Nya, maka dia tidak meninggalkan tegaknya ibadah dengan anggota badannya dengan kehadiran hatinya bersama Alloh, dan dia tidak meninggalkan kehadiran hatinya bersama Alloh di hadapan Alloh dengan tegaknya ibadah dengan anggota badannya.
    Kondisi ketiga: kesabaran setelah selesai beramal. Dan yang demikian itu adalah dari beberapa sisi:
    Yang pertama: dia menyabarkan jiwanya jangan sampai mendatangkan perkara yang membatalkan amalannya. Alloh ta’ala berfirman:
    ﴿يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى
    Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian membatalkan shodaqoh-shodaqoh kalian dengan mann (menyebut-nyebut pemberian) dan adza (menyakiti orang yang diberi),”
    Maka bukanlah yang penting itu dia mendatangkan ketaatan, tapi yang penting itu adalah dia menjaga ketaatannya tadi dari perkara yang bisa membatalkannya.
    Yang kedua: sabar dari riya, ujub, sombong dan merasa agung dengan amalan tadi, karena yang demikian itu lebih berbahaya terhadapnya daripada kebanyakan maksiat yang nampak.
    Yang ketiga: bersabar jangan sampai memindahkan ketaatannya tadi dari dewan amalan rahasia ke dewan amalan terang-terangan, karena ada seorang hamba yang beramal dengan amalan rahasia antara dirinya dengan Alloh سبحانه maka amalannya dicatat dalam dewan amalan rahasia. Jika dia membicarakannya, maka akan dipindah ke dewan amalan terang-terangan. Maka janganlah dikira bahwasanya hamparan kesabaran itu telah digulung dengan selesainya amalan.
    (selesai dari “Idatush Shobirin”/104-105/Daru Ibnil Jauziy).
    Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله juga berkata: “Dan pembatal-pembatal amalan dan perusaknya itu terlalu banyak untuk dibatasi. Dan bukanlah yang paling penting itu dia beramal, akan tetapi yang paling penting adalah menjaga amalan dari perkara yang merusaknya dan menggugurkannya.
    Maka riya itu meskipun kecil sekali akan membatal amalan. Dan ini banyak sekali pintunya, tidak terbatasi. Amalan yang tidak diikat dengan mengikuti sunnah juga mengharuskan gugurnya amalan karena dia itu batil.
    Menyebut-nyebut jasa pada Alloh ta’ala dengan hatinya juga bisa merusa amalan. Begitu pula menyebut-nyebut jasa bahwasanya dia telah bershodaqoh, berbuat kebaikan, kebajikan, ihsan dan silaturrohim bisa menggugurkan amalan, sebagaimana firman Alloh سبحانه وتعالى :
    { يا أيها الذين آمنوا لا تبطلوا صدقاتكم بالمن والأذى }
    Wahai orang-orang yang beriman janganlah kalian membatalkan shodaqoh-shodaqoh kalian dengan mann (menyebut-nyebut pemberian) dan adza (menyakiti orang yang diberi).” (QS. Al Baqoroh: 265).
    Dan mayoritas orang tidak tahu tentang kejelekan-kejelekan yang menggugurkan kebaikan. Alloh ta’ala berfirman:
    ﴿يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي ولا تجهروا له بالقول كجهر بعضكم لبعض أن تحبط أعمالكم وأنتم لا تشعرون﴾
    "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian meninggikan suara kalian melebihi suara Nabi, dan janganlah kalian berkata kepadanya dengan suara yang keras, sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalan kalian, sedangkan kalian tidak menyadari."
    Maka Alloh memperingatkan mukminin dari gugurnya amalan mereka dengan sebab bersuara keras pada Rosululloh صلى الله عليه وسلم sebagaimana kerasnya suara sebagian mereka terhadap sebagian yang lain. Dan ini bukanlah kemurtadan, tapi ini adalah maksiat yang menggugurkan amalan sedangkan pelakunya tidak menyadarinya. Maka apa dugaan bagi orang yang mendahulukan ucapan orang lain, jalan orang lain dan metode orang lain di atas ucapan Rosululloh صلى الله عليه وسلم, jalan dan metode beliau? Bukan orang ini telah menggugurkan amalannya dalam keadaan dia tidak menyadarinya?
    Dan termasuk dari bab ini adalah sabda beliau صلى الله عليه وسلم :
    [ من ترك صلاة العصر فقد حبط عمله ]
    “Barangsiapa meninggalkan sholat Ashr maka sungguh amalannya gugur.” (HR. Al Bukhoriy (553)).
    Dan termasuk dari bab ini adalah ucapan Aisyah رضي الله تعالى عنها وعن أبيها untuk Zaid bin Arqom رضي الله عنه ketika Zaid berjualan dengan metode ‘inah (sejenis riba): “Sesungguhnya dia telah membatalkan jihadnya bersama Rosululloh صلى الله عليه وسلم kecuali jika dia bertobat.” ([1])
    Dan jual beli dengan cara ‘inah itu bukanlah merupakan bentuk keluarnya orang dari Islam. Puncak hukumnya hanyalah maksiat. Tapi mengetahui perkara yang bisa merusak amalan ketika terjadinya amalan tadi, dan mengetahui perkara yang bisa membatalkan dan menggugurkannya setelah amalan tadi terlaksana itu termasuk perkara yang paling penting yang harus diperiksa oleh sang hamba, dan dia harus bersemangat menjalankan ini dan menghindari perkara tadi.”
    (selesai dari "Al Wabilush Shoyyib"/hal. 19-21/cet. Dar Alamil Fawaid).
    Andaikata atsar tadi shohih, maka maknanya adalah bahwasanya dosanya itu amat besar dan setimbang dengan pahala jihad sehingga di hari Kiamat menyebabkan pelakunya tak bisa menikmati pahala jihad, seakan-akan pahala jihad tadi gugur.
    Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Andaikata bukan karena Ummul Mukminin punya ilmu yang dirinya tidak merasa ragu tentangnya bahwasanya ini adalah diharomkan, tidak akan beliau membolehkan diri untuk berkata semacam tadi dengan ijtihad, terutama lagi apabila beliau bermaksud bahwasanya amalan itu gugur dengan sebab kemurtadan, dan bahwasanya menganggap riba itu halal adalah kufur, maka perkara ini tadi adalah termasuk dari perkara itu. Akan tetapi Zaid mendapatkan udzur karena beliau tidak tahu bahwasanya ini adalah diharomkan. Karena itulah maka Ummul Mukminin berkata pada sang penanya: “Sampaikan padanya bahwasanya …” Dan bisa jadi Ummul Mukminin memaksudkan bahwasanya riba tadi adalah termasuk dosa besar yang dosa itu menandingi pahala jihad sehingga bagaikan orang yang mengamalkan kebaikan dan kejelekan yang setara, sehingga seakan-akan dirinya tidak beramal sama sekali.” (“Tahdzib Sunan Abi Dawud”/2/hal. 149/karya Ibnul Qoyyim).
    Dan masuk dalam bab gugurnya pahala besar karena ditandingi oleh dosa besar adalah hadits Tsauban رضي الله عنه yang berkata:
    قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: «لا ألفين أقواما من أمتي يأتون يوم القيامة بحسنات أمثال جبال تهامة فيجعلها الله هباء منثورا». قالوا: يا رسول الله صفهم لنا لكي لا نكون منهم ونحن لا نعلم. قال: «أما إنهم من إخوانكم ولكنهم أقوام إذا خلوا بمحارم الله انتهكوها».
    Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda: “Jangan sampai aku mendapat ada orang-orang dari umatku yang datang pada hari Kiamat dengan kebaikan semisal gunung-gunung Tihamah yang putih, lalu Alloh menjadikannya debu halus yang beterbangan.” Mereka berkata: “Wahai Rosululloh, gambarkanlah mereka untuk kami agar kami tidak termasuk dari mereka dalam keadaan kami tidak mengetahui.” Beliau menjawab: “Sungguh mereka itu adalah termasuk dari saudara-saudara kalian, akan tetapi mereka dalah kaum-kaum yang jika menyendiri dengan larangan-larangan Alloh mereka melanggarnya.” (HR. Ibnu Majah (4245) dan Ath Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Ausath”/ no. (4632)/shohih).
    Maka seorang mukmin itu takut amalannya gugur yang menyebabkan dia bangkrut di hari Kiamat, sehingga dirinya amat berhati-hati menjaganya. Mukmin juga takut Alloh ta’ala tidak ridho dengan amalannya karena kekurangan-kekurangan yang ada dalam pelaksanaan ibadah tadi.
    Alloh ta’ala berfirman:
    {وَالَّذِينَ يُؤْتُونَ مَا آتَوْا وَقُلُوبُهُمْ وَجِلَةٌ أَنَّهُمْ إِلَى رَبِّهِمْ رَاجِعُونَ * أُولَئِكَ يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَهُمْ لَهَا سَابِقُونَ * وَلَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا وَلَدَيْنَا كِتَابٌ يَنْطِقُ بِالْحَقِّ وَهُمْ لَا يُظْلَمُونَ } [المؤمنون: 60 - 62]
    “Dan mereka adalah orang-orang yang berinfaq dalam keadaan hati mereka takut bahwasanya mereka akan kembali kepada Robb mereka. Mereka itulah yang berlomba-lomba dalam kebaikan dan mereka itu lebih dulu mengerjakan kebaikan. Kami tidak membebani jiwa kecuali sesuai dengan kemampuannya. Dan di sisi Kami ada kitab yang berbicara dengan bernar, dan mereka tidak dirugikan.”
    Al Imam Ibnu Katsir رحمه الله menafsirkan ayat tadi dengan berkata: “Yaitu: mereka memberikan infaq dalam keadaan mereka takut untuk Alloh tidak menerima dari mereka karena bisa jadi mereka kurang memenuhi syarat-syarat infaq. Dan ini masuk dalam bab kekhawatiran dan kehati-hatian.” (“Tafsirul Qur’anil ‘Azhim”/5/hal. 480).
    Adapun hadits ‘Aisyah رضي الله عنها:
    سألت رسول الله صلى الله عليه و سلم عن هذه الآية ﴿والذين يؤتون ما آتوا وقلوبهم وجلة قالت عائشة: هم الذين يشربون الخمر ويسرقون؟ قال: «لا يا بنت الصديق ولكنهم الذين يصومون ويصلون ويتصدقون وهم يخافون أن لا يقبل منهم أولئك الذين يسارعون في الخيرات».
    “Aku menanyai Rosululloh صلى الله عليه وسلم tentang ayat ini: “Dan mereka adalah orang-orang yang berinfaq dalam keadaan hati mereka takut bahwasanya mereka akan kembali kepada Robb mereka.” Kukatakan: “Apakah mereka itu orang-orang yang meminum khomr dan mencuri?” Beliau menjawab: “Tidak, wahai putri Ash Shiddiq, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, sholat dan bershodaqoh dalam keadaan mereka takut untuk tidak diterima. Mereka itulah orang-orang yang berlomba-lomba dalam kebaikan.” (HR. At Tirmidziy (3175) dan Ibnu Majah (4198)).
    Sanadnya shohih sampai ke Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. Akan tetapi dia tidak berjumpa dengan Aisyah, sehingga sanad hadits ini putus. Abu Hatim Ar Roziy berkata: “Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb tidak bertemu dengan ’Aisyah رضي الله عنها.” (“Jami’ut Tahshil”/ Al Hafizh Al ‘Alaiy/no. 429).
    Jika dikatakan: “Sebagian ulama رحمه الله menshohihkannya karena ada jalur lain, diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam “Al Mu’jamul Ausath” (3965) dari jalur Al Hakam bin Basyir bin Sulaiman dari Amr bin Qois Al Mulaiy dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari Abu Hazin dari Abu Huroiroh dari ’Aisyah.”
    Kita jawab dengan taufiq Alloh semata: Amr bin Qois Al Mulaiy memang tsiqoh, dan yang meriwayatkan darinya adalah Al Hakam bin Basyir bin Sulaiman –atau bin Salman-, dia itu Abu Muhammad An Nahdiy, Shoduq, dan dia menyendiri dalam periwayatannya tentang hadits ini dari Amr bin Qois Al Mulaiy.
    Makanya Al Imam Ath Thobroniy berkata: “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Amr bin Qois selain Al hakam bin Basyir.”
    Maka riwayat dia termasuk dalam kategori syadzdz (menyendiri atau menyelisihi riwayat rowi yang lebih kuat).
    Kemudian, para Imam besar meriwayatkan hadits ini dari Malik bin Mighwal dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها.
    • Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkannya dari Malik bin Mighwal dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. (HR. At Tirmidziy (3175))
    • Waki’ meriwayatkannya dari Malik bin Mighwal dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. (HR. Ahmad (25705))
    • Yahya bin Adam meriwayatkannya dari Malik bin Mighwal dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. (HR. Ahmad (25263))
    • Al Humaidiy meriwayatkannya dari Malik bin Mighwal dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. (HR. Al Humaidiy (275))
    • Abdulloh bin Numair meriwayatkannya dari Malik bin Mighwal dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. (HR. Ibnu Rohawaih (1643))
    • Muhammad bin Sabiq dari Malik bin Mighwal, dari Abdurrohman bin Sa’id bin Wahb dari ’Aisyah رضي الله عنها. (HR. Al Baihaqiy dalam “Syu’abul Iman” (762))
    Maka yang benar adalah riwayat yang ini. Dan Malik bin Mighwal itu tsiqoh imam masyhur.
    Makanya Ad Daruquthniy berkata tentang hadits ini: “Yang lain meriwayatkan dari Abdurrohman secara mursal (terputus) dari Aisyah, dan inilah yang mahfuzh (terjaga).” (“Ilal Ad Daruquthniy”/11/hal. 193).
    Kesimpulannya, hadits tadi lemah karena sanadnya terputus. Adapun riwayat yang menggambarkan tersambungnya sanad, maka itu tidak benar. Alloh ta’ala a’lam.

    Bab Ketujuh: Kekokohan Dalam Menjalankan Perintah

    Kewajiban yang ketujuh menurut Al Imam Muhammad bin Abdil Wahhab رحمه الله adalah: kekokohan dalam menjalankan perintah tadi.
    Makanya beliau berkata dalam menjelaskan makna yang diinginkan: “Tingkatan yang ketujuh adalah kekokohan di atas kebenaran dan rasa takut kepada akhir hidup yang buruk. Dan ini juga termasuk perkara terbesar yang ditakutkan oleh orang-orang sholih.” (“Dalailut Tauhid”/hal. 27).
    Tidak diragukan bahwasanya setan berusaha menghalangi manusia dari beramal sholih. Alloh ta’ala berfirman menukilkan ucapan iblis:
    { قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ * ثُمَّ لَآتِيَنَّهُمْ مِنْ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَانِهِمْ وَعَنْ شَمَائِلِهِمْ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَاكِرِينَ } [الأعراف: 16، 17]
    “Iblis berkata: maka dikarenakan Engkau telah menyesatkan saya, pastilah saya akan duduk menghalangi mereka di atas jalan-Mu yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari arah depan mereka, dari belakang mereka, dari kanan mereka dan dari kiri mereka, dan engkau tidak mendapati kebanyakan mereka itu bersyukur.”
    Al Imam Ibnu Jarir رحمه الله berkata: “Si busuk itu tidak henti-hentinya berusaha menghalangi para hamba Alloh dari setiap perkara yang bisa mendekatkan diri mereka kepada Alloh.” (“Jami’ul Bayan”/12/hal. 336).
    Pembahasan tentang upaya setan tadi telah terkenal. Adapun yang penting sekarang adalah kewajiban untuk kokoh di atas kebenaran dan tidak memenuhi bujukan setan untuk goyah. Alloh ta’ala berfirman:
    {إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ تَنْزِيلًا * فَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ وَلَا تُطِعْ مِنْهُمْ آثِمًا أَوْ كَفُورًا } [الإنسان: 23، 24]
    “Sungguh Kami benar-benar menurunkan Al Qur’an kepadamu, maka bersabarlah kepada hukum Robbmu, dan janganlah engkau menaati orang yang pendosa atau sangat kafir dari mereka.”
    Al Imam Ibnu Jarir رحمه الله berkata: “Firman Alloh: “Sungguh Kami benar-benar menurunkan Al Qur’an kepadamu” Alloh Yang tinggi penyebutan-Nya berfirman pada Nabi-Nya Muhammad صلى الله عليه وسلم : “Sungguh Kami benar-benar menurunkan kepadamu wahai Muhammad Qur’an ini sebagai ujian dan cobaan dari Kami. “maka bersabarlah kepada hukum Robbmu” Alloh berfirman: “Bersabarlah kepada ujian yang diberikan Robbmu kepadamu, yang berupa kewajiban-kewajiban-Nya, penyampaian risalah-Nya, dan menjalankan apa yang Alloh mengharuskan dirimu untuk menjalankannya di dalam Al Qur’an yang diwahyukan-Nya kepadamu, “dan janganlah engkau menaati orang yang pendosa atau sangat kafir dari mereka” Alloh berfirman: “Dan janganlah untuk berbuat durhaka engkau menaati pendosa dari kaummu yang musyrik itu, yang dia ingin melakukan kedurhakaan-kedurhakaan, atau menaati orang yang sangat kafir, yaitu orang yang menentang nikmat yang Alloh berikan pada dirinya dan karunia Alloh yang ada pada dirinya, karena orang itu kafir kepada Alloh dan menyembah yang lain.” (“Jami’ul Bayan”/24/hal. 115).
    Maka kesabaran itu wajib, dan amat dibutuhkan dalam menjalankan perintah-perintah Alloh, karena bujukan para pengekor syahwat itu banyak, dalam rangka menggelincirkan hamba Alloh dari jalan yang lurus.
    Alloh ta’ala berfirman:
    {وَالله يُرِيدُ أَنْ يَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَيُرِيدُ الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الشَّهَوَاتِ أَنْ تَمِيلُوا مَيْلًا عَظِيمًا } [النساء: 27]
    “Alloh ingin memberikan taufiq pada kalian untuk bertobat, sementara orang-orang yang mengikuti syahwat-syahwat itu ingin agar kalian condong kepada syahwat-syahwat tadi dengan kecondongan yang besar.”
    Barangsiapa lebih mengikuti syahwatnya, maka dirinya akan keluar dari jalan yang lurus, terjerumus kepada kesesatan dan terancam masuk neraka. Alloh ta’ala berfirman:
    ﴿فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا﴾ [مريم/59]
    “Maka datanglah sepeninggal mereka para pengganti yang menyia-nyiakan sholat dan mengikuti syahwat-syahwat, maka mereka akan berjumpa dengan kesesatan dan siksaan keras yang berlipat”
    Wahai para hamba Alloh, sabarkanlah diri kalian di atas agama yang lurus ini, dan kokohkanlah kaki kalian di atas jalan yang benar ini, karena balasan itu sesuai dengan amalan. Alloh ta’ala telah berfirman:
    ]وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا * ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا[ [مريم/71، 72]
    “Dan tiada seorangpun dari kalian kecuali akan melewati Jahannam itu. Itu merupakan kewajiban atas Robbmu yang pasti akan ditunaikan. Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa dan Kami akan biarkan orang-orang zholim di dalamnya dalam keadaan berlutut.”
    Dari Abu Huroiroh رضي الله عنه :
    عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: «وترسل الأمانة والرحم فتقومان جنبتي الصراط يميناً وشمالاً، فيمر أولكم كالبرق» قال: قلت: بأبي أنت وأمي أيّ شيء كمرّ البرق؟ قال: «ألم تروا إلى البرق كيف يمرّ ويرجع في طرفة عين؟ ثم كمرّ الريح ثم كمرّ الطير وشدّ الرجال، تجري بهم أعمالهم، ونبيكم قائم على الصراط يقول: رب سلم سلم، حتى تعجز أعمال العباد حتى يجيء الرجل فلا يستطيع السير إلا زحفاً» قال: «وفي حافتي الصراط كلاليب معلقة مأمورة بأخذ من أمرت به، فمخدوش ناج، ومكدوس في النار»، والذي نفس أبي هريرة بيده إن قعر جهنم لسبعون خريفا.
    Dari Nabi صلى الله عليه وسلم yang bersabda: “Akan diutuslah amanah dan rohim, lalu keduanya akan berdiri di kedua sisi Shiroth sebelah kanan dan kiri. Maka yang pertama dari kalian akan melintas seperti kilat.” Maka kukatakan: “Ayah dan ibuku sebagai jaminan Anda. Apa itu sesuatu yang seperti lintasan kilat?” beliau menjawab: “Tidakkah kalian melihat kilat bagaimana lewat dan kembali seperti kedipan mata? Lalu seperti lintasan angin, lalu seperti lintasan pria-pria yang kuat. Amalan merekalah yang memperjalankan mereka. Dan Nabi kalian berdiri di atas Shiroth dengan berkata: “Robbi selamatkanlah selamatkanlah.” Hingga melemahlah amalan para hamba, hingga datang orang yang tak sanggup berjalan kecuali merangkak.” Beliau bersabda: “Dan di kedua tepi Shorith ada cakar-cakar yang tergantung dan diperintahkan untuk mengambil orang yang diperintahkan untuk diambil. Maka ada orang yang tercakar tapi selamat, ada yang terdorong dan jatuh ke dalam neraka.” Dan demi Dzat yang jiwa Abu Huroiroh di tangan-Nya, sesungguhnya jurang Jahannam benar-benar sedalam tujuh puluh tahun.” (HR. Muslim (195)).
    Perhatikanlah sabda Nabi صلى الله عليه وسلم: “Amalan merekalah yang memperjalankan mereka.
    Maka tidak ada yang selamat dari kekerasan ini kecuali orang yang kokoh di atas kebenaran dalam memerangi syubuhat dan syahawat. Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: "Maka barangsiapa mendapatkan petunjuk di dunia ini ke shiroth Alloh yang lurus yang dengannya Alloh mengutus para Rosul-Nya, dan menurunkan dengannya kitab-kitab-Nya, maka dia akan mendapatkan petunjuk di sana (akhirat) ke shiroth yang lurus yang menyampaikannya ke jannah Alloh dan negeri pahala-Nya. Dan sesuai kadar kokohnya kaki sang hamba di atas shiroth yang Alloh pancangkan untuk para hamba-Nya di dunia inilah kekokohan kakinya di atas shiroth yang dipancangkan di atas punggung jahannam. Dan sesuai dengan kadar perjalanannya di atas shiroth di sinilah perjalanannya di atas shiroth di sana. Maka di antara mereka ada yang melintas seperti kilat, dan di antara mereka ada yang melintas seperti kedipan mata. Di antara mereka ada yang melintas seperti angin, di antara mereka ada yang melintas seperti tunggangan yang cepat, di antara mereka ada yang melintas dengan berlari, di antara mereka ada yang melintas dengan berlari, ada yang merangkak. Ada yang tercakar tapi diselamatkan, ada yang terjatuh ke dalam neraka. Maka hendaknya sang hamba memperhatikan perjalanannya di shiroth tersebut berdasarkan perjalanannya di atas shiroth di sini, sama persis bagaikan bulu panah yang kiri dengan yang kanan
    ]جزاء وفاقا[
    “Sebagai balasan yang sesuai.”
    ]هل تجزون إلا ما كنتم تعملون[
    “Tidaklah kalian dibalasi kecuali sesuai dengan apa yang kalian kerjakan.”
    Dan hendaknya dia memperhatikan syubuhat dan syahawat yang menggelincirkannya dari perjalanannya di atas shiroth ini, karena dia itu adalah cakar-cakar besi yang ada di kedua tepi shiroth tadi, menyambarnya dan menggelincirkannya dari perlintasannya. Jika syubuhat dan syahawat tadi banyak dan kuat di sini, demikian pula di sana nantinya.
    ]وما ربك بظلام للعبيد[.
    “Dan tidaklah Robbmu menzholimi hamba-Nya."
    ("Madarijus Salikin" 1/hal. 10/cet. Darul Hadits).
    Kemudian pengembaraan di atas jalan dunia ini butuh kepada keyakinan yang mantap akan benarnya janji Alloh, agar tidak tertipu oleh syubuhat para pengekor hawa nafsu. Alloh ta’ala berfirman:
    { ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ * إِنَّهُمْ لَنْ يُغْنُوا عَنْكَ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا وَإِنَّ الظَّالِمِينَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَالله وَلِيُّ الْمُتَّقِينَ * هَذَا بَصَائِرُ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ } [الجاثية: 18 - 20]
    “Kemudian Kami jadikan engkau ada di atas syariat dari agama ini, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau hawa nafsu orang-orang yang tidak tahu. Sesungguhnya mereka tidak akan bisa menolongmu dari Alloh sedikitpun, dan sesungguhnya orang-orang yang zholim itu sebagiannya adalah penolong bagi sebagian yang lain. Dan Alloh itu adalah Penolong bagi orang-orang yang bertaqwa. Ini adalah bashoir bagi manusia, petunjuk dan rohmat bagi kaum yang yaqin.”
    Bashoir sebagaimana kata Al Imam Al Qurthubiy رحمه الله berkata: “Yaitu: yang Aku turunkan kepadamu ini adalah bukti-bukti, petunjuk-petunjuk dan rambu-rambu untuk manusia dalam buatasan dan hukum-hukum.” (“Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an”/16/hal. 165).
    Berarti senjata setan untuk menggoyahkan keteguhan hamba Alloh di atas jalan yang lurus itu intinya ada dua: syahawat (kesenangan-kesenangan jiwa) dan syubuhat (kerancuan dan kekaburan).
    Maka senjata para hamba untuk menandinginya berporos pada dua macam juga, yaitu kesabaran dalam mengekang nafsu sampai datangnya janji Alloh. Ini amat kuat dalam menepis syahawat. Yang kedua adalah keyakinan akan benarnya jalan yang telah ditempuh. Ini amat ampuh dalam meruntuhkan syubuhat.
    Dan barangsiapa mantap dalam bersenjatakan kesabaran dan keyakinan, dialah orang yang mendapatkan taufiq untuk menjadi imam bagi kaum mukminin.
    Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Memerangi setan itu ada dua tingkatan. Yang pertama: memeranginya untuk menolak syubuhat dan keraguan yang merusak keimanan yang dilemparkannya pada hamba. Yang kedua: memerangi setan dengan menolak keinginan-keinginan yang rusak dan syahwat-syahwat yang dilemparkannya pada hamba. Jihad yang pertama, setelahnya adalah keyakinan. Untuk jihad yang kedua, setelahnya adalah kesabaran. Alloh ta’ala berfirman:
    ﴿وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ﴾ [السجدة/24].
    “Dan Kami jadikan dari mereka para imam yang membimbing dengan perintah Kami ketika mereka bersabar dan mereka senantiasa yakin dengan ayat-ayat Kami.”
    Alloh ta’ala mengabarkan bahwasanya kepemimpinan dalam agama hanyalah didapatkan dengan kesabaran dan keyakinan. Kesabaran menolak syahwat-syahwat dan keinginan yang rusak. Keyakinan menolak keraguan-keraguan dan kesamaran-kesamaran.”
    (bacalah secara lengkap di “Zadul Ma’ad”/hal. 370-371/cet. Dar Ibni Hazm).
    Bagaimana menumbuhkan kesabaran dalam menempuh ujian-ujian ini? Ada beberapa cara, di antaranya adalah:
    Yang pertama: meneladani kesabaran para Nabi, terutama Ulul ‘Azmi dari kalangan para Rosul صلى الله عليه وسلم. Sungguh pada perjuangan mereka itu ada pelajaran yang amat agung bagi orang yang mau merenungi sejarah mereka.
    Alloh ta’ala setelah menyebutkan kisah Nabi Nuh berfirman:
    { تِلْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الْغَيْبِ نُوحِيهَا إِلَيْكَ مَا كُنْتَ تَعْلَمُهَا أَنْتَ وَلَا قَوْمُكَ مِنْ قَبْلِ هَذَا فَاصْبِرْ إِنَّ الْعَاقِبَةَ لِلْمُتَّقِينَ } [هود: 49]
    “Itu adalah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan kepadamu. Engkau dan kaummu dulu tidak mengetahuinya sebelum ini. Maka bersabarlah, karena sesungguhnya kesudahan yang baik adalah untuk orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Hud: 49).
    Alloh ta’ala berfirman:
    { فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ } [الأحقاف: 35]
    “Maka bersabarlah sebagaimana bersabarnya Ulul ‘Azm dari kalangan para Rosul, dan janganlah engkau minta disegerakan hukuman untuk mereka (kaummu yang ingkar). Seakan-akan mereka pada hari mereka melihat adzab yang dijanjikan itu tidaklah mereka tinggal di dunia kecuali sesaat dari waktu siang saja. Ini adalah pelajaran yang cukup. Maka tidaklah dibinasakan kecuali kaum yang fasiq.”
    Alloh ta’ala berfirman:
    { وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِينَ} [هود: 120]
    “Dan masing-masingnya telah Kami kisahkan kepadamu berita-berita para Rosul yang dengannya Kami kokohkan hatimu. Dan telah datang kepadamu kebenaran di dalam berita-berita ini, dan juga petuah dan peringatan bagi kaum Mukminin.”
    Syaikhul Islam رحمه الله berkata: “Maka di dalam kisah-kisah perkara-perkara ini ada pelajaran bagi orang-orang yang beriman pada para Nabi, karena mereka (para Nabi) pasti diuji dengan perkara yang lebih besar dari pada ini, dan mereka tidak berputus asa jika diuji dengan itu. Dan mereka tahu bahwasanya orang yang lebih baik dari mereka telah diuji dengan itu, dan ternyata kesudahannya adalah bagus, maka orang yang ragu hendaknya menjadi yakin, orang yang berdosa menjadi mau bertobat, dan menguatlah keimanan kaum mukminin dengan kisah-kisah tadi. Maka dengan itu menjadi benarlah peneladanan mereka dengan para Nabi, sebagaimana dalam firman Alloh:
    ﴿لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ الله أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو الله وَالْيَوْمَ الْآخِرَ﴾ [الأحزاب: 21].
    "Sungguh telah ada untuk kalian pada diri Rosululloh suri teladan yang bagus bagi orang yang mengharapkan Alloh dan Hari Akhir."
    Dan di dalam Al Qur’an ada banyak kisah para Rosul yang di dalamnya ada hiburan dan pengokohan, agar mereka dijadikan sebagai teladan dalam kesabaran dalam menghadapi orang yang mendustakan dan menyakiti mereka.” (“Majmu’ul Fatawa”/15/hal. 178-179).
    Cara yang kedua: memperbanyak dzikir pada Alloh, mengingat kebesaran-Nya, kasih sayang-Nya, pemeliharaan-Nya dan kebaikan-Nya. Dan sebagainya. Dengan ini kita semakin percaya pada-Nya, dan merasakan kebersamaan-Nya dengan pertolongan dan bimbingan-Nya, sehingga senang dengan-Nya dan sabar menghadapi godaan para musuh-Nya. Alloh ta’ala berfirman:
    { فَاصْبِرْ عَلَى مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا وَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَى } [طه: 130]
    “Maka bersabarlah terhadap apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Robbmu sebelum terbitnya matahari dan sebelum terbenamnya, dan di ujung malam maka bertasbihlah dan di tepi-tepi siang juga agar engkau ridho.”
    Al Imam As Sa’diy berkata dalam tafsir ayat ini: “Oleh karena itu Alloh memerintahkan Rosul-Nya untuk bersabar terhadap gangguan ucapan mereka, dan Alloh memerintah beliau untuk mencari ganti dari gangguan itu dan memohon pertolongan untuk menghadapinya dengan tasbih dengan pujian untuk Robbnya, di waktu-waktu utama itu: sebelum terbitnya matahari dan sebelum terbenamnya, di tepi-tepi siang, awalnya dan akhirnya, ini adalah lafazh yang umum setelah lafazh khusus, juga di waktu-waktu malam, semoga engkau jika mengerjakan itu engkau akan ridho dengan apa yang diberikan oleh Robbmu, yang berupa pahala dunia dan akhirat, dan agar menjadi tenanglah hatimu, dan sejuklah pandangan matamu dengan beribadah pada Robbmu, dan engkau terhibur dengan itu dari gangguan mereka, sehingga menjadi ringanlah bagimu ketika itu beban kesabaran.” (“Taisirul Karimir Rohman”/hal. 516).
    Cara yang ketiga: merenungkan Al Qur’an yang berbicara tentang tingginya nilai kesabaran.
    Al Imam Ibnul Qoyyim رحمه الله berkata: “Bahwasanya Alloh Yang Mahasuci menyebutkan kesabaran di dalam kitab-Nya di sekitar sembilan puluh tempat. Terkadang memerintahkan untuk bersabar, terkadang memuji para penyabar, terkadang memerintahkan Nabi-Nya untuk memberikan kabar gembira pada para penyabar, terkadang menjadikan kesabaran sebagai syarat dihasilkannya pertolongan dan kecukupan, terkadang Alloh mengabarkan bahwasanya diri-Nya bersama para penyabar, dan memuji orang-orang pilihan-Nya dengan sifat kesabaran, dan mereka adalah para Nabi-Nya dan Rosul-Nya, -lalu menyebutkan banyak ayat, lalu beliau berkata:- dan ini menunjukkan bahwasanya kesabaran itu termasuk posisi keimanan yang paling agung, dan bahwasanya orang yang paling khusus dengan Alloh dan paling utama di sisi-Nya adalah orang yang paling keras menegakkan dan merealisasi kesabaran, dan bahwasanya para ulama itu lebih butuh pada kesabaran daripada orang-orang awwam.” (“Thoriqul Hijrotain”/hal. 400).
    Cara keempat: jangan sering melihat ke orang-orang yang diberi kesenangan dunia. Alloh ta’ala berfirman:
    { وَلَا تَمُدَّنَّ عَيْنَيْكَ إِلَى مَا مَتَّعْنَا بِهِ أَزْوَاجًا مِنْهُمْ زَهْرَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا لِنَفْتِنَهُمْ فِيهِ وَرِزْقُ رَبِّكَ خَيْرٌ وَأَبْقَى } [طه: 131]
    “Dan janganlah engkau memanjangkan pandangan matamu kepada orang yang Kami beri kesenangan pasangan perhiasan dunia untuk Kami uji mereka. Dan rizqi Robbmu itu lebih baik dan lebih kekal.”
    Al Qodhiy Abu Muhammad Ibnu Athiyyah رحمه الله berkata: “Yang nampak adalah bahwasanya ayat ini terkait dengan ayat yang sebelumnya. Yang demikian itu adalah dikarenakan Alloh ta’ala mencerca mereka karena tidak mau mengambil pelajaran dari kejadian umat-umat terdahulu. Kemudian Alloh mengancam mereka dengan siksaan yang telah ditentukan waktunya. Lalu Alloh memerintahkan Nabi-Nya untuk memandang hina pola hidup mereka dan bersabar atas ucapan-ucapan mereka, serta berpaling dari harta-harta mereka dan kesenangan dunia yang ada pada mereka karena kesenangan tadi terbatas di sisi mereka dan akan membawa mereka kepada kehinaan. –sampai pada ucapan beliau:- kemudian Alloh mengabari Nabi-Nya bahwasanya kesenangan tadi adalah sebagai ujian dan cobaan Alloh terhadap mereka dan akan menjadi sebab balasan buruk terhadap mereka karena rusaknyapengelolaan mereka dalam kesenangan duniawi tadi. Dan rizqi Alloh ta’ala yang Dia halalkan untuk para hamba-Nya yang bertaqwa itu lebih baik dan lebih kekal.” (“Al Muharrorul Wajiz”/4/hal. 434).
    Ini di antara cara agar menjadi orang yang bersabar. Lalu bagaimana cara agar menjadi orang yang yakin di atas jalan yang benar?
    Syaikhul Islamرحمه الله berkata: “Adapun bagaimana keyakinan itu dihasilkan? Maka dengan tiga perkara: Yang pertama: dengan memperdalam perenungan terhadap Al Qur’an. Yang kedua: dengan memperdalam perenungan terhadap ayat-ayat yang Alloh adakan dalam jiwa dan ufuk yang menjelaskan bahwasanya Al Qur’an itu benar. Yang ketiga: dengan mengamalkan tuntutan dari ilmu.” (“Majmu’ul Fatawa”/3/hal. 330-331).

    Matahari sudah hampir terbit, cahaya putih menyembul dari balik gunung-gunung Shon’a, dan menyebar ke langit yang biru bersih. Burung-burung nampak beterbangan di angkasa, kicauan tasbih mereka diselingi oleh kokok ayam jantan yang melengking saat melihat malaikat. Kaki gunung nampak indah dihiasi oleh lampi-lampu jalan dan perumahan yang masih menyala. Jalan raya ramai dengan deru mobil yang melesat cepat.
    Kita cukupkan sampai di sini. Insya Alloh akan dilanjutkan dengan surat yang lain di masa yang akan datang.
    والحمد لله رب العالمين.
    Rumah Sakit Ahlussunnah Shon’a
    Sabtu pagi, 15 Jumadil Ula 1435 H











    ([1]) Atsar lemah. Diriwayatkan oleh Abdurrozzaq dalam “Al Mushonnaf” (14812), dan di dalam sanadnya ada riwayat ‘an’anah Abu Ishaq dari istrinya dari Aisyah.
    Istrinya majhulah. Abu Ishaq juga mudallis dan melakukan ‘an’anah.
    Dalam riwayat Abdurrozzaq nomor (14813) ada riwayat ‘an’anah Abu Ishaq dari istrinya yang berkata: aku mendengar istri Abus Safar berkata: Aku bertanya pada Aisyah.
    Istri Abus Safar juga majhulah.
    Riwayat Abu Ishaq didukung oleh riwayat Yunus bin Abi Ishaq dari ibunya yang bernama Al ‘Aliyah binti Aifa’ yang berkata: “Aku dan Ummu Mahabbah keluar ke Makkah, lalu kami masuk menemui ‘Aisyah … dst. Al ‘Aliyah adalah istri Abu Ishaq itu sendiri. diriwayatkan Ad Daruquthniy dalam “As Sunan” (211).
    Al Imam Ad Daruquthniy berkata: Ummu Mahabbah dan Al ‘Aliyah sama-sama majhul, tidak bisa menjadi hujjah.
    Al Imam Al Baihaqiy dalam “Ma’rifatus Sunan Wal Atsar” (3557) menyebutkan isyarat pelemahan Asy syafi’iy dan Ahmad tentang hadits ini karena majhulnya Al ‘Aliyah binti Aifa’.


يعمل...
X