Jawaban
Terhadap Sembilan Pertanyaan
Di Bulan Romadhan
Ditulis Oleh:
Abu Abdirrohman Shiddiq Al Bugisi
عفا الله عنه
Pengantar Penyusun
الحمد لله وأشهد أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله، اللهم صل وسلم على محمد وآله أجمعين، أما بعد:
Telah berdatangan soal-soal dari tanah air tentang masalah-masalah yang terkait dengan Romadhon, maka saya berusaha membantu menyampaikan jawaban semampu saya, dengan dalil-dalil dan bimbingan para ulama, semoga Alloh ta’ala melimpahkan taufiq-Nya kepada kita semua.
Pertanyaan pertama:
Manakah yang lebih disarankan, ikut tarawih di masjid dengan imam dan khutbah yang jahil atau tarawih di rumah dengan keluarga?
Jawaban:
Selama shalat imam tadi adalah sah dan di atas sunnah dari sisi jumlah raka'at maka kami melihat shalat jama'ah di mesjid lebih afdhol sebagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melakukannya bersama sahabat di mesjid, dan sahabat setelahnya terutama pada khilafah 'Umar رضي الله عنهم أجمعين.
‘Aisyah رضي الله عنها berkata:
أن رسول الله -صلى الله عليه وسلم- صلى فى المسجد ذات ليلة فصلى بصلاته ناس ثم صلى من القابلة فكثر الناس ثم اجتمعوا من الليلة الثالثة أو الرابعة فلم يخرج إليهم رسول الله -صلى الله عليه وسلم- فلما أصبح قال « قد رأيت الذى صنعتم فلم يمنعنى من الخروج إليكم إلا أنى خشيت أن تفرض عليكم ». قال وذلك فى رمضان.
Bahwasanya Rosululloh صلى الله عليه وسلم sholat di masjid pada suatu malam, lalu sholatlah dengan sholat beliau sekelompok orang. Kemudian beliau sholat pada malam berikutnya, maka orang yang ikutpun semakin banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam ketiga atau keempat, tapi Rosululloh صلى الله عليه وسلم tidak keluar menjumpai mereka. ketika masuk waktu pagi, beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat apa yang kalian lakukan, maka tidaklah menghalangi diriku untuk keluar kecuali karena aku takut sholat tadi akan diwajibkan untuk kalian.” Dan yang demikian itu terjadi di bulan Romadhon. (HR. Al Bukhoriy (2012) dan Muslim (1819)).
Dan sholat tarowih berjama’ah di masjid hingga sekarang menjadi syi'ar ahlis sunnah menyelisihi rafidhah 'alaihim la'natullah dan yang sependapat dengan mereka bahwa shalat tarawih adalah bid'ah.
Al ‘Allamah Al Muqriy رحمه الله berkata: “Wajib menyelisihi ahlul bida’ dalam perkara yang telah dikenal sebagai bagian dari syi’ar mereka yang mereka menyendiri dengannya dari mayoritas Ahlussunnah, sekalipun sandaran mereka dari suatu berita itu shohih –sampai pada ucapan beliau:- sementara sandaran Jama’ah itu semisal itu juga atau lebih shohih. Kemudian di dalam penyelisihan terhadap mereka tadi ada penjagaan kehormatan dengan tetap tegak bersama ahlul haq dan juga mengandung hardikan terhadap ahlul batil, … dst.” (“Al Qowa’id”/2/hal. 548, dinukil oleh Sulaiman bin Abdillah dalam ta’liqnya terhadap “Al Qowa’idul Fiqhiyyah” karya As Sa’diy (hal. 101)).
Al Imam As Sa’diy رحمه الله berkata: “Bahkan ahlul bida’ itu disyari’atkan bagi kita untuk menyelisihi mereka.” (“Al Qowa’idul Fiqhiyyah” karya As Sa’diy (hal. 101)).
Adapun khutbah orang jahil itu bisa dihindari, tak perlu mendengarkannya. Wallahu a'lam.
Pertanyaan kedua:
Waktu yang disarankan untuk tarawih apakah sepertiga malam akhir atau
selepas isya?
Jawaban:
Yang terbaik adalah sepertiga malam terakhir. Nabi صلى الله عليه وسلم bersabda:
من خاف أن لا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل فإن صلاة آخر الليل مشهودة وذلك أفضل
"Barangsiapa yang takut tidak bangun di akhir malam hendaknya dia shalat witir di awal malam, dan barangsiapa yang semangat untuk bangun di akhir malam maka hendaknya dia shalat witir di akhir malam karena sesungguhnya shalat di akhir malam itu dihadiri (malaikat) dan itu lebih utama" (HR. Muslim dari Jabir radiyallahu 'anhu).
Hadits ini menunjukkan bahwa shalat malam termasuk tarawih lebih afdhol di akhir malam.
Juga perkataan Umar رضي الله عنه terhadap sholat tarowih yang dikerjakan di awal malam:
والتي ينامون عنها أفضل من التي يقومون.
“Sholat yang mereka itu darinya itu lebih utama daripada sholat yang mereka tegakkan sekarang.”
Abdurrohman bin ‘Ubaid Al Qori berkata: “Yang beliau maksudkan adalah sholat di akhir malam, karena orang-orang melakukannya di awal malam.”
(HR. Al Bukhoriy (2010)).
Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله berkata: “Ini adalah ucapan yang jelas dari Umar bahwasanya sholat di akhir malam itu lebih utama daripada di awalnya.” (“Fathul Bari”/4/hal. 320).
Wabillahit taufiq.
Pertanyaan ketiga:
Bagaimana hukum i'tikaf selain di "tiga masjid" dan bagaimana kedudukan hadits i'tikaf hanya di "3 masjid"?
Jawaban:
I'tikaf di selain tiga masjid itu sah, Allah ta'ala berfirman:
{ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ } [البقرة: 187]
"Sementara kalian beri'tikaf di masjid-masjid" [Al Baqarah: 187].
Mayoritas ulama berpendapat dengan keumuman ayat ini, bahwasanya boleh beri’tikaf di seluruh masjid, kecuali orang yang wajib hadir sholat Jum’at, maka Asy Syafi’iy memustahabkan agar orang itu I’tikafnya di masjid jami’. (“Fathul Bari”/4/hal. 345).
Adapun hadits “Tidak ada I’tikaf kecuali di tiga masjid” tersebut para ulama berselisih apakah dia itu marfu' (sanadnya sampai kepada Rasulullah sallallahu 'alaihi wa sallam) atau mawquf (sanadnya sampai sahabat atau dari ucapan hudzaifah rhadiyallahu 'anhu saja bukan dari ucapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, bersamaan dengan itu sebagian ulama membawa makna hadits tersebut kepada makna "tidak ada i'tikaf yang lebih utama dan lebih sempurna kecuali di tiga mesjid" bukan bermakna tidak sah kecuali pada tiga mesjid tersebut. wallahul muwaffiq.
Pertanyaan keempat:
Bagaimana jika hari ied ditetapkan pemerintah lusa (karena belum 2 derajat) sedangkan ada yang sudah melihat hilal syawal pada hari ini? Apakah besok berbuka atau tetap puasa? Apakah ikut sholat ied yang besok atau lusa?
Jawaban:
Apabila yang melihat hilal adalah orang yang terpenuhi syarat secara syar’iy untuk diterima beritanya, maka dia beramal dengan ru'yah hilal tersebut berdasarkan hadits:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"berpuasalah karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawwal)" (HR. Al Bukhoriy (1909) dan Muslim (2567) dari Abu Huroiroh).
Dan ia berbuka secara rahasia agar tidak dituduh, Allahumma kecuali pemerintah membolehkan untuk berbuka bagi yang berpendapat bahwa hari itu adalah tanggal satu syawwal, demikian juga shalat 'ied apabila pemerintah membolehkan untuk sholat 'ied pada hari itu sebagaimana pemerintah Indonesia membolehkan firqah mubtadi'ah Muhammadiyah membolehkan shalat 'ied menyelisihi hari yang ditentukan oleh pemerintah, kalau tidak demikian maka dia shalat 'ied bersama pemerintah, wallahu a'lam.
Pertanyaan kelima:
Apakah ada doa yang disyariatkan ketika menitipkan zakat fitrah ke
amil zakat?
jawaban:
Setahu kami tidak ada. Sedangkan untuk petugas penerima zakat, hendaknya mengucapkan JAZAKALLOHU KHOIRO (semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan) pada orang yang membayar zakat. Dan boleh juga dia mendoakannya dengan doa yang lain, berdasarkan firman Alloh ta’ala:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلَاتَكَ سَكَنٌ لَهُمْ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ [التوبة/103]
“Ambillah shodaqoh dari harta mereka untuk mensucikan dan membersihkan mereka dengan shodaqoh tadi, dan doakanlah mereka, sesungguhnya doamu itu mendatangkan ketenangan untuk mereka. dan Alloh itu Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.”
Demikianlah jawaban yang kami dengan dari Asy Syaikh Yahya Al Hajuriy حفظه الله Allohu a'lam.
Pertanyaan keenam:
Apa saja kriteria mustahiq untuk zakat fitrah?
Jawaban:
Yang berhak adalah faqir miskin. Ibnu Abbas رضي الله عنهما berkata:
فرض رسول الله -صلى الله عليه وسلم- زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين من أداها قبل الصلاة فهى زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة فهى صدقة من الصدقات.
“Rosululloh صلى الله عليه وسلم mewajibkan zakat fitri untuk mesucikan orang yang berpuasa dari main-main dan ucapan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum sholat id, maka itu adalah zakat yang diterima. Barangsiapa menunaikannya setelah sholat id, maka itu tadi hanyalah salah satu dari sodaqoh yang ada (bukan zakat fithr).” (HR. Abu Dawud (1611) dan Ibnu Majah (1827) dan dihasankan oleh Asy Syaikh Zayid Al Wushobiy حفظه الله dalam “Ahkam Zakatil Fithr”/hal. 6/cet. Dar Kunuz Dammaj).
Silakan rujuk “Majmu’ul Fatawa Li Syaikhil Islam” (25/hal. 75).
Pertanyaan ketujuh:
Apakah lebih afdhol menyerahkan zakat sendiri daripada menitipkan ke amil zakat?
Jawaban:
Kedua cara itu boleh, tapi lebih afdhol menyerahkan sendiri kepada orang yang berhak menerimanya. Nabi صلي الله عليه وسلم bersabda:
ولكنها على قدر نصبك - أو قال - نفقتك».
"Akan tetapi pahalamu itu sebesar kadar capekmu –atau beliau bersabda: nafkahmu". (HR. Muslim (2986)).
Al Imam An Nawawiy رحمه الله berkata: “Hadits ini jelas bahwasanya pahala dan keutamaan dalam ibadah itu menjadi banyak dengan banyaknya rasa capek dan nafkah. Dan yang dimaksud di sini adalah rasa capek yang tidak dicela oleh syariat. Begitu pula dengan nafkah.” (“Al Minhaj”/8/hal. 152-153).
Allahu a'lam.
Pertanyaan kedelapan:
Bismillah ana ingin bertanya: ana solat terawih bersama imam langsung dgn witir. setelah solat isya. Yang ingin ana tanyakan adalah jika ana ingin menghidupkan malam romadhan ana dapat melakukan apa? sebab mau solat lail udah tadi bersama imam dan juga witir. jadi ana gak bisa solat ya ? apa cukup zikir dan ngaji aja ya? kalo saya mau juga solat lail di sepertiga malam gimana ya ust. Sebab saya juga ingin mendapat keutamaan solat bersama imam sampai witir.
Jawaban:
Antum bisa shalat yang ada sebabnya seperti sunnah setelah wudhu atau shalat tahiyyatul masjid apabila masuk mesjid, shalat istikharah, adapun selain itu telah datang beberapa atsar dari sahabat tentang itu, tapi Nabi Shallallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah shalat malam lebih dari 11 raka'at dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk beliau, wallahu a'lam.
Perbanyaklah membaca Al Qur’an, karena bulan Romadhon adalah bulan Al Qur’an, dan pahalanya besar. firman-Nya ta’ala:
﴿شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآَنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ﴾ [البقرة/185].
“Bulan Romadhon yang diturunkan di dalamnya Al Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan dari petunjuk dan pembeda.”
Dan dari Abdulloh bin Amr رضي الله عنهما yang berkata: Rosululloh صلى الله عليه وسلم bersabda:
«يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنِ اقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِى الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَؤُهَا»
“Dikatakan pada ahli Al Qur’an: bacalah dan naiklah, dan bacalah dengan tenang sebagaimana dulu engkau membaca dengan tenang di dunia, karena sesungguhnya kedudukanmu ada di akhir ayat yang engkau baca.” (HR. Abu Dawud (1461), At Tirmidziy (2914), dan dihasankan oleh Al Imam Al Albaniy رحمه الله sebagaimana dalam “Al Misykah” (2134) dan Al Imam Al Wadi’iy رحمه الله dalam “Ash Shohihul Musnad” (792)).
Pertanyaan kesembilan:
Assalamualaikum wr wb. Hal apa sajakah yg membatalkan puasa? Khususnya pendapat dr hadits bukhary-muslim dan pendapat syaikh muqbil al haadee. Seorang kawan berpendapat keluar mani dengan sengaja tidak membatalkan puasa. Mohon penjelasan. Terima kasih.
Jawaban:
Wa 'alaikum salam wa rohmatullahi wa barokatuh
Yang membatalkan puasa berdasarkan kitab, sunnah dan ijma' adalah makan, minum, dan jima' dengan sengaja.
Dan Ulama berselisih pendapat pada permasalahan keluar mani dengan sengaja (seperti onani, atau selainnya), ada yang berpendapat hal itu tidak membatalkan puasa, karena tidak ada nash menyatakan bahwa hal tersebut membatalkan puasa, berkata Syaikh Muhammad bin Hizam حفظه الله "Dan yang nampak pendapat ini-lah yang dipilih oleh Syaikh (Muqbil bin Hadi) Al Wadi'i sebagaimana di "ijabatus saail" hal. 174-175."
Tapi yang rajih adalah pendapat jumhur ulama bahwa hal tersebut membatalkan puasa, berdasarkan hadits qudsi:
يدع طعامه وشرابه وشهوته من أجلي
"Dia (yang berpuasa) meninggalkan makanannya dan meninggalkan minumannya serta meninggalkan syahwatnya karena Aku." Riwayat Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Hurairah رضي الله عنه.
Sementara dia (yaitu orang yang keluar mani dengan sengaja) tidak meninggalkan syahwatnya. Wallahu a'lam.
Demikian pula jawaban dari Syaikhuna Yahya Al Hajuriy حفظه الله dan tarjih Syaikh Muhammad bin Hizam حفظه الله, bahwasanya orang yang sengaja mengeluarkan maninya maka puasanya itu batal. Berdasarkan hadits di atas. Wallohu a’lam.
Dijawab dengan ringkas oleh
Shiddiq Al-Bugisi
Dammaj, 16 Ramadhan 1433.